Para fuqaha telah berusaha mencari takyif fikih mengenai akad musaqah. Mengapa diperbolehkan dan mengapa hanya khusus diberlakukan pada Kurma dan Anggur. Bagaimana bila musaqah diterapkan pada obyek tanaman lain?
Imam Haramain rahimahullah di dalam kitabnya menjelaskan::
المساقاة تنزع إلى عقود، وتشبهها في أحكام: هي شبيهة بالسَّلَم، من حيث إن العامل يلتزم العمل في الذمة، ولا تبطل بموت العامل، وتشبه بيعَ العين [الغائبة] (١)؛ إذ لا يجب فيها تسليم العوض في المجلس، بل لا سبيل إلى ذلك؛ فإن عوض العمل جزء من الثمار التي سيخلقها الله تعالى، وهي شبيهة بالإجارات؛ إذ المقصود منها العمل، وهي على الجملة معاملةٌ مستقلة بنفسها، ذاتُ خاصية
Berdasarkan pandangan ini, akad musaqah itu sejatinya bisa ditakyif menurut beberapa model. Pertama, disamakan dengan akad salam dengan obyek akad berupa amalnya amil yang masuk dalam ruang al-amal fi al-dzimmah. Amal ini tidak bisa dibatalkan meski Si Amil itu telah mati sebagaimana jual beli barang yang tidak ada (bai’ ainin ghaibah). Upahnya Si Amil tidak harus diserahkan di majelis akad. Hanya saja, tidak mungkin bagi kita membawa akad musaqah itu ke arah situ (sebab akad salamnya yang harus menyerahkan ra’su al-maal).
Kedua, disamakan dengan akad ijarah. Jika amalnya ‘amil dirupakan dalam bentuk bagian dari buah yang belum terjadi, maka akad musaqah akan menyerupai akad ijarah. Secara umum, penyamaan musaqah dengan akad ijarah adalah tidak sesuai sebab keduanya merupakan 2 hal yang berbeda dan masing-masing memiliki kekhushusan. Alhasil, jika musaqah dipandang sebagai akad ijarah, maka ijarahnya menjadi fasidah sebab gharar pada upahnya ‘amil.
Nah, takyif sebagaimana di atas, ternyata juga berlaku atas akad muzara’ah. Lantas atas dasar apa kemudian muzara’ah dengan obyek berupa tanaman selain anggur dan kurma itu tidak diperbolehkan? Lanjut ke halaman berikutnya>>>>