Tahukah anda, bahwa di dalam fikih mu’amalah, ternyata hampir seluruh akadnya dilandasi oleh sikap amanah. Apa itu amanah?
Amanah, dalam istilah bahasa kita sering disamakan artinya sebagai kepercayaan. Ya, memang istilah ini tidak salah, sebab amanah merupakan sesuatu yang berangkat dari sifat percayanya seseorang kepada pihak lain untuk melaksanakan suatu pekerjaan sesuai dengan konteks yang diamanahkan / dipercayakan.
Saking tingginya penghargaan Islam terhadap sikap amanah, sampai-sampai seorang utusan (Rasul) pun, ditetapkan oleh Allah SWT sebagai pihak yang kuat dalam menyandang amanah. Contohnya, misalnya adalah Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mendapat gelar al-Amin dari masyarakatnya, jauh hari sebelum masa kenabian. Ini mengisyaratkan bahwa sikap amanah itu memang senantiasa melekat pada diri Baginda.
Di sisi yang lain, karakteristik khusus yang merupakan sifat wajib seorang utusan dalam Islam, juga memiliki 4 kriteria masyhur, yaitu: shiddiq (jujur), amanah, tabligh (menyampaikan perintah apa adanya) dan fathanah (kecerdasan spesial). Tidak hanya berlaku atas Rasul, karakteristik seseorang diangkat sebagai Nabiyullah juga memiliki sifat wajib yang terdiri dari 3, antara lain: shiddiq, amanah, fathanah.
Semua itu merupakan isyarat bahwa Islam menjunjung tinggi siifat amanah. Oleh karenanya, amanah dalam literasi keislaman, senantiasa dipadukan dengan kemampuan seseorang dalam menanggung derita akibat membawa amanah.
Melaksanakan amanah, hukumnya adalah wajib. Bertindak di luar apa yang diamanahkan merupakan sebuah tindakan khianat dan termasuk salah satu ciri dari kemunafikan, sebagaimana masyhur disebutkan dalam hadits tentang tanda-tanda kemunafikan.
Syeikh Al-Sughdy, di dalam Kitabnya yang berjudul al-Nutfu fi al-Fatawi li al-Sughdy al-Hanafi, Juz 1, halaman 529, menyebutkan ada 16 pihak yang di dalam syariat dilabeli sebagai pihak penyandang amanah, khususnya di dalam akad-akad muamalah. Siapa sajakah keenambelas pihak itu? Simak ulasan berikut!
اعْلَم ان الامناء سِتَّة عشر صنفا
١ – الشَّرِيك ٢ وَالْمُضَارب ٣ والمزارع ٤ والمستودع ٥ والمستبضع ٦ وَالْمُسْتَعِير ٧ والأجير الْخَاص ٨ والأجير الْمُشْتَرك فِي قَول ابي حنيفَة وأبب عبد الله ٩ وَالْوَكِيل ١٠ وَالْوَصِيّ ١١ والمعامل ١٢ والملتقط ١٣ وواجد اللَّقِيط ١٤ وواجد الضَّالة ١٥ وآخذ الابق فِي قَول ابي يُوسُف وابي عبد الله وَالشَّافِعِيّ وَمَالك وَلَيْسوا بامناء فِي قَول ابي حنيفَة وَمُحَمّد اعني وَاجِد اللّقطَة وآخذ الضَّالة وآخذ الابق الا اذا قَالُوا اخذنا لردها على أَرْبَابهَا وَعَلَيْهِم الْبَيِّنَة فِي قَوْلهم
Pertama, adalah seorang mitra (syarik) dalam akad syirkah (kemitraan). Seorang mitra terhadap mitra lainnya bertindak selaku pemegang amanah. Mereka harus menjalankan apa yang sudah disepakati bersama dalam sebuah akad kemitraan. Untuk itu, ia tidak boleh bertindak di luar kesepakatan yang telah dicapai.
Bilamana seorang mitra melakukan sebuah tindakan di luar batas apa yang diperbolehkan dalam kemitraan, maka bila terjadi sebuah kerusakan atau kerugian karena tindakannya, maka ia wajib membayar ganti rugi terhadap kerugian yang ditimbulkannya.
Kedua, mudlarib (pengelola) harta. Seorang mudlarib memiliki kewajiban melakukan pengelolaan harta sebaik-baiknya untuk mendapatkan untung bersama. Untuk itu, tidak boleh baginya berlaku sembrono (taqshir) dalam pengelolaan, berlebih-lebihan (ta’addy) atau membawa harta mudlarabah ke wilayah yang tidak aman. Bila kerugian usaha diakibatkan karena unsur kesembronoannya, maka ia wajib untuk menanggung risiko mengganti modal.
Ketiga, muzari’, yaitu pihak yang mengelolaa dan merawat tanaman milik tuan tanah. Sebagai pengelola, pihak muzari’ harus senantiasa mengusahakan agar tanaman yang dirawatnya menuai hasil maksimal.
Keempat, mustawdi’, yaitu pihak yang mendapatkan titipan berupa barang. Hal yang wajib dilakukannya terhadap barang titipan adalah (1) menyimpan barang itu di tempat penyimpanan yang layak, (2) tidak menggunakannya tanpa seijin dari pihak penitip dan (3) selanjutnya memberikan kembali harta titipan itu saat diminta oleh pihak yang menitipkan.
Kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada barang titipan, adalah wajib berlaku dlaman (ganti rugi) atas pihak yang dititipi. Termasuk, bila pihak yang dititipi tidak menyimpan harta titipan itu pada tempat yang seharusnya.
Kelima, mustabdli’, yaitu orang yang ditugaskan untuk meniagakan suatu barang. Kedudukan mustabdli’ dalam muamalah adalah menyerupai wakil bagi tuannya, sehingga ia harus mengikuti ketentuan yang digariskan olehnya.
Keenam, musta’ir, yaitu orang yang meminjam barang kepada pihak lain. Sebaik-baik orang yang meminjam adalah segera mengembalikan barang yang dipinjam, tanpa kurang suatu apapun. Jika barang itu hilang, atau rusak, maka ia wajib menanggung ganti rugi berupa barang yang sama (mitsli) kepada pihak yang dipinjami. Oleh karena itulah, maka kedudukan barang yang dipinjam atas peminjam, adalah sebagai barang amanah.
Ketujuh, al-ajir al-khash, yaitu orang yang disewa karena profesi atau tugas khusus. Barang, jasa atau tugas yang dipercayakan padanya adalah menempati derajat amanah, sehingga wajib baginya menunaikan semampunya.
Kedelapan, al-ajir al-musytarak, yaitu pihak yang disewa untuk melaksanakan tugas secara bersama-sama berkaitan dengan suatu pekerjaan atau jasa. Kedudukan pekerjaan ini juga menempati derajat amanah dari tuannya kepada pihak ajir.
Kesembilan dan Kesepuluh, wakil dan kafil. Keduanya pihak ini umumnya bersinergi.
Wakil merupakan phak yang diangkat oleh seorang muwakkil untuk melakukan suatu tugas pengelolaan atas nama diri muwakkil. Itulah sebabnya berlaku kaidah masyhur bahwasanya al-wakil ka al-muwakkil fi wakalatihi (wakil itu seperti derajatnya orang yang mewakilkan dalam hal apa yang diwakilkan padanya).
Umumnya, tugas wakil adalah berperan selaku kafil (penanggung jawab) dalam beberapa transaksi tertentu yang diwakilkan padanya. Bahkan juga berlaku ketentuan, bahwa barang hasil pemesanan, dinyatakan sebagai telah diterima (qabdlu) oleh pembeli, manakala barang itu telah diterma oleh wakilnya.
Itulah sebabnya, profesi seorang wakil adalah menduduki profesi amanah, disebabkan ia berlaku layaknya pihak yang mewakilkan pekerjaan padanya.
Kesebelas, al-washi, merupakan pihak yang diwasiati untuk menyampaikan amanat yang ditinggalkan padanya oleh al-mushi (orang yang berwasiat). Wasiat merupakan sebuah pesan seseorang kepada pihak lain disebabkan ia mengalami sakit keras sehingga terancam kematiannya. Oleh karena itulah maka wasiatnya yang disampaikan kepada al-washi adalah menduduki derajat amanah yang harus dilakukan, sebab adakalanya pihak yang berwasiat sudah tidak bisa mengawasi lagi terhadap perkara yang diamanatkan.
Sebenarnya, masih ada pihak lain yang perannya menempati derat pihak penyandang amanah (umana’), yaitu:
- pihak mu’amil (pihak yang diajak bermuamalah),
- multaqith (pihak yang menemukan suatu barang temuan),
- wajid al-laqith (pihak yang menemukan anak terlantar),
- wajid al-dlallah (pihak yang menemukan barang hilang)
- akhidz al-abiqi (pihak yang menangkap budak yang kabur).
Kelima pihak terahir ini masing-masing memiliki tanggung jawab yang secara tidak langsung tertumpu pada pundaknya.
Kewajiban itu menempati derajat amanah, sebab ia harus mengembalikannya atau menyampaikan barang – yang secara tidak langsung menjadi barang amanah baginya – kepada pihak yang berhak menerima dan memilikinya, khususnya manakala ditemui ada pihak yang mencarinya atau mengaku kehilangan.
Jadi, lengkap sudah keenam belas pihak yang berperan selaku penyandang amanah dalam Islam ini. Masing-masing dari pihak itu wajib melakukan tindakan sebagaimana hal itu diamanatkan oleh syariat. Wallahu a’lam bi al-shawab
Bagi anda yang menghendaki Tanya Jawab seputar materi Fikih Muamalah dan praktik Muamalah yang terjadi di masyarakat, hubungi kami di link berikut!
Muhammad Syamsudin (Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.