Saham merupakan salah satu jenis surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek (pasar modal)..Saham juga diartikan sebagai suatu bukti penyertaan modal di suatu perseroan, atau merupakan bukti kepemilikan atas suatu perusahaan. Siapa saja yang memiliki saham berarti dia ikut menyertakan modal atau memiliki perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut.
Karena saham merupakan bukti penyertaan modal, maka saham merupakan sebuah entitas produk yang memiliki suatu peluang / kesempatan untuk menerima bagi hasil. Sudah pasti, bagi hasilnya adalah berupa hasil deviden / sisa hasil usaha perusahaan yang menerbitkannya.
Karena saham berkedudukan sebagai sebuah surat bukti penyertaan modal, maka yang menjadi pertanyaan adalah :
- Apakah saham ini memenuhi syarat sebagai harta?
- Jika memenuhi syarat sebagai harta, maka secara fikih, termasuk harta apakah saham itu?
- Apakah jual beli saham itu sudah memenuhi syarat jual beli?
Sementara waktu, kedua pertanyaan ini terlebih dulu yang akan kita jawab sebelum kita masuk ke akad-akad yang lain.
Pertama, Status Hartawinya Saham
Pada dasarnya segala sesuatu yang bisa dijadikan harta adalah harta (kullu ma yutamawwalu fahuwa al-maal). Karena saham merupakan bukti penyertaan modal pada suatu perusahaan, maka secara tidak langsung saham itu menjadi pernyataan terhadap berapa besaran modal yang disertakan itu.
Misalnya, saham itu menyatakan penyertaan modal sebesar 10 juta atas suatu syirkah pendirian usaha bersama. Maka dalam konteks ini, nilai riel saham adalah sebesar nilai modal yang disertakan itu.
Permasalahannya adalah ketika modal itu sudah diserahkan kepada syirkah, maka saham itu akan dibelanjakan untuk dijadikan aset usaha dan produksi tanpa bisa lagi dibedakan mana milik investor A atau B. Saham hanya dijadikan acuan pernyataan nisbah kepemilikan.
Oleh karena itu, nisbah yang dikuasai oleh seorang investor terhadap aset usaha dan produksi, bisa saja berbeda dengan besaran nilai modal yang disertakan. Mengapa? Sebab, uang yang sudah dijadikan rupa barang jadi berupa aset produksi / aset tamwil, maka nilai uang itu menjadi nisbi sebab aset produksi merupakan aset yang bisa berkembang.
Alhasil, bisa disimpulkan bahwa saham merupakan harta yang menyatakan nisbah kepemilikan atas aset tamwil / aset produksi. Karena keberadaan pernyataan ini, maka saham termasuk yang memenuhi kaidah sebagai harta.
Kedua, Termasuk Harta Apakah Saham itu?
Dalam fikih Syafiiyah, harta itu ada 2, yaitu ainin musyahadah (aset fisik tampak) dan syaiin maushuf fi al-dzimmah (fisik berjamin aset). Ainin musyahadah merupakan istilah lain dari penegasan secara langsung terhadap atas aset fisik. Misalnya, handphone, pabrik, dan sebagainya. Sementara itu, syaiin maushuf fi al-dzimmah, merupakan penegasan atas suatu nilai yang dijamin (dzimmah).
Baca Juga:
Syarat dan Rukun Jual Beli dalam Islam – El-Samsi (elsamsi.my.id)
Jenis-Jenis Barang Yang Bisa Dijualbelikan – El-Samsi (elsamsi.my.id)
Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa saham merupakan pernyataan atas suatu penyertaan modal sehingga menjadi landasan atas nisbah kepemilikan suatu aset produktif. Kepemilikan atas saham, merupakan penegasan atas aset jaminan berupa kepemilikan aset produktif. Walhasil, saham adalah termasuk rumpun syaiin mauhuf fi al-dzimmah.
Akad Jual Beli Saham
Patokan yang kita acu pertama kalinya, adalah bahwa saham itu adalah sebuah aset (maal). Alhasil, sebagai aset, maka saham bisa termasuk aset yang qabilun li al-tasharruf (bisa ditransaksikan).
Selanjutnya, sebagai aset berjamin aset produktif, maka nilai yang mendasari sebuah saham bisa berubah-rubah seiring perkembangan yang terjadi pada kegiatan usaha syirkah / pabrik yang didirikan. Ketika sebuah pabrik memiliki omzet yang besar dalam produksinya, maka nilai saham menjadi besar seiring nisbah bagi hasil yang dimiiki pemegangnya juga bisa berubah menjadi besar. Demikian pula sebaliknya.
Karena faktor adanya kemungkinan pertumbuhan, perkembangan atau penurunan aset yang melandasi saham, maka saham termasuk aset yang sifatnya tidak pasti / spekulatif / gharar. Sifat ghararnya saham, adalah bukan disebabkan karena faktor upaya taghrir (penipuaan/pengelabuan) dari seorang pelaku. Sift ghararnya saham, adalah disebabkan karena unsur perkembangan yang terjadi pada fisik aset.
Baca Juga:
Syarat dan Rukun Jual Beli dalam Islam – El-Samsi (elsamsi.my.id)
Jenis-Jenis Barang Yang Bisa Dijualbelikan – El-Samsi (elsamsi.my.id)
Oleh karena itu, ketika berhadapan dengan obyek yang menyimpan adanya unsur spekulatif (gharar) semacam ini, syariat menetapkan satu pedoman bagi sahnya jual beli, yaitu:
- Wajibnya harga aset (yang diwakili saham) itu bersifat ma’lum. Syarat harga dipandang sebagai maklum, adalah harga tersebut harus disepakati di majelis akad sehingga tidak boleh mengacu pada harga nanti
- Wajib adanya khiyar (opsi memilih untuk melanjutkan atau membatalkan akad). Khiyar yang dimaksud di sini adalah termasuk khiyar majelis. Alhasil, ketika telah berpisah majelis, maka sudah tidak berlaku lagi adanya khiyar.
Ketika terpenuhi dua aspek ini, maka melakukan transaksi saham, adalah termasuk transaksii jual beli. Karena adanya aset fisik yang sifatnya riel dan tidak berbatas suatu kontrak, maka jual beli saham adalah termasuk kategori bai’ syaiin maushuf fi al-dzimmah.
Adapun jika ditilik dari pola pengalihan kepemilikan aset usaha yang terjadi dari seorang investor satu ke investor lainnya, maka jual beli saham, adalah termasuk memenuhi akad bai al-dain bi al-dain atau bai ma fi al-dzimmah bi ma fi al-dzimmah. Dalam fikih, akad ini dikodifikasikan sebagai akad hiwalah (oper kepemilikan).
Syarat sah dari akad hiwalah, adalah jika ma fi al-dzimmah (modal disertakan) dengan ma fi al-dzimmah (modal akuisisi), besarannya harus disepakati di majelis akad dan besarannya sama.
Jadi, bolehkah saham dijuabelikan? Jawabannya adalah jika terpenuhi hal sebagaimana dimaksud di atas, maka jual beli saham, hukumnya adalah boleh. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Baca juga: Macam-macam Pembagian Jual Beli – El-Samsi (elsamsi.my.id)