Pengertian Mudlarabah
Mudlarabah adalah akad bagi hasil keuntungan sesuai dengan kesepakatan antara dua orang yang salah satunya bertindak selaku rabb al-maal (investor) dan pihak lainnya berlaku sebagai ‘amil (pengelola modal).
Dengan demikian, di dalam akad mudlarabah, modal (ra’su al-maal) adalah 100% berasal dari rabb al-maal (investor). Sementara ‘amil hanya bertindak selaku yang menjalankan modal saja.
Pembagian Keuntungan
Yang dimaksud sebagai keuntungan (profit) dalam mudlarabah, adalah selisih dari pendapatan bersih dikurangi dengan modal (ra’su al-maal). Pengurangan pendapatan bersih juga dilakukan apabila kontrak mudlarabah itu disepakati melebihi 1 haul pengelolaan (qomariyah), dengan dipotong zakat sebesar 2,5% dengan standar nishab berupa emas 78 gram.
Singkatnya, mudlarabah merupakan bagian dari skema akad investasi (istitsmary). Di dalam fikih klasik, akad ini masyhur diistilahkan sebagai akad qiradl.
Landasan disyariatkannya Mudlarabah
Akad mudlarabah dibangun dengan landasan utama berupa adanya pihak yang memiliki modal namun tidak bisa mengelola hartanya, dan di sisi lain ada pihak yang bisa mengelola harta namun tidak memiliki modal. Alhasil, aplikasi akad ini merupakan bagian dari amanah (kepercayaan).
Problemnya, di dalam pembiayaan mudlarabah, akad ini seringkali disertai dengan adanya agunan yang diambil dari pihak ‘amil, yakni pihak yang dibiayai. Bolehkah meminta agunan kepada ‘amil mudlarabah?
Bolehkah meminta Agunan kepada ‘Amil Mudlarabah?
Merujuk pada keterangan yang terdapat pada Ensiklopedi Fikih Kuwait, diketahui bahwa:
الموسوعة الفقهية الكويتية ٣٨/٦٩ — مجموعة من المؤلفين
ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى أَنَّ يَدَ الْمُضَارِبِ عَلَى رَأْسِ مَال الْمُضَارَبَةِ يَدُ أَمَانَةٍ، فَلاَ يَضْمَنُ الْمُضَارِبُ إِذَا تَلِفَ الْمَال أَوْ هَلَكَ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي أَوِ التَّفْرِيطِ. كَالْوَكِيل
“Para fuqaha sepakat bahwasanya penguasaan mudlarib atas modal mudlarabah adalah penguasaan yang berbasiis amanah. Oleh karena itu, pihak mudlarib (pengelola) tidak menanggung ganti rugi akibat rusaknya harta atau musnah kecuali sebab tindakan melampaui batas atau keteledoran, sebagaimana layaknya wakil”
Menurut al-Mushily penyaluran modal mudlarabah seolah merupakan yang diperintahkan oleh investor. Untuk itulah maka pihak mudlarib / ‘amil menempati layaknya wakil yang disuruh.
الموسوعة الفقهية الكويتية ٣٨/٦٩ — مجموعة من المؤلفين
قَال الْمُوصِلِيُّ: إِذَا سُلِّمَ رَأْسُ الْمَال إِلَى الْمُضَارِبِ فَهُوَ أَمَانَةٌ لأَِنَّهُ قَبَضَهُ بِإِِذْنِ الْمَالِكِ، فَإِِذَا تَصَرَّفَ فِيهِ فَهُوَ وَكِيلٌ فِيهِ، لأَِنَّهُ تَصَرُّفٌ فِي مَال الْغَيْرِ بِأَمْرِهِ
“Al-Mushily berkata: apabila modal mudlarabah sudah diserahkan ke mudlarib, maka modal itu menjadi harta amanah, sebab keberadaannya diterima atas idzin pemiliknya. Oleh karena itu, apabila harta itu dibelanjakan oleh mudlarib, maka pihak yang membelanjakan berlaku sebagai wakil atas modal tersebut, karena bagaimanapun juga pembelanjaan itu adalah sama dengan pembelanjaan harta pihak lain atas perintah pemilik.”
Alasan adanya Agunan Mudlarabah
Berangkat dari argumentasi di atas, kita menjadi bertanya-tanya: Mengapa pihak mudlarib selaku yang diperintahkan justru bertindak selaku yang dipungut jaminan (agunan)? Bukankah Si Mudlarib adalah orang kepercayaan (wakil) dari pemilik modal!?
Sudah barang tentu, jawabnya adalah bukan karena faktor hartanya yang dipermasalahkan. Yang dipersoalkan sebenarnya adalah keterjaminan harta milik pemodal dari anasir ta’addy (melampaui batas) dan tafrith (keteledoran) tentunya. Sebab, kedua anasir ini yang kerap menimbulkan kerugian (dlarar). Dan setiap dlarar meniscayakan adanya ganti rugi yang sepadan dengan timbulnya kerugian (al-dlarar bi al-dlamman).