elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Akad Menyewa Pawang Hujan

Kita sudah berada di akhir Bulan Sya’ban yang bertepatan di akhir Bulan Maret 2021. Biasanya, pada bulan-bulan ini, masyarakat banyak menyelenggarakan hajatan pesta pernikahan. Ada juga sekumpulan masyarakat yang menyelenggarakan suatu even, suatu misal Peringatan Isra Mi’raj Nabi Agung Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Berbagai penyelenggaraan ini adalah sah-sah saja. Namun, di tengah kondisi Pandemi Covid-19 ini, himbauan penulis adalah agar kita tetap senantiasa menjaga protokol kesehatan. Semuanya demi kita sendiri, untuk lebih lama mengabdi kepada Sang Pencipta. 

Karena Bulan Rajab jatuh pada bulan Februari hingga Maret, maka musim di Indonesia bertepatan dengan musim penghujan. Ada hal unik yang sering dilakukan oleh masyarakat ketika menyelenggarakan hajatan di musim penghujan semacam sekarang ini. Mereka mendatangkan seorang Pawang Hujan. 

Ada keyakinan yang beredar di masyarakat, bahwa setelah didatangkan Pawang Hujan, ternyata hajatan menjadi lancar dan tidak terganggu oleh hujan. Semuanya terjadi, ketika Sang Pawang ini selesai membacakan doa-doa. Nah, persoalannya adalah bagaimana hukum menyewa Pawang Hujan untuk terhindar dari hujan yang dapat membuat hajat berantakan seperti ini? Mari kita kaji bersama!

Hujan merupakan Kehendak Allah SWT

Adalah hal yang harus kita fahami secara mendasar, adalah bahwa pada dasarnya hujan itu merupakan rahmat dari Allah SWT. Hujan juga turun atas kehendak Allah. Tidak ada satupun makhluk yang bisa merubah kehendak-Nya, bila Dia sudah berkehendak. Dalam ilmu aqaid, secara sekilas disampaikan bahwa: in yasya’ fayakun, wa in lam yasya’ lam yakun (Jika Dia berkehendak,, maka terjadilah, dan jika tidak berkehendak, maka tiada bakal terjadi). Ini adalah dasar aqaid kita. Tidak bisa kita terjang dan kita langgar. 

Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, bahwasanya: wa anzala mina al-sama-i ma-an fa ahya bihi al-ardla ba’da mautiha (Dialah yang telah menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi-bumi yang mati). Diksi air dari langit menyertai diksi anzala yang bermakna menurunkan. Artinya, bahwa turunnya air tersebut merupakan kehendak Allah SWT dan bukan kehendak manusia. Itulah sebabnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan umatnya, agar senantiasa membaca doa ketika turun hujan, yaitu: 

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ ، وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ ، وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

“Ya Allah turunkan hujan ini di sekitar kami jangan di atas kami. Ya Allah curahkanlah hujan ini di atas bukit-bukit, di hutan-hutan lebat, di gunung-gunung kecil, di lembah-lembah, dan tempat-tempat tumbuhnya pepohonan.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Imam Muslim) 

Jika Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang dikaruniai mu’jizat membelah bulan, dan pohon bisa berjalan dan berpindah tempat atas perintah beliau, beliau tidak pernah meminta agar dihentikan turun hujan, maka bagaimana dengan umat beliau? Sudah barang tentu, alangkah tidak beretikanya jika memohon agar hujan itu dihentikan atau mendakwa sebagai yang mampu menyimpangkan hujan. 

Meneladani Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menghadapi hujan, maka yang diperkenankan bagi seorang hamba adalah berdoa. Jadi, bukan menerangkan hujan, atau menyingkirkan hujan. Sebab, dua diksi terakhir ini adalah seolah melawan kehendak Allah, Dzat Penguasa Semesta Alam. 

Pawang Hujan, Apanya yang disewa?

Istilah “pawang” memang identik dengan istilah “pengendali.” Namun, dalam praktiknya, pada dasarnya pihak pawang, bukanlah berlaku sebagai pengendali. Dia hanya seorang hamba, yang hanya berhak untuk memohon saja. Masalah dikabulkan atau tidak, itu semua adalah kehendak Allah SWT. Jika Dia berkehendak, maka hujan tidak lagi turun. Jika Dia tidak berkehendak, maka tetaplah hujan kan turun jua. 

Kalau begitu, lantas apa yang pantas untuk disewa dari seorang pawang hujan? Sudah barang tentu, yang disewa dari seorang pawang hujan, adalah bukan soal kemampuannya mengendalikan hujan, sebab ia sama sekali tidak punya kuasa atasnya.

“Oleh karena itu, bila menyewa pawang hujan adalah diniati karena kemampuannya dalam mengendalikan hujan, maka akad semacam ini adalah termasuk akad yang gharar (spekulatif) sehingga akad ijarahnya menjadi ijarah fasidah (sewa jasa yang rusak).”

Dengan begitu, yang disewa dari seorang pawang hujan, pada dasarnya adalah kemampuan dia dalam membaca dan memohon / berdoa agar hujan tidak turun. Atau andaikan turun, tidak sampai mengganggu kelancaran acara. Hukum menyewa kemampuan berdoa semacam ini adalah boleh, sebagaimana menyewa orang agar membaca Al-Qur’an di makam orang tertentu, dengan niat fahalanya disampaikan kepada pihak ahli qubur atau niat dijadikan mahar. Bahkan seumpama mengajarkan mushaf kepada calon mempelai. Pengajaran dan bacaan semacam ini, merupakan perkara yang jelas bisa diambil manfaatnya, sebagaimana bacaan doa memohon terangnya hujan. Alhasil, boleh memungut biaya karena manfaat darii bacaan doa tersebut sebagaimana kebolehan bacaan dan pengajaran al-Qur’an diupah dan upahnya dijadikan mahar.. 

وَلَا يُشْتَرَطُ تَعْيِينُ الْحَرْفِ – الَّذِي يُعَلِّمُهُ لَهَا كَقِرَاءَةِ نَافِعٍ أَوْ أَبِي عُمَرَ وَكَمَا فِي الْإِجَارَةِ فَيُعَلِّمُهَا مَا شَاءَ عَلَى مَا اقْتَضَاهُ أَرَادَ الشَّيْخَ أَبَا حَامِدٍ وَمَنْ تَبِعَهُ وَنَسَبَهُ الْمَاوَرْدِيُّ إلَى الْبَغْدَادِيِّينَ ثُمَّ نُقِلَ عَنْ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّهُ يُعَلِّمُهَا مَا غَلَبَ عَلَى قِرَاءَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ قَالَ الْأَذْرَعِيُّ وَهُوَ حَسَنٌ

“Tidak disyaratkan menentukan huruf yang diajarkan kepada calon zaujah, seperti halnya tidak disyaratkan mengajarkan bacaan ‘ala Qiraah Imam Nafi’ atau Qraah ‘ala Imam Ibnu Umar. Sebagaimana yang berlaku pada akad ijarah, maka hal yang diajarkan adalah sesuai dengan kemauan (pengajar / yang diajar). Pendapat ini merupakan intiisari dari pandangan Imam Abu Hamid al-Ghazali yang diikuti oleh Imam al-Mawardi dan sejumlah kalangan Ulama Baghdad. Adapun pandangan ulama Mesir menyatakan bahwa yang diajarkan adalah berupa ayat atau qiraah sesuai dengan qiiraah umumnya ahli negeri tersebut. Pendapat ini dipandang sebagai hasan oleh Imam Al-Adzra’i” (Asna al-Mathalib fi Syarhi Raudlati al-Thalib, Juz 3, halaman 215)

Kesimpulan Hukum

Menyewa pawang hujan, adalah jangan diniatkan untuk menyewa kemampuan Si Pawang dalam menyimpangkan hujan. Sebab, hujan merupakan kehendak Allah SWT yang tiada seorang hamba pun bisa merubah kehendak-Nya. 

Menyewa pawang hujan, hendaknya diniatkan sebagai menyewa jasanya dalam membacakan doa agar tidak turun hujan selama acara berlangsung. Atau, doa agar hujan yang turun, merupakan hujan yang penuh dengan rahmat. Mengapa harus diniatkan demikian? Sebab, menyewa Pawang agar nyiwer / menyimpangkan hujan, adalah termasuk ijarah fasidah disebabkan unsur spekulatif antara turun hujan dan tidak turun. Alhasil, tidak diperbolehkan secara syara’. Yang boleh, adalah menyewa manfaat membacakan doa.

Wallahu a’lam bi al-shawab. 

Muhammad Syamsudin (Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim)

Konsultasi Akad Muamalah

Spread the love
Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Related Articles

Tinggalkan Balasan