Sejak awal mengkaji saham secara fikih, jujur saja, ada sejumlah ganjalan dalam hati para pengkaji di el-samsi group, khususnya saat berusaha memahami pola transaksi saham di pasar modal. Bagaimana tidak?
Saham adalah instrumen keuangan yang menyatakan paket investasi. Itu sebabnya, saham masuk dalam Bursa Efek. Pengawasannya, ada di tangan BAPEPAM (Badan Pengawas Pasar Modal), elemen dari Kementerian Keuangan.
Namun, di lapangan, saham dalam faktanya juga diperdagangkan sebagai komoditi. Padahal, wilayah perdagangan komoditi adalah hak dan kewenangan BAPPEBTI (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi), elemen dari Kementerian Perdagangan.
Baik berlaku sebagai instrumen keuangan maupun sebagai komoditi, saham sama-sama diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (Indonesia Stock Exchange / IDX), dan tidak beralih ke Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK).
Padahal, menjadikan saham sebagai komoditi, adalah bagian dari keputusan yang merisaukan. Penyebabnya, karena ada deviden yang menempatkan produk saham itu menjadi bersifat tidak pasti. Ketidakpastian adalah bagian dari illat gharar yang dilarang dalam transaksi. Bukti nyata aksi spekulasi itu adalah berlakunya ARB dan ARA. Lebih lengkapnya, mari kita kupas satu per satu!
Pertama, ada deviden di balik efek saham
Deviden adalah bagi hasil pengelolaan produksi. Harta yang diperoleh dari deviden, kelak akan diberikan kepada investor yang masih memegang saham saat tiba waktunya pembagian hasil produksi.
Jadi, harta yang diterima oleh investor tidak hanya berupa modalnya saja, melainkan juga deviden itu. Nilai modal merupakan yang bersifat pasti, sesuai dengan nilai emisi yang ditetapkan oleh KPEI.
Adapun nilai bagi hasil (deviden) adalah bersifat fluktuatif dan cenderung tidak tetap, seiring fluktuasi kerja produksi dan pemasaran.
Adanya peluang untuk fluktuatif inilah, menjadikan saham menjadi sebuah persoalan apabila diputuskan sebagai komoditas. Sudah barang tentu, fluktuasi harga itu bisa menjatuhkan investor pada praktik spekulasi, khususnya bagi mereka yang bermaksud mencari keuntungan lewat gain capital (selisih harga beli dan harga jual).
Kedua, ARB dan ARA
Auto Rejection Bawah (ARB) dan Auto Rejection Atas (ARA), adalah batasan harga minimal dan maksimal dari suatu penawaran harga saham.
Praktik ARB dan ARA, misalnya: harga saham terendah yang bisa masuk dalam daftar harga saham di pasar modal adalah Rp1.000 dengan batas atas penawaran adalah Rp3.000. Ketika harga saham milik perusahaan X jatuh pada level di bawah Rp. 1.000 dalam penawaran di Bursa yang disebabkan kondisi pasar yang sedang lesu, maka kejatuhan harga saham ini menjadikan saham perusahaan tersebut mengalami posisi bearish (mati suri) sehingga terdepak dari daftar saham yang aman dan dipasarkan di pasar modal.
Hal yang sebaliknya berlaku atas ARA. Misal, suatu saham nilai emisinya adalah Rp. 1.500 / lembar. Namun, karena potensi besar yang dimilikinya, harga saham tersebut dapat melonjak naik hingga mencapai penawaran di atas Rp.3000 yang ditetapkan sebagai batas atas. Harga saham seperti ini disebut mengalami bullish. Posisi saham perusahaan yang mengalami kondisi ini juga dikeluarkan dari pasar modal.
Inilah praktik yang terjadi ketika saham ditempatkan sebagai komoditas. Jika dicermati mengenai maksud dari pemberlakuan ARA dan ARB ini, nampak sekali bahwa keduanya dimaksudkan sebagai pengendali agar saham tidak berubah fungsi menjadi instrumen spekulasi sehingga lepas dari maksud utama sebagai instrumen investasi.
Jalan Keluaar dari Akad Spekulasi
Saham menjadi aset spekulasi dalam perdagangan, ketika saham itu didefinisikan sebagai suatu nilai penyertaan modal dengan harapan mendapat bagi hasil deviden. Dan ini memang tujuan utama dari diterbitkannya efek berupa saham dan sukuk pada umumnya.
Bagaimana kalau saham dan sukuk itu didefinisikan sebagai pernyataan kepemilikan atas suatu aset produksi saja?
Jadi, kasarnya begini: “Saham itu memang diterbitkan dalam rangka penyertaan modal. Stockholder yang memiliki lembar saham, menandakan bahwa dia memiliki aset produksi berupa pabrik di mana perusahaan emiten itu mendirikan pabriknya. Aset produksi ini sudah barang tentu merupakan satu paket yang tidak bisa dipisahkan.
Ibarat sepeda motor itu adalah pabrik. Kepemilikan ban sepeda, atau knalpot dan sejenisnya, adalah bagian dari paket aset produksi. Ban dan knalpot bisa dinyatakan dalam bentuk saham. Sekali lagi ini hanyalah ilustrasi.
Begitulah kiranya, penyertaan modal kepada suatu emiten itu diberlakukan. Kalau aset landasannya adalah aset produksi, maka saham memiliiki underlying (aset fundamental) yang bersifat tetap (a’yan maujudah).
Dalam kondisi semacam ini, maka membeli saham adalah sama dengan membeli aset tersebut. Alhasil, bagi hasil produksi yang diterimanya adalah muncul dari akad ijarah (sewa jasa) atau ju’alah (prestasi) atas kinerja aset yang dibelinya dan bukan atas nama deviden (bagi hasil).
Kesimpulan
Menempatkan saham sebagai akad penyertaan modal, adalah sesuatu yang riskan secara fikih, khususnya saat saham tersebut ditradingkan dalam pasar modal. Sebab, penyertaan modal senantiasa butuh bagi hasil deviden. Keberadaan deviden ini yang menjadikan trading saham bersifat spekulatif.
Namun. ketika saham itu ditempatkan sebagai bukti kepemilikan atas suatu aset produksi, maka disitulah hilang sifat spekulasinya. Aset yang mendasari saham menjadi bersifat tetap. Alhasil, dalam konteks ini, maka memiliki saham, adalah sama artinya dengan menyewakan aset dan bukan dimaknai sebagai menyertakan modal.
Konsultasi Bisnis
Konsultasikan Plan Bisnis anda ke eL-Samsi Group Consulting & Planning. Pastikan bahwa plan bisnis anda sudah bergerak di atas rel dan ketentuan syara’! Awal perencanaan yang benar meniscayakan pendapatan yang halal dan berkah! Hubungi CP 082330698449, atau ke email: elsamsi2021@gmail.com! Negosiasikan dengan tim kami! Kami siap membantu anda melakukan telaah terhadap plan bisnis anda dan pendampingan sehingga sah dan sesuai dengan sistem bisnis syariah.
Muhammad Syamsudin
eL-Samsi Group Consulting & Planning bisnis berorientasi Bisnis Syariah. Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center