el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Pembiayaan Konsumtif Line Facility

Ada seorang debitur ingin membeli suatu barang, namun ia tidak memiliki uang. Akhirnya ia menghubungi IKNB Syariah untuk membelikannya dengan janji akan dibelinya disertai dengan keuntungan bagi pihak IKNB Syariah. 

Akad ini sering diidentifikasi sebagai akad istishna’, akad bai’ murabahah li al-amiri bi al-syira’ atau akad ijarah. Lebih pasnya adalah ijarah dzimmah. 

Kedua akad di atas, menyatakan bahwa praktek bai’ murabahah li al-amiri bi al-syira adalah boleh. Dan itu yang memang saat ini banyak dipraktekkan, termasuk oleh perbankan syariah atau finance syariah (lembaga  pembiayaan syariah untuk kategori pembiayaan kredit konsumtif line facility

Apakah ada pihak yang mengharamkan? Apa landasannya? Berikut ini penulis akan menyampaikannya dari sudut pandang pihak yang mengharamkan. 

Pihak yang mengharamkan praktik di atas melabelinya sebagai bai’ muwa’adah. Apa itu bai’ muwa’adah?

Bai’ Muwa’adah

Secara bahasa, makna muwa’adah adalah berbagi janji atau saling berjanji. Kiranya akad inii dibentuk oleh relasi bahwa:

  1. pihak kreditur menjanjikan akan mengusahakan barang yang dibutuhkan oleh debitur, dan 
  2. debitur menjanjikan akan membeli barang sesuai dengan yang dipesan kepada kreditur disertai dengan tambahan keuntungan bagi piihak IKNB Syariah.

Alhasil, bai’ muwa’adah adalah jual beli dengan fondasi utama berupa janji (al-wa’ad atau al-’uhdah), sebagaimana penegasan berikut:

بيع المواعدة لأن الوعد أساس في صورها كافة

Adapun ta’rifnya, sebagaimana disampaikan oleh Syeikh Ismail al-Muqaddam, adalah sebagai berikut:

بيع المواعدة هو: عقد بيع على سلعة مقدرة التملك للمصرف بثمن مربح قبل أن يملك المصرف السلعة ملكًا حقيقيًا وتستقر في ملكه، هذا أول سبب في التحريم، ويظهر ذلك جليًا بمعرفة شروط المبيع وهي: أن يكون مباحًا، مقدورًا على تسليمه، مملوكًا لبائعه، منتفعًا به

دروس الشيخ محمد إسماعيل المقدم ٨٨/‏٣ — محمد إسماعيل المقدم (معاصر) – حكم المرابحة [2]←أدلة تحريم بيع المواعدة الملزمة بالاتفاق بين الطرفين←فقدان شرط الملكية والقدرة على التسليم

Kedudukan Al-Wa’ad

Sebagai asas kontrak, maka janji dalam hal ini menjadi fokus utama pembahasan. Menepati janji adalah yang dipuji. Ingkar janji adalah yang dicela dalam syara’. 

وعليه فاعلم أنه قد أجمع المسلمون أنه على العموم فإن الوفاء بالوعد (العهد) محمود، وأن إخلاف الوعد (العهد) وعدم الوفاء به مذموم

Dasar utama perintah menepati janji, adalah Firman Allah SWT:

واذْكُرْ فِي الكِتابِ إسْماعِيلَ إنَّهُ كانَ صادِقَ الوَعْدِ وكانَ رَسُولًا نَبِيًّا 

“Dan ingatlah dalam Al-Kitab, bahwasanya Isma’il adalah sosok yang senantiasa menepati janji. Ia adalah seorang dan seorang nabi.” (Q.S. Maryam: 5)

Landasan yang sama agar menepati janji, adalah keumuman Firman Allah SWT:

يا أيُّها الَّذِينَ آمَنُوا أوْفُوا بِالعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad (janji)!” (Q.S. Al-Maidah: 1)

Adapun yang landasan dicelanya ingkar janji, adalah:

Pertama, firman Allah: 

يا أيُّها الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ ما لا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أنْ تَقُولُوا ما لا تَفْعَلُونَ [الصف ٢-٣]

Di ayat yang lain, Allahًٍ SWT juga berfirman:

فَأعْقَبَهُمْ نِفاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إلى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِما أخْلَفُوا اللَّهَ ما وعَدُوهُ وبِما كانُوا يَكْذِبُونَ. [التوبة ٧٧]

Kedua, Sabda Baginda Nabi Muhammad SAW yang terekam di dalam Kitab Hadits:

حديث أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله ﷺ قال: «آية المنافق ثلاث: إذا وعد أخلف …»

Janji terkait Harta

Semua yang berkaitan dengan pujian dan perintah menepati janji dan sekaligus celaan mengingkarinya di atas adalah pondasi umum (dalil ‘am) soal janji. 

Pertanyaannya adalah bagaimana bila janji tersebut berikatan dengan persoalan harta? 

Sebagaimana telah disampaikan dalam contoh kasus di atas, bahwa seolah telah terjadi ikatan janji antara pemesan dengan yang dipesani sebagai berikut: 

“Tolong belikan saya barang yang saya butuhkan, saya akan beli dari kamu secara angsuran kredit.” 

Nah, bagaimana dengan tahqiq janji sebagaimana dalam akad tersebut? 

Imam Ibnu Irfah rahimahullahu, salah satu ulama’ otoritatif dari kalangan Madzhab Maliki, menyampaikan sebuah ungkapan menarik tentang janji. Ungkapan ini disampaikan dalam kasus hibbah bi al-wa’di dan diberi penjelasan oleh Abdu al-Baqy al-Zarqany (w. 1099 H). 

ختم ابن عرفة كتاب الهبة بالوعد وعرفه بأنه أخبار عن إنشاء المخبر معروفًا في المستقبل قال فيدخل الوعد بالحمالة وغيرها ثم قال الوفاء به مطلوب اتفاقًا 

شرح الزرقاني على مختصر خليل وحاشية البناني ٧/‏٢٠١ — الزُّرْقاني، عبد الباقي (ت ١٠٩٩) – باب الهبة

“Ibnu ‘Irfah mengakhiri kajian tentang Hibbah bi al-wa’di dengan pendefinisian bahwa sesungguhnya penyampaian informasi oleh mukhbir adalah harapan mengenaii sesuatu yang baik di masa mendatang. Termasuk dalam janji adalah kesediaan membawakan sesuatu dan sejenisnya. Selanjutnya beliau menyampaikan bahwa menepati janji yang sedemikian itu adalah yang dianjurkan (oleh syara’) dengan kesepakatan.”

Argumentasi yang lebih rinci, disampaikan oleh Ibnu Rusyd yang juga merupakan ulama dari kalangan Madzhab Maliki. Ibnu Rusyd memerinci wajib atau tidaknya penunaian janji sebagaimana di atas berdasarkan ada atau tidaknya sebab janji itu disampaikan, antara lain sebagai berikut:

وقد ذكر عن ابن رشد في رسم طلق من سماع ابن القاسم من العارية في لزوم الوفاء به أربعة أقوال أحدها يلزم الوفاء به مطلقًا لعمر بن عبد العزيز الثاني إن كان على سبب لزم وإن لم يدخل بسببه في السبب لأصبغ مع مالك في هذا السماع الثالث يلزم إن كان على سبب ودخل بسببه في السبب لابن القاسم في هذا السماع الرابع لا يقضي به مطلقًا لقول ابن القاسم أيضًا مع قول سحنون في سماع القرينين اهـ.

شرح الزرقاني على مختصر خليل وحاشية البناني ٧/‏٢٠١ — الزُّرْقاني، عبد الباقي (ت ١٠٩٩) – باب الهبة

“Ibnu Rusyd dalam suatu tulisan hasil rekaman Ibnu al-Qasim tentang akad ‘Ariyah (pinjam barang) yang dihubungkan dengan janji hibbah suatu harta di masa yang akan datang, menjelaskan adanya 4 aqwal berkaitan dengan wajib tidaknya penunaian janji tersebut, yaitu: 

  1. Wajib ditunaikan secara mutlak sebagaimana rekaman sejarah Umar bin Abd al-Aziz al-Tsany. 
  2. Jika ada sebab janji maka wajib penunaiannya dengan catatan jika sebab tersebut tidak masuk dalam sebab terjadinya ariyah, sebagaimana dijelaskan oleh Ashbagh dan Malik dalam rekaman penjelasan mereka. 
  3. Wajib penunaian meskipun ada sebab janji dan sebab tersebut ada di dalam sebabnya terjadi ‘ariyah, sebagaimana diuraikan dalam rekaman karya Ibnu Qasim 
  4. Tidak wajib ditunaikan secara mutlak sebagaimana ini juga disampaikan oleh Ibn Qasim dari merecord penjelasan Sahnun yang disandarkan pada karya al-Qarinain.”
Alhasil, berdasarkan uraian tersebut, ada 3 pendapat yang menyatakan bolehnya menyampaikan hibah suatu harta yang dijanjikan, meskipun pada dasarnya akad ‘ariyah adalah akad pinjam barang tanpa disertai uang. Sebab, akad ariyah yang disertai dengan uang, maka akadnya menjadi akad ijarah (sewa manfaat). ‘Ariyah shuratan, ijarah hukman.
Akan tetapi, satu qaul menyatakan hukumnya tidak wajib menyampaikan janji pemberian harta tersebut, khususnya bila di awal akad ‘ariyah itu ada perjanjian pemberian harta. Sudah barang tentu, ketidakbolehan ini adalah dilatarbelakangi oleh batalnya akad ‘ariyah karena tidak terpenuhi adanya syarat akad tersebut. 

Bagaimana dengan janji pada Bai’ Muwa’adah?

Berdasarkan argumentasi di atas, maka dalam kasus bai’ muwa’adah yang mana uang pokoknya belum diserahkan, namun ada janji dari pemesan bahwa ia akan memberikan harga yang lebih besar dari harga pokok (ra’su al-maal) barang yang dipesannya, secara tidak langsung dapat diperinci sebagai berikut:

Pertama, hukumnya boleh secara mutlak. Kemutlakan ini sudah barang tentu disandarkan karena adanya barang yang menjadi wasilahnya. 

Kedua, hukumnya boleh dengan catatan bahwa janji tersebut tidak berikatan dengan pengadaan barang. 

Ketiga, hukumnya adalah boleh meskipun janji itu diikatkan dengan pengadaan barang. 

Keempat, hukumnya adalah dilarang sebab adanya janji menambah harga barang dalam akad jual beli salam, adalah sama dengan qardlu jara naf’an

Alhasil, berdasar akad "keempat" ini, akad jual beli sebagaimana dijelaskan di muka dan dikategorikan sebagai bai’ muwa’adah, adalah diserupakan dengan akad riba qardly, ditambah adanya penguatan sabda Rasulullah mengenai larangan bai’ wa salafin, dan bai’ ma laisa ‘indak. 
Namun, berdasar tiga pendapat ulama yang lain, hukumnya adalah dibolehkan. Kiranya illat yang dipergunakan oleh ketiga pendapat itu, adalah sebab adanya barang yang menjadi wasilah. Oleh karenanya, boleh mengambil keuntungan yang dijanjikan oleh pemesan (mukhbir).

Referensi:

Aqwal Hanafiyah

الأصل للشيباني ط قطر ٩/‏٤٦٤ — محمد بن الحسن الشيباني (ت ١٨٩) – كتاب الحيل←باب الوجه في الشرى والبيع في الدور وما أشبهها والثقة في ذلك

قلت: أرأيت الرجل يريد أن يشتري دارًا من رجل ولا يعلم أنها للذي يريد بيعها ولا يأمن أن يقيم رجل البينة أنها له فيأخذها من يدي المشتري كيف يصنع حتى يستوثق؟ قال: يشتريها من البائع رجل غريب، ويكتب اسمه، ثم يشهد المشتري أنه آجرها من الذي اشتراها باسمه كل سنة بشيء، ويدفعها إليه، ويشهد بعد ذلك من يثق به أنه إنما اشتراها لساكنها، وأنها داره لا حق له فيها. قلت: أرأيت إن لم يؤاجرها منه ولكنه وكله بالاحتفاظ بها والمَرَمَّة لها أيكون هذا صحيحًا؟ قال: نعم.

قلت: أرأيت رجلين يدعيان هذه الدار هل يكون الذي في يديه الدار خصمه؟ قال: لا.

قلت: أرأيت رجلًا أمر رجلًا يشتري له دارًا بألف وأخبره إن هو فعل اشتراها منه الآمر بألف درهم ومائة، وأراد المأمور أن يشتريها، فخاف إن هو اشتراها أن يبدو للآمر فلا يشتريها وتبقى الدار في يدي المأمور؟ قال: يشتري المأمور الدار على أنه بالخيار فيها ثلاثة أيام، ويقبضها، ويجيء الآمر إلى المأمور، فيقول: قد أخذت منك هذه الدار بألف ومائة، فيقول له المأمور: هي لك بذلك، فيكون ذلك للآمر لازمًا، ويكون المأمور قد تخلص

ِAqwal Malikiyyah

شرح الزرقاني على الموطأ ٣/‏٤٦٦ — الزرقاني، محمد بن عبد الباقي (ت ١١٢٢) – [كتاب البيوع]←[باب النهي عن بيعتين في بيعة]

وحَدَّثَنِي مالِك أنَّهُ بَلَغَهُ أنَّ رَجُلًا قالَ لِرَجُلٍ ابْتَعْ لِي هَذا البَعِيرَ بِنَقْدٍ حَتّى أبْتاعَهُ مِنكَ إلى أجَلٍ فَسُئِلَ عَنْ ذَلِكَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ فَكَرِهَهُ ونَهى عَنْهُ

ـــــــــــــــــــــــــــــ

١٣٥٢ – (مالِكٌ أنَّهُ بَلَغَهُ أنَّ رَجُلًا قالَ لِرَجُلٍ: ابْتَعْ لِي هَذا البَعِيرَ بِنَقْدٍ حَتّى أبْتاعَهُ مِنكَ إلى أجَلٍ، فَسُئِلَ عَنْ ذَلِكَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ فَكَرِهَهُ ونَهى عَنْهُ) أُدْخِلَ تَحْتَ هَذِهِ التَّرْجَمَةِ لِأنَّ مُبْتاعَهُ بِالنَّقْدِ إنَّما ابْتاعَهُ عَلى أنَّهُ قَدْ لَزِمَ مُبْتاعَهُ لِأجَلٍ بِأكْثَرَ مِن ذَلِكَ الثَّمَنِ، فَتَضَمَّنَ بَيْعَتَيْنِ: بَيْعَةَ النَّقْدِ وبَيْعَةَ الأجَلِ، وفِيها مَعَ ذَلِكَ بَيْعُ ما لَيْسَ عِنْدَكَ لِأنَّهُ باعَ مِنهُ البَعِيرَ قَبْلَ أنْ يَمْلِكَهُ وسَلَّفَ بِزِيادَةٍ كَأنَّهُ أسْلَفَهُ ما نَقَدَهُ بِالثَّمَنِ المُؤَجَّلِ، وهَذا كُلُّهُ يَمْنَعُ الجَوازَ والعِينَةُ فِيها أظْهَرُ قالَهُ الباجِيُّ.

(شرح مختصر الطحاوي للجصاص ٣/‏١١٠ — الجصاص (ت ٣٧٠))

مسألة: [بيع ما لم يقبض] قال أبو جعفر: (ولا يجوز بيع ما لم يقبض من الأشياء المبيعة إلا العقار في قول أبي حنيفة، وأما أبو يوسف ومحمد: فكانا لا يجيزان بيع ذلك أيضا حتى يقبضه).

قال أحمد: رجع أبو يوسف إلى قول أبي حنيفة، والذي ذكره عنه أبو جعفر هو قوله الأول لأبي حنيفة: قول الله تعالى: ﴿وأحل الله البيع﴾، وهو عام في كل شي، إلا ما قام دليله. فإن قيل: روي عن النبي ﷺ «أنه نهى عن بيع ما لم يقبض». قيل له: إنما يتناول هذا اللفظ ما يتأتى فيه القبض الحقيقي، فأما العقار فلم يتناوله؛ لأنه لا يتأتى فيه القبض على الحقيقة، لأن القبض الحقيقي هو النقل، وذلك لا يصح في العقار.

فإن قيل: القبض المستحق بالبيع ليس هو النقل، وإنما هو التخلية، وذلك يمكن في العقار.

قيل له: إنما تعتبر التخلية في جواز البيع، وتقام مقام النقل فيما يتأتي فيه القبض الحقيقي، فأما ما لا يتأتى ذلك فيه، فاعتبار التخلية فيه من هذا الوجه ساقط.

*ومن جهة النظر: إنه لما كان العقار مما لا يخشى انتقاض البيع بهلاكه، صار كالمهر، والجعل في الخلع، والصلح من دم العمد، ويجوز التصرف في جميع ذلك قبل القبض؛ لأنه لا يخشى انتقاض العقد بهلاكه.

وأما أبو يوسف، فكان قوله مثل قول محمد، ثم رجع إلى قول أبي حنيفة.

هذا المسألة مبنية على اختلافهم في ضمان العقار بالغصب.

التفريع في فقه الإمام مالك بن أنس ٢/‏١١٢ — ابن الجلاب (ت ٣٧٨)

ولا يجوز البيع والسلف، فمن فعل ذلك وترك الشرط ما لم يقبض السلف فالبيع جائز، وإن قبض السلف فسخ البيع ورد السلعة إلى القيمة يوم القوت لا يوم القبض، ولا يوم الحكم. والبيع والكراء كذلك. 

المنتقى (٥/ ٢٩)

وقد حكى الإجماع غير واحد من أهل العلم على تحريم اشتراط البيع مع عقد القرض«. قال الباجي في المنتقى:»لا يحل بيع وسلف، وأجمع الفقهاء على المنع من ذلك … «

الفروق (٣/ ٢٦٦).

وقال القرافي:»وبإجماع الأمة على جواز البيع والسلف مفترقين، وتحريمهما مجتمعين لذريعة الربا«

مواهب الجليل (٤/ ٣٩١)

وقال في مواهب الجليل:»واعلم أنه لا خلاف في المنع من صريح بيع وسلف«

البحر المحيط (٨/ ٩١).

وقال الزركشي في البحر المحيط:»وبالإجماع على جواز البيع والسلف مفترقين، وتحريمهما مجتمعين للذريعة إليها”  كما حكى الإجماع على التحريم ابن قدامة في المغني (المغني (٤/ ١٦٢) وغيرهم.

المعاملات المالية أصالة ومعاصرة ١٢/‏٥٨٦ — دبيان الدبيان)

إذا علم ذلك نأتي إلى مسألتنا، فإذا كان تقديم الضمان للتاجر مشروطًا في أخذ العوض على تلك الخدمات فإن أخذ العوض على تلك الخدمات حينئذ يكون محرمًا خشية أن يؤدي ذلك إلى أخذ العوض على الضمان بعقد مستتر باسم الأجرة على تقديم تلك الخدمات، والله أعلم. 

شرح الزرقاني على مختصر خليل وحاشية البناني ٧/‏٢٠١ — الزُّرْقاني، عبد الباقي (ت ١٠٩٩) – باب الهبة

ختم ابن عرفة كتاب الهبة بالوعد وعرفه بأنه أخبار عن إنشاء المخبر معروفًا في المستقبل قال فيدخل الوعد بالحمالة وغيرها ثم قال الوفاء به مطلوب اتفاقًا 

Perincian Ibnu Rusyd

شرح الزرقاني على مختصر خليل وحاشية البناني ٧/‏٢٠١ — الزُّرْقاني، عبد الباقي (ت ١٠٩٩) – باب الهبة

وقد ذكر عن ابن رشد في رسم طلق من سماع ابن القاسم من العارية في لزوم الوفاء به أربعة أقوال أحدها يلزم الوفاء به مطلقًا لعمر بن عبد العزيز الثاني إن كان على سبب لزم وإن لم يدخل بسببه في السبب لأصبغ مع مالك في هذا السماع الثالث يلزم إن كان على سبب ودخل بسببه في السبب لابن القاسم في هذا السماع الرابع لا يقضي به مطلقًا لقول ابن القاسم أيضًا مع قول سحنون في سماع القرينين اهـ.

بداية المجتهد ونهاية المقتصد ٣/‏٨١ — ابن رشد الحفيد (ت ٥٩٥) – كتاب النكاح←الباب الخامس في الأنكحة المنهي عنها بالشرع والأنكحة الفاسدة وحكمها

وإنَّما اخْتَلَفَ العُلَماءُ فِي لُزُومِ الشُّرُوطِ الَّتِي بِهَذِهِ الصِّفَةِ أوْ لا لُزُومِها، مِثْلَ أنْ يُشْتَرَطَ عَلَيْهِ أنْ لا يَتَزَوَّجَ عَلَيْها، أوْ لا يَتَسَرّى، أوْ لا يَنْقُلَها مِن بَلَدِها، فَقالَ مالِكٌ: إنِ اشْتُرِطَ ذَلِكَ لَمْ يَلْزَمْهُ إلّا أنْ يَكُونَ فِي ذَلِكَ يَمِينٌ بِعِتْقٍ أوْ طَلاقٍ، فَإنَّ ذَلِكَ يَلْزَمُهُ، إلّا أنْ يُطَلِّقَ أوْ يَعْتِقَ مَن أقْسَمَ عَلَيْهِ، فَلا يَلْزَمُ الشَّرْطُ الأوَّلُ أيْضًا، وكَذَلِكَ قالَ الشّافِعِيُّ، وأبُو حَنِيفَةَ. وقالَ الأوْزاعِيُّ وابْنُ شُبْرُمَةَ: لَها شَرْطُها وعَلَيْهِ الوَفاءُ. وقالَ ابْنُ شِهابٍ: كانَ مَن أدْرَكْتُ مِنَ العُلَماءِ يَقْضُونَ بِها. وقَوْلُ الجَماعَةِ مَرْوِيٌّ عَنْ عَلِيٍّ، وقَوْلُ الأوْزاعِيِّ مَرْوِيٌّ عَنْ عُمَرَ.

وسَبَبُ اخْتِلافِهِمْ: مُعارَضَةُ العُمُومِ لِلْخُصُوصِ. فَأمّا العُمُومُ: فَحَدِيثُ عائِشَةَ – ﵂ -: أنَّ النَّبِيَّ – ﷺ – خَطَبَ النّاسَ، فَقالَ فِي خُطْبَتِهِ: «كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتابِ اللَّهِ فَهُوَ باطِلٌ، ولَوْ كانَ مِائَةَ شَرْطٍ». وأمّا الخُصُوصُ: فَحَدِيثُ عُقْبَةَ بْنِ عامِرٍ عَنِ النَّبِيِّ – ﷺ – أنَّهُ قالَ: «أحَقُّ الشُّرُوطِ أنْ يُوَفّى بِهِ ما اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوجَ». والحَدِيثانِ صَحِيحانِ خَرَّجَهُما البُخارِيُّ ومُسْلِمٌ، إلّا أنَّ المَشْهُورَ عِنْدَ الأُصُولِيِّينَ القَضاءُ بِالخُصُوصِ عَلى العُمُومِ، وهُوَ لُزُومُ الشُّرُوطِ، وهُوَ ظاهِرُ ما وقَعَ فِي العُتْبِيَّةِ، وإنْ كانَ المَشْهُورُ خِلافَ ذَلِكَ. وأمّا الشُّرُوطُ المُقَيَّدَةُ بِوَضْعٍ مِنَ الصَّداقِ فَإنَّهُ قَدِ اخْتَلَفَ فِيها المَذْهَبُ اخْتِلافًا كَثِيرًا – أعْنِي: فِي لُزُومِها، أوْ عَدَمِ لُزُومِها -، ولَيْسَ كِتابُنا هَذا مَوْضُوعًا عَلى الفُرُوعِ

بداية المجتهد ونهاية المقتصد ٢/‏١٨٥ — ابن رشد الحفيد (ت ٥٩٥) – كتاب النذور←الفصل الثاني فيما يلزم من النذور وما لا يلزم

 وأمّا ما يَلْزَمُ مِن هَذِهِ النُّذُورِ وما لا يَلْزَمُ، فَإنَّهُمُ اتَّفَقُوا عَلى لُزُومِ النَّذْرِ المُطْلَقِ فِي القُرَبِ إلّا ما حُكِيَ عَنْ بَعْضِ أصْحابِ الشّافِعِيِّ أنَّ النَّذْرَ المُطْلَقَ لا يَجُوزُ، وإنَّما اتَّفَقُوا عَلى لُزُومِ النَّذْرِ المُطْلَقِ إذا كانَ عَلى وجْهِ الرِّضا لا عَلى وجْهِ اللَّجاجِ؛ وصُرِّحَ فِيهِ بِلَفْظِ النَّذْرِ لا إذا لَمْ يُصَرَّحْ، وسَواءٌ أكانَ النَّذْرُ مُصَرَّحًا فِيهِ بِالشَّيْءِ المَنذُورِ أوْ كانَ غَيْرَ مُصَرَّحٍ. وكَذَلِكَ أجْمَعُوا عَلى لُزُومِ النَّذْرِ الَّذِي مَخْرَجُهُ مَخْرَجُ الشَّرْطِ إذا كانَ نَذْرًا بِقُرْبَةٍ، وإنَّما صارُوا لِوُجُوبِ النَّذْرِ لِعُمُومِ قَوْله تَعالى: ﴿يا أيُّها الَّذِينَ آمَنُوا أوْفُوا بِالعُقُودِ﴾ [المائدة ١]. ولِأنَّ اللَّهَ تَعالى قَدْ مَدَحَ بِهِ فَقالَ: ﴿يُوفُونَ بِالنَّذْرِ﴾ [الإنسان ٧]. وأخْبَرَ بِوُقُوعِ العِقابِ بِنَقْضِهِ، فَقالَ: ﴿ومِنهُمْ مَن عاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتانا مِن فَضْلِهِ﴾ [التوبة ٧٥] الآيَةَ، إلى قَوْلِهِ: ﴿وبِما كانُوا يَكْذِبُونَ﴾ [التوبة ٧٧].

والسَّبَبُ فِي اخْتِلافِهِمْ فِي التَّصْرِيحِ بِلَفْظِ النَّذْرِ فِي النَّذْرِ المُطْلَقِ: هُوَ اخْتِلافُهُمْ فِي هَلْ يَجِبُ النَّذْرُ بِالنِّيَّةِ واللَّفْظِ مَعًا أوْ بِالنِّيَّةِ فَقَطْ؟ فَمَن قالَ بِهِما مَعًا إذا قالَ: لِلَّهِ عَلَيَّ كَذا وكَذا؛ ولَمْ يَقُلْ: نَذْرًا لَمْ يَلْزَمْهُ شَيْءٌ، لِأنَّهُ إخْبارٌ بِوُجُوبِ شَيْءٍ لَمْ يُوجِبْهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، إلّا أنْ يُصَرِّحَ بِجِهَةِ الوُجُوبِ، ومَن قالَ لَيْسَ مِن شَرْطِهِ اللَّفْظُ قالَ: يَنْعَقِدُ النَّذْرُ وإنْ لَمْ يُصَرِّحْ بِلَفْظِهِ، وهُوَ مَذْهَبُ مالِكٍ أعْنِي: أنَّهُ إذا لَمْ يُصَرِّحْ بِلَفْظِ النَّذْرِ أنَّهُ يَلْزَمُ، وإنْ كانَ مِن مَذْهَبِهِ أنَّ النَّذْرَ لا يَلْزَمُ إلّا بِالنِّيَّةِ واللَّفْظِ، لَكِنْ رَأى أنَّ حَذْفَ لَفْظِ النَّذْرِ مِنَ القَوْلِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ، إذْ كانَ المَقْصُودُ بِالأقاوِيلِ الَّتِي مَخْرَجُها مَخْرَجُ النَّذْرِ النَّذْرَ وإنْ لَمْ يُصَرِّحْ فِيها بِلَفْظِ النَّذْرِ، وهَذا مَذْهَبُ الجُمْهُورِ، والأوَّلُ مَذْهَبُ سَعِيدِ بْنِ المُسَيَّبِ.

ويُشْبِهُ أنْ يَكُونَ مَن لَمْ يَرَ لُزُومَ النَّذْرِ المُطْلَقِ إنَّما فَعَلَ ذَلِكَ مِن قِبَلِ أنَّهُ حَمَلَ الأمْرَ بِالوَفاءِ عَلى النَّدْبِ، وكَذَلِكَ مَنِ اشْتَرَطَ فِيهِ الرِّضا؛ فَإنَّما اشْتَرَطَهُ لِأنَّ القُرْبَةَ إنَّما تَكُونُ عَلى جِهَةِ الرِّضا، لا عَلى جِهَةِ اللَّجاجِ، وهُوَ مَذْهَبُ الشّافِعِيِّ.

وأمّا مالِكٌ فالنَّذْرُ عِنْدَهُ لازِمٌ عَلى أيِّ جِهَةٍ وقَعَ، فَهَذا ما اخْتَلَفُوا فِي لُزُومِهِ مِن جِهَةِ اللَّفْظِ.

وأمّا ما اخْتَلَفُوا فِي لُزُومِهِ مِن جِهَةِ الأشْياءِ المَنذُورِ بِها، فَإنَّ فِيهِ مِنَ المَسائِلِ الأُصُولِ اثْنَتَيْنِ:

المَسْألَةُ الأُولى: اخْتَلَفُوا فِيمَن نَذَرَ مَعْصِيَةً: فَقالَ مالِكٌ، والشّافِعِيُّ وجُمْهُورُ العُلَماءِ: لَيْسَ يَلْزَمُهُ فِي ذَلِكَ شَيْءٌ. وقالَ أبُو حَنِيفَةَ، وسُفْيانُ، والكُوفِيُّونَ: بَلْ هُوَ لازِمٌ، واللّازِمُ عِنْدَهُمْ فِيهِ هُوَ كَفّارَةُ يَمِينٍ، لا فِعْلُ المَعْصِيَةِ.

وسَبَبُ اخْتِلافِهِمْ: تَعارُضُ ظَواهِرِ الآثارِ فِي هَذا البابِ، وذَلِكَ أنَّهُ رُوِيَ فِي هَذا البابِ حَدِيثانِ أحَدُهُما: حَدِيثُ عائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ – ﵊ – أنَّهُ قالَ: «مَن نَذَرَ أنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، ومَن نَذَرَ أنْ يَعْصِيَ اللَّهَ فَلا يَعْصِهِ». فَظاهِرٌ هَذا أنَّهُ لا يَلْزَمُ النَّذْرُ بِالعِصْيانِ.

والحَدِيثُ الثّانِي: حَدِيثُ عِمْرانَ بْنِ حُصَيْنٍ، وحَدِيثُ أبِي هُرَيْرَةَ الثّابِتُ عَنِ النَّبِيِّ – ﵊ – أنَّهُ قالَ «لا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وكَفّارَتُهُ كَفّارَةُ يَمِينٍ». وهَذا نَصٌّ فِي مَعْنى اللُّزُومِ.

فَمَن جَمَعَ بَيْنَهُما فِي هَذا، قالَ: الحَدِيثُ الأوَّلُ تَضَمَّنَ الإعْلامَ بِأنَّ المَعْصِيَةَ لا تَلْزَمُ، وهَذا الثّانِي تَضَمَّنَ لُزُومَ الكَفّارَةِ. فَمَن رَجَّحَ ظاهِرَ حَدِيثِ عائِشَةَ إذْ لَمْ يَصِحَّ عِنْدَهُ حَدِيثُ

بداية المجتهد ونهاية المقتصد ٢/‏١٩٠ — ابن رشد الحفيد (ت ٥٩٥) – كتاب النذور←الفصل الثالث معرفة الشيء الذي يلزم عن النذر وأحكام ذلك←المسألة الأولى الواجب في النذر المطلق

فِي ذَلِكَ كَفّارَةُ يَمِينٍ فَقَطْ، وهُوَ مَذْهَبُ الشّافِعِيِّ فِي النُّذُورِ الَّتِي مَخْرَجُها مَخْرَجُ الشَّرْطِ، لِأنَّهُ ألْحَقَها بِحُكْمِ الأيْمانِ. 

وأمّا مالِكٌ فَألْحَقَها بِحُكْمِ النُّذُورِ عَلى ما تَقَدَّمَ مِن قَوْلِنا فِي كِتابِ الأيْمانِ. والَّذِينَ اعْتَقَدُوا وُجُوبَ إخْراجِ مالِهِ فِي المَوْضِعِ الَّذِي اعْتَقَدُوهُ؛ اخْتَلَفُوا فِي الواجِبِ عَلَيْهِ، فَقالَ مالِكٌ: يُخْرِجُ ثُلُثَ مالِهِ فَقَطْ.

وقالَ قَوْمٌ: بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ إخْراجُ جَمِيعِ مالِهِ، وبِهِ قالَ إبْراهِيمُ النَّخَعِيُّ وزُفَرُ.

وقالَ أبُو حَنِيفَةَ: يُخْرِجُ جَمِيعَ الأمْوالِ الَّتِي يَجِبُ الزَّكاةُ فِيها. وقالَ بَعْضُهُمْ: إنْ أخْرَجَ مِثْلَ زَكاةِ مالِهِ أجْزَأهُ.

وفِي المَسْألَةِ قَوْلٌ خامِسٌ:

وهُوَ إنْ كانَ المالُ كَثِيرًا أخْرَجَ خُمُسَهُ، وإنْ كانَ وسَطًا أخْرَجَ سُبُعَهُ، وإنْ كانَ يَسِيرًا أخْرَجَ عُشْرَهُ، وحَدَّ هَؤُلاءِ الكَثِيرَ بِألْفَيْنِ، والوَسَطَ بِألْفٍ، والقَلِيلَ بِخَمْسِمِائَةٍ، وذَلِكَ مَرْوِيٌّ عَنْ قَتادَةَ.

والسَّبَبُ فِي اخْتِلافِهِمْ فِي هَذِهِ المَسْألَةِ أعْنِي مَن قالَ المالُ كُلُّهُ أوْ ثُلُثُهُ مُعارَضَةُ الأصْلِ فِي هَذا البابِ لِلْأثَرِ، وذَلِكَ أنَّ ما جاءَ فِي حَدِيثِ «أبِي لُبابَةَ بْنِ عَبْدِ المُنْذِرِ حِينَ تابَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وأرادَ أنْ يَتَصَدَّقَ بِجَمِيعِ مالِهِ، فَقالَ رَسُولُ اللَّهِ – ﷺ -: «يُجْزِيكَ مِن ذَلِكَ الثُّلُثُ» هُوَ نَصٌّ فِي مَذْهَبِ مالِكٍ.

وأمّا الأصْلُ: فَيُوجِبُ أنَّ اللّازِمَ لَهُ إنَّما هُوَ جَمِيعُ مالِهِ حَمْلًا عَلى سائِرِ النَّذْرِ أعْنِي أنَّهُ يَجِبُ الوَفاءُ بِهِ عَلى الوَجْهِ الَّذِي قَصَدَهُ لَكِنَّ الواجِبَ هُوَ اسْتِثْناءُ هَذِهِ المَسْألَةِ مِن هَذِهِ القاعِدَةِ، إذْ قَدِ اسْتَثْناها النَّصُّ، إلّا أنَّ مالِكًا لَمْ يَلْزَمْ فِي هَذِهِ المَسْألَةِ أصْلُهُ، وذَلِكَ أنَّهُ قالَ: إنْ حَلَفَ أوْ نَذَرَ شَيْئًا مُعَيَّنًا لَزِمَهُ وإنْ كانَ كُلَّ مالِهِ، وكَذَلِكَ يَلْزَمُ عِنْدَهُ إنْ عَيَّنَ جُزْءًا مِن مالِهِ وهُوَ أكْثَرُ مِنَ الثُّلُثِ، وهَذا مُخالِفٌ لِنَصِّ ما رَواهُ فِي حَدِيثِ أبِي لُبابَةَ وفِي «قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – ﷺ – لِلَّذِي جاءَ بِمِثْلِ بَيْضَةٍ مِن ذَهَبٍ، فَقالَ: أصَبْتُ هَذا مِن مَعْدِنٍ فَخُذْها فَهِيَ صَدَقَةٌ ما أمْلِكُ غَيْرَها، فَأعْرَضَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ – ﷺ -، ثُمَّ جاءَهُ عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ عَنْ يَسارِهِ ثُمَّ مِن خَلْفِهِ، فَأخَذَها رَسُولُ اللَّهِ – ﷺ – فَحَذَفَهُ بِها، فَلَوْ أصابَهُ بِها لَأوْجَعَهُ، وقالَ – ﵊ -:» يَأْتِي أحَدُكُمْ بِما يَمْلِكُ فَيَقُولُ: هَذِهِ صَدَقَةٌ، ثُمَّ يَقْعُدُ يَتَكَفَّفُ النّاسَ، خَيْرُ الصَّدَقَةِ ما كانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى» وهَذا نَصٌّ فِي أنَّهُ لا يَلْزَمُ المالُ المُعَيَّنُ إذا تَصَدَّقَ بِهِ وكانَ جَمِيعَ مالِهِ؛ ولَعَلَّ مالِكًا لَمْ تَصِحَّ عِنْدَهُ هَذِهِ الآثارُ. وأمّا سائِرُ الأقاوِيلِ الَّتِي قِيلَتْ فِي هَذِهِ المَسْألَةِ فَضِعافٌ، وبِخاصَّةٍ مَن حَدَّ فِي ذَلِكَ غَيْرَ الثُّلُثِ، وهَذا القَدْرُ كافٍ فِي أُصُولِ هَذا الكِتابِ، واللَّهُ المُوَفِّقُ لِلصَّوابِ.

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content