Seorang sahabat bertanya:
“Gus, kalau kisaran besaran pendapatan haram dari penghasilan deposito perbankan bisa ditentukan, oleh karenanya berbuah kisaran pendapatan halalnya dari “bagi keuntungan” juga bisa ditaksir, lantas bagaimana dengan kisaran kewajiban nasabah investor dalam “bagi kerugian” dengan para unit tamwil ini bisa ditaksir?”
Sekilas, jika dipahami, pertanyaan itu adalah benar adanya. Bagaimanapun juga, di dalam pertanyaan itu tersimpan adanya permasalahan yang logis dan masuk akal. Ada beberapa alasan logis tersebut. Setidaknya, kita bisa menganalisanya sebagai berikut:
1. Kegiatan investasi sudah pasti menghendaki bagi hasil. Ini adalah hak investor dan merupakan kewajiban unit tamwil
2. Kegiatan investasi juga sudah pasti wajb berlaku bagi kerugian. Ini adalah hak unit tamwil dan merupakan kewajiban investor
3. Antara bagi keuntungan dan bagi kerugian adalah 2 hal yang saling berikatan (luzumah).
4. Amanah konstitusi: perekonomian Indonesia disusun atas usaha bersama. Itu artinya, bagi kerugian itu juga menyasar ke semua lini nasabah.
5. Adanya bagi keuntungan yang diimbangi dengan adanya bagi kerugian adalah bagian dari perimbangan neraca (Cash-flow). Setidaknya, lewat perimbangan ini terdapat konsekuensi keadialan, lawan dari kedhaliman
Nah, dari keempat landasan berfikir itu maka timbul pertanyaan sebagai wujud kepedulian terhadap ummat, yaitu bagaimana cara menaksir kewajiban “bagi kerugian” tersebut? Inilah menariknya.
Aslinya jawaban pertanyaan ini sederhana kalau dikembalikan pada konteks dasar syariah, yaitu:
1. Uang yang diserahkan oleh nasabah ke perbankan merupakan akad qardl hukmy. Uang harus kembali ke nasabah sebagaimana besaran awal uang itu diserahkan.
2. Akad kreditnya unit tamwil ke perbankan adalah mudlarabah fasidah, sehingga harus dikembalikan ke konteks akad ijarah. Pihak unit tamwil digaji oleh perbankan. Hasil pengelolaan seluruhnya adalah milik bank.
Permasalahannya jika kedua konteks ini kita jadikan solusi, maka akan timbul beberapa masalah lain yang menghendaki terjawab juga.
1. Lagi-lagi kita berhadapan dengan sistem yang sudah tersilabi dengan baik dan dipelajari dalam ruang akademis.
2. Sistem itu juga sudah dikuatkan oleh taqnin, sehingga menyasar semua ruang kehidupan masyarakat (ammatu al-balwa).
3. Sistem itu menjadi penopang negara. Meninggalkan sistem itu secara frontal, sudah pasti berisiko terhadap perekonomian negara yang imbasnya juga pasti besar di masyarakat
4. Mengembalikan ke akad dasar, sama saja dengan menafikan qashdu al-istitsmary nasabah investor yang memiliki hak untuk mendapat “bagi hasil” karena qashdu al-istitsmary-nya
5. Risiko tidak meninggalkan, adalah harus ada juga cara menaksir “sistem bagi kerugian” sebab itu adalah hak para unit tamwil dan merupakan kewajiban nasabah investor.
6. Tanpa memperhitungkannya, maka sedikit atau banyak, ada harta hak milik orang lain yang secara tidak sengaja termakan oleh nasabah investor.
Lantas, bagaimana solusi ideal itu hendaknyya dilakukan? Simak dan pantau terus ulasan dan kajian terbaru dari eL-Samsi di web anda ini! Kami akan carikan dasar rujukan yang insyaallah akan banyak manfaatnya buat menambah wawasan kita. Insyaallah!
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.