Beberapa model akad kemitraan yang berkembang di kalangan para peternak, dan muncul dengan inisiator utama para pengusaha inti rakyat dewasa ini, memang diakui sebagai banyak menguntungkan para petani peternak dari sisi finansial permodalan. Hal ini merupakan sebuah realitas yang tidak dapat kita pungkiri. Beberapa gagasan yang ditawarkan oleh Pengusaha Inti Rakyat (PIR), acap berbuntut terhindarnya peternak dari kerugian yang besar.
Namun, dalam konteks Ekonomi Keislaman, sasaran utama dari pembangunan ekonomi, adalah tidak hanya untung di dunia, melainkan juga harus falah (menang) di akhirat. Untuk tercapainya kondisi falah, hal terpenting yang harus diperhatikan adalah fokus pada memperhatikan jalinan akad kerjasama / kemitraan yang selama ini dibangun oleh kedua pihak pengusaha inti dan peternak plasma. Mengapa?
Sebab, sahnya akad secara syara’ secara tidak langsung berimbas pada penghasilan para peternak sebagai yang dijamin halal, baik dari sisi PIR, maupun para Peternak Plasma itu sendiri. Dengan penghasilan yang halal, maka keberkahan hidup itu sendiri dan mata pencaharian akan terjadi.
Kajian kali ini akan berfokus terlebih dulu pada pola akad kemitraan yang sudah turun temurun berlangsung di masyarakat. Mengapa? Karena akad kemitraan tradisional ini yang sering dijadikan acuan oleh para pengusaha inti untuk membentuk sistem kerjasama dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari masyarakat peternak plasma.
Alasan yang sering dijadikan acuan adalah ‘urf (tradisi) atau kearifan lokal. Di sinilah yang harus kita luruskan. Sebab, masyarakat kecil terkadang hanya menerima begitu saja tanpa bisa melawan. Mereka acap menjadi korban tanpa mampu mengelak.
Jika untuk skala kecil masyarakat awam, barangkali kerugian akibat skema kemitraan itu tidak begitu terasa. Namun, untuk skala besar, seperti antara perusahaan dengan masyarakat, tidak mendapatnya masyarakat peternak plasma terhadap hak yang memang seharusnya mereka dapat, adalah sebuah praktik kezaliman. Inilah pentingnya kajian ini disampaikan.
Kemitraan Peternak Peggemukan dan Permasalahan Fikihnya
Di dalam akad kemitraan ini, modal yang diterima masyarakat kecil umumnya adalah berupa ternak itu sendiri. Biasanya, pihak pemodal membelikan sapi atau kambing untuk seseorang, sebanyak yang mereka sanggupi atau kesanggupan pihak pemodal itu sendiri. Kebutuhan kandang terkadang disediakan secara mandiri dan sukarela oleh pihak yang dimodali, atau jika kandang itu berada di tempat pemodal, maka kandang itu didirikan oleh pemodal. Pihak peternak yang dimodali (selanjutnya kita sebut Peternak) bertugas merawat hewan ternak itu sampai kemudian siap dijual.
Mekanisme Kemitraan Penggemukan Tradisional
Secara rincii, mekanisime akad bagi hasil peternakan ini, adalah sebagai berikut:
- Pemodal membelikan pedet sapi (anak sapi), dengan “harga yang diketahui bersama”. Biasanya masyarakat memilih sapi pejantan, dengan alasan cepat besar dan cepat laku bila dijual
- Pedet tersebut kemudian diserahkan kepada Peternak untuk dirawat
- Selama perawatan, segala kebutuhan pakan dan perawatan ditanggung oleh Peternak, kecuali bila ada biaya untuk pengobatan hewan yang sakit, dan sejenisnya
- Ketika sudah mencapai 1 atau 2 tahun perawatan, ternak itu kemudian dijual
- Selisih “harga jual” dengan “harga beli” kemudian dibagi berdua antara pemodal dan peternak
Akad Kemitraan Peternakan Penggemukan yang Sahih
Secara fikih, akad sebagaimana telah disebutkan di atas adalah termasuk jenis akad qiradl (bagi hasil pendampingan modal). Mengapa? Sebab modal pembelian ternak, adalah 100% berasal dari pemodal. Untuk model akad qiradl sebagaimana diuraikan di atas, adalah termasuk qiradl yang sahih, sehingga boleh dipraktikkan. Alasan shahihnya adalah disebabkan karena adanya unsur “diketahuinya” harga beli dan harga jual oleh dua pihak yang saling berakad. Alhasil, dengan akad ini, maka tidak terdapat unsur gharar / spekulatif yang dilarang oleh syara’ di dalam akad. .
Beberapa Model Akad Kemitraan Peternakan Penggemukan yang Tidak Sah secara Fikih
Ada beberapa jenis akad penggemukan yang tidak dibenarkan oleh syara’ dan sering terjadi di masyarakat, antara lain sebagai berikut:
Pertama, Jika harga beli ternak yang hendak dirawat,, tidak diketahui bersama oleh pihak yang berakad. Untuk contoh kasus akad model seperti ini adalah sama dengan mekanisme bagi hasil akad ternak di atas, akan tetapi dengan menghilangkan unsur pengetahuan terhadap harga beli ternak di awal. Akad ini dilarang disebabkan karena adanya unsur jahalah (tidak tahu harga beli) sehingga akad perawatan ternak oleh Peternak (amil qiradl) menjadi bersifat spekulatif (gharar). Alhasil, akad qiradlnya menjadi qiradl fasid.
Saat akad qiradl menjadi fasid, maka akad bagi hasil dialihkan solusinya menjadi akad ijarah, sehingga pihak ‘amil qiradl (peternak) berhak mendapatkan ujrah mitsil, yaitu upah stnndar atau upah penyesuaian.
Seberapa besar ujrah mitsil itu dibayarkan? Jawabnya adalah sebesar umumnya para peternak mendapat bagi hasil lewat akad qiradl yang shahih. Mengapa? Karena ujrah mitsil merupakan sistem pengupahan yang ditetapkan berdasarkan ‘urf. Adapun ‘urf yang paling dekat dengan peternak lewat akad kemitraan penggemukan, adalah umumnya peternak lain mendapatkan bagi hasil dalam merawat ternak pihak lain.
Kedua, merawat dua ekor anak kambing untuk digemukkan dan dipelihara. Kemudian setelah 2 tahun, salah satu kambing yang dirawat menjadi upahnya pihak peternak yang merawat. Akad ini juga termasuk jenis akad qiradl yang rusak.
Rusaknya akad qiradl ini, ada 2, yaitu: 1) disebabkan tidak jelasnya harga anak kambing di awal, dan 2) disebabkan tidak jelasnya upah bagi peternak yang bekerja menggemukkan dan merawat. Dijadikannya salah satu kambing sebagai upah perawatan tersebut merupakan bagian dari akad pengupahan yang tidak sah disebabkan kambing yang dijadikan upah merupakan bagian dari modal awal. Alhasil, terdapat unsur jahalah (ketidaktahuan) terhadap harga jual kambing di pasar pada saat akhir qiradl. Dalam kondisi seperti ini, yang dirugikan bisa jadi adalah pemodal.
Satu catatan, bahwa syarat modal qiradl itu dianggap sah sebagai modal, adalah wajib bila modal itu dinyatakan sebagai harga, yaitu harga beli kambing, dan harga jual kambing. Alhasil, upah tersebut, tidak boleh dalam bentuk berupa barang mutaqawwam (barang yang masih berwujud benda yang belum dijadikan harga).
Penutup
Demikianlah akad kemitraan penggemukan yang sering berlaku dan terjadi di kalangan masyarakat tradisional. Tujuan dari penjelasan ini adalah dimaksudkan agar praktik yang salah dan terkadang merugikan salah satu pihak peternak dan pemodal itu, tidak dijadikan landasan bagi pihak-pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan tidak mempedulikan pihak lain yang dirugikan akibat tradisi yang sudah berlaku tersebut.
Dua contoh akad yang terakhir terkait dengan usaha penggemukan, adalah contoh akad qiradl yang fasid (rusak) secara syara’, sehingga dilarang untuk dipraktekkan disebabkan adanya unsur jahalah (tidak diketahuinya) upah. Ketidaktahuan terhadap upah seringgkali menarik adanya unsur gharar (spekulatif) yang dilarang oleh syara’. Keberadaan ghararnya akad, menarik pada dlarar (merugikan) salah satu pihak.
Akad yang benar dalam kemitraan penggemukan ternak,, adalah sebagaimana disampaikan dalam contoh mekanisme kemitraan penggemukan. Harga beli hewan harus diketahui sebagaimana wajib diketahuinya harga jual. Selisih antara harga beli dan harga jual dijadikan acuan untuk bagi hasil sesuai kesepakatan. Jika tidak ada kesepakatan di awal tentang berapa bagi hasil itu ditetapkan bagi pemodal dan bagi peternak, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada urf pembagian yang berlaku. Jika tidak ada ‘urf pembagian yang berlaku, maka pihak pemodal mendapatkan 50% keuntungan dan Peternak juga 50% keuntungan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Muhammad Syamsudin
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.