Analisis Fakta Muamalah di balik Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Hari ini (Ahad, 12 Juni 2022), beredar trending topic pemberitaan bahwa telah terjadi penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama sepekan terakhir. Akibat langsung dari kejadian ini adalah kekayaan para miliarder Indonesia menjadi tergerus.
Akibat tidak langsungnya, telah terjadi beberapa perubahan posisi urutan orang terkaya Indonesia sebab ada miliarder yang hartanya justru meningkat saat IHSG ambruk dan di sisi lain, ada miliarder yang hartanya menguap begitu saja.
Sebagaimana data yang disampaikan oleh real time billionaires per Jumat (10/6), posisi orang terkaya Indonesia berubah. Kekayaan konglomerat Chairul Tanjung pemilik CT Corp tergerus dalam. Harta pria yang akrap disapa CT ini sebesar US$ 6,7 miliar per Jumat kemarin. Nilai tersebut tergerus US$ 0,5 miliar atau setara Rp 7,3 triliun (kurs Rp 14.600) “dalam sepekan”. Ingat, ya! “Dalam Sepekan”.
Bagi para pemerhati fikih muamalah, tentu kejadian ini mengundang sejumlah tanda tanya besar – khususnya terkait dengan fakta: ada apa di balik kenaikan atau penurunan IHSG (indeks harga saham gabungan tersebut)?
IHSG – atau yang secara internasional – namanya sering disebut sebagai Indonesia Composite Index (ICI) atau IDX Composite dinyatakan sebagai indikator pergerakan harga saham, yang terdiri atas saham umum (common stock) dan saham preferen (preference stock).
Coba kita berhenti sejenak dan kita cermati makna dari istilah Harga Saham Gabungan tersebut! Ya, istilah ini nampaknya memang diserap dari kumpulan beberapa saham yang dijual baik di pasar perdana maupun di pasar sekunder.
Namun, dalam pemberitaan di atas, disampaikan bahwa “indeks tersebut dinyatakan turun dalam sepekan.” Secara tidak langsung ini mengisyaratkan bahwa IHSG itu adalah rerata angka statistik pergerakan harga penjualan saham di Pasar Sekunder. Karena di Pasar Perdana, investor membeli saham adalah dimaksudkan sebagai instrumen investasi.
Alhasil, laporan transaksi di pasar perdana, adalah tidak mungkin disusun per pekan. Laporan per pekan hanya memungkinkan disusun apabila ada aktifitas trading harian atau trading jangka pendek, sehingga reratanya memungkinkan untuk dikalkulasi per akhir pekannya. Jelas, bukan?
Kalau begitu, saham yang tergabung dalam IHSG ini diperlakukan layaknya komoditi? Bagaimana menurut anda?
Risiko Saham sebagai Komoditi dan Penurunan Kekayaan Miliarder
Pada tulisan terdahulu, telah berhasil dirangkum hasil pengamatan dari para Peneliti El-Samsi Group sebagai berikut:
Pertama, saham, adalah bukti penyertaan modal usaha pada suatu bidang usaha. Mengakuisisi saham di Pasar Perdana, adalah menggunakan peran gabungan dari akad syirkah ‘inan dan akad mudlarabah. Gabungan ini kemudian dikenal sebagai syirkah mudlarabah.
Kedua, qashdu al-a’dham (harapan besar) dari investor saham, adalah mendapatkan tsamrah (dividen) berupa bagi hasil usaha.
Ketiga, yang dinamakan dengan usaha, adalah ada jeda waktu menahan (hold) selama beberapa waktu lamanya. Ibarat orang bertani, tidak mungkin sekali memasukkan benih maka langsung panen. Harus ada waktu bagi ‘amil untuk mengelola modal sehingga mendapatkan hasil berupa tsamrah yang bisa dibagi bersama. Jeda waktu itu seolah menduduki maqamnya kontrak modal untuk dipakai usaha.
Keempat, jika modal itu ditarik sebelum terbitnya dividen, maka itu tandanya telah terjadi perusakan pada akad mudlarabah. Dalam kondisi ini, maka pihak ‘amil qiradl – yang terdiri atas emiten – berhak mendapatkan ujrah mitsil. Karena di dalam akad mudlarabah shahihah, ujrah emiten bersifat syamil (termuat) di dalam dividen.
Kelima, karena telah terjadi perusakan akad mudlarabah sebelum waktunya, maka menjualbelikan saham dalam ruang waktu sebelum kontrak usaha itu habis, adalah sama dengan telah menjualbelikan tsamrah sebelum buduwwi al-shalah (sebelum memungkinkan untuk bisa dipetik) atau bahkan sebelum ada tanda-tanda wujud (qabla al-wujud).
Keenam, jual beli tsamrah sebelum wujud al-tsamrah, dan/atau sebelum buduwwii al-shalah, adalah masuk dalam ranah larangan transaksi secara nash. Illat yang berlaku adalah karena adanya gharar (penipuan) dan maisir (untung-untungan).
Ketujuh, akuisisi saham (modal disertakan) dalam konteks ini hanya memungkinkan bila menggunakan akad hiwalah, yang batasannya dalam syara’ adalah: apabila sama jumlahnya, ukuran dan takarannya, dengan standar harga (dlabth) berupa nilai emisi saham di Pasar Perdana. Di luar praktik hiwalah yang sah ini, maka itu menandakan telah terjadi transaksi riba qardly.
Kesimpulan
Nah, berangkat dari beberapa ketentuan di atas, lantas apa penyebab menguapnya kekayaan para milliarder di Pasar Modal dan tercermin dari IHSG tersebut?
Sebenarnya, jawabnya, adalah singkat, yaitu mereka telah kalah taruhan judi. Sebab, saham yang mereka terbitkan telah dijualbelikan secara tidak sah dalam syara’.
Illat hukum tidak sahnya jual beli saham di pasar sekunder tersebut adalah karena telah terjadi gharar dan maisir. Keduanya adalah ciri dasar dari perjudian. Indikatornya:
- IHSG tidak menggambarkan kinerja produksi emiten dalam menggunakan modal investor untuk kegiatan produksinya.
- IHSG lebih tepat bila disebut sebagai menggambarkan laju jual beli tsamrah qabla al-wujud atau jual beli tsamrah qabla buduwwi al-shalah yang mana keduanya dilarang oleh baginda nabi
- Memaksakan diri menjualbelikan saham dalam konteks harian dan jangka pendek, adalah sama dengan melestarikan praktik riiba al-qardly karena tidak terpenuhi syarat sahnya hiwalah.
[Tulisan ini merupakan hasil analisa para peneliti el-samsi dan dimaksudkan sebagai wahana pendidikan literasi keuangan halal bagi masyarakat].