el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Images (15)

Assalamualaikum yai. Mau nanya. Bagaimana hukumnya jual beli tempo dengan menggunakan mata uang USD yang kemudian dikurskan saat akan ada pembayaran. Mengingat kurs dollar yang fluktuatif sehingga kebijakan pembayaran tempo kurs diberikan saat akan ada pembayaran. Terima kasih. Wassalamualaikum.  (Ahmad kholidin, Pegandon, Kendal, Jawa Tengah)

Jawaban

Wa’alaikum salam warahmatullah wa barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, wa al-shalatu wa al-salamu ‘ala rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam wa ‘ala alihi wa shahbihi wa man tabi’a hudah.

Saudar penanya yang dirahmati oleh Allah! Jual beli tempo (bai muajjalan), seringkali dikenal juga sebagai transaksi jual beli yang dilakukan melalui penyerahan barang di awal (saat transaksi di majelis akad) dengan penyerahan harga di kemudian hari saat waktu jatuh tempo pembayaran (hulul al-ajal). Syarat yang berlaku dalam jual beli jenis ini, adalah harga harus sudah disepakati di majelis akad, sebelum berpisah majelis (al-ittifaq qabla tafarruq al-majelis). 

Yang menjadi masalah, adalah anda bertransaksi dengan menggunakan harga yang disepakati, yaitu menggunakkan satuan mata uang dolar Amerika (USD). Padahal, mata uang dolar nilai kursnya terhadap rupiah (IDR), adalah bersifat fluktuatiif sebagaimana emas dan perak. Alhasil, mata uang dolar adalah menempati derajat barang ribawi (yaruju rawaja al-dzahab). Nah, pertanyaannya bolehkah pembayaran dilakukan dengan USD yang dikurskan nilainya saat pembayaran? Jawabnya, adalah boleh, namun dengan ketentuan memenuhi syarat sebagai berikut:

Baca Juga:
Hutang Piutang dalam situasi berbeda Kurs
Posisi Pupuk dan Pengelolaan terhadap Prosentase Zakat

  1. Nilai harga barang sudah disepakati di majelis akad, yaitu sebesar dolar tertentu. Misalnya, harga disepakati seharga 5 dolar. 
  1. Pada saat pembayaran, uang yang diserahkan adalah dalam bentuk dolar, yaitu tetap sebesar 5 dolar. Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. 
  1. Berapapun kurs dolar terhadap rupiah, harga tetap berpatokan pada harga  5 USD, sebagaimana hal itu disepakati saat di majelis akad. Alhasil, rupiahnya yang mengacu pada 5 dolar, dan bukan sebaliknya nilai 5 dolarnya yang mengacu pada rupiah. 
  1. Agar hal di atas tidak terjadi sebatas permainan harga tanpa adanya wujud mata uang sebagai harga itu sendiri, maka disyaratkan bahwa mata uang dolarnya harus ada, dan bisa diserahkan (qabdlu). Pendapat ini mengacu pada pendapatnya Imam Al-Rafii radliyallahu ‘anh karena pertimbangan kemaslahatan serta merujuk pada qaul qadim Imam al-Syafii radliyallahu ‘anh. 
  1. Jual beli dengan harga menggunakan dolar, namun tanpa keberadaan dolar itu bisa diserahkan/di_qabdlu, adalah sama halnya dengan jual beli menggunakan harga yang bersifat ma’dum (fiktif) atau ghaib, sebab tidak bisa disifati fisik mata uang dolarnya. Dengan demikian, standart harga menggunakan dolar yang tanpa bisanya dolar diserahkan secara fisiik adalah dianggap sebagai mulgha (permainan saja), sehingga harus diabaikan. Dalam kondisi semacam ini maka standart harga dikembalikan pada rupiah (mata uang lokal) dan tidak boleh menggunakan harga berupa mata uang asing..
  1. Tujuan lain dari penetapan syarat penyerahan fisik dolar ini, adalah agar tidak terjadi praktik jual beli dengan mengatasnamakan mata uang asing di suatu wilayah yang sudah memiliki mata uang sendiri. Mengapa? Sebab kerusakan barang yang diakibatkan transaksi jual beli di suatu negeri yang sudah memiliki mata uang sendiri, adalah wajib ditempuh dengan ganti rugi (dlaman al-itlaf) menggunakan standar mata uang (qimat al-mitsli) yang aghlab (berlaku) di wilayah / negeri tersebut dan bukan menggunakan mata uang negara lain (USD, dan sejenisnya). 

Demikian jawaban singkat dari penulis, semoga bermanfaat bagi saudara penanya, dan umumnya kepada para pembaca sekalian.. Wallahu a’lam bi al-shawab

Sumber Rujukan:

Simak dasar hukum berikut!

Syeikh Wahbah mendefinisikan paktik riba nasiah ini dalam karyanya, sebagai berikut:

أولهما: ربا النسيئة الذي لم تكن العرب في الجاهلية تعرف سواه، وهو المأخوذ لأجل تأخير قضاء دين مستحق إلى أجل جديد، سواء أكان الدين ثمن مبيع أم قرضا.

“Pertama adalah riba nasiah, adalah satu-satunya riba yang dikenal oleh kalangan masyarakat Arab jahiliyah. Praktik dari riba ini dilakukan karena faktor penundaan pelunasan utang yang memerlukan pemberian skema tenor waktu pelunasan yang baru, baik utang  itu berupa barang komoditi atau utang uang.” 

Riba kedua yang diharamkan oleh Islam adalah terkait dengan hubungannya dengan praktik jual beli barang ribawi yang manshush. Syeikh Wahbah menyampaikan: 

وثانيهما: ربا البيوع في أصناف ستة هي الذهب والفضة والحنطة والشعير والملح والتمر وهو المعروف بربا الفضل. وقد حرم سدا للذرائع، أي منعا من التوصل به إلى ربا النسيئة، بأن يبيع شخص ذهبا مثلا إلى أجل ثم يؤدي فضة بقدر زائد مشتمل على الربا.

Kedua, adalah riba jual beli yang berlaku atas 6 kelompok harta, yaitu emas, perak, hinthah, gandum, garam dan tamr. Riba ini dikenal sebagai riba al-fadhli yang ditegaskan sebagai haram sebab upaya antisipasi terhadap sesuatu yang diharamkan (sadd al-dzariah), yakni berusaha menghindari  tercebur ke dalam praktik riba nasiah yang dicirikan dengan seseorang menjual emas (umpamanya) sampai suatu tempo pelunasan, kemudian memberikan tambahan berupa perak (karena menambah tempo) sehingga menyerupai  riba al-fadhl. 

والنوع الأول هو المحرم بنص القرآن وهو ربا الجاهلية، وأما الثاني فقد ثبت تحريمه في السنة بالقياس عليه لاشتماله على زيادة بغير عوض

Riba yang pertama dinyatakan keharamannya sebab nash al-Qur’an, yakni riba al-jahiliyah. Adapun riba kedua, ketetapan keharamannya adalah berdasarkan al-sunnah yakni dengan mengqiyaskannya pada riba pertama karena faktor kelebihan yang diberikan dengan tanpa adanya pertukaran.

 وأضافت السنة تحريم نوع ثالث وهو بيع النساء إذا اختلفت الأصناف، فاعتبرته ربا؛ لأن النساء في أحد العوضين يقتضي الزيادة. ويساويه في المعنى القرض الذي يجر نفعا؛ لأنه مبادلة الشيء نفسه (١).

As-sunnah menetapkan penyandaran keharaman jenis riba ketiga yaitu jual beli kredit, khususnya bila berlaku pada komponen barang ribawi tidak sejenis. As-Sunnah mengistilahkannya dengan riba sebab dengan praktik kredit dalam salah satu dua ‘iwadl, secara tidak langsung terjadi pertambahan, sehingga seolah sama pengertiannya dengan qardl jara  naf’an (utang dengan menarik kemanfaatan), karena utang pada dasarnya merupakan akad pertukaran (barter) barang dengan illat sejenis.”

وحكم عقد الربا سواء ربا الفضل وربا النسيئة: حرام باطل عند الجمهور، فلا يترتب عليه أي أثر، فاسد عند الحنفية.

_____________________

وربا النسيئة: وهو البيع لأجل أي البيع نسيئة إلى أجل ثم الزيادة عند حلول الأجل، وعدم قضاء الثمن في مقابلة الأجل، أي أن الزيادة في أحد البدلين من غير عوض في مقابلة تأخير الدفع، سواء من جنس واحد أم جنسين مختلفين، وسواء أكانا متساويين أم متفاضلين

Konsultasi Syariah

Muhammad Syamsudin (Penelitii Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim)

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content