el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Images (60)

Ketika terjadi perbedaan harga antara harga jual produk di dalam negeri dengan di luar negeri, seringkali pemerintah menerapkan kebijakan DMO (domestic market obligation) kepada perusahaan. Misalnya, pada kasus kebijakan CPO sawit, ketika harga luar negeri lebih tinggi dari harga CPO dalam negeri.

Mekanisme pelaksanaan kontrak DMO itu, adalah sebagai berikut:

  1. Pemerintah mewajibkan perusahaan agar menjaga ketersediaan stock produk di dalam negeri sebelum melakukan ekspor produknya ke luar negeri. 
  2. Karena harga di dalam negeri lebih rendah dibanding luar negeri, maka selisih harga jual itu diberikan kompensasi oleh pemerintah dengan atas nama subsidi kepada rakyat dan dicairkan langsung kepada perusahaan produsen. 
  3. Besarnya pencairan kompensasi menyesuaikan dengan volume produksi dan jumlah produk yang wajib dijaga oleh perusahaan.

Nah, apakah pemberian kompensasi akibat kontrak DMO tersebut layak untuk disebut subsidi kepada rakyat secara fikih? Simak ulasan berikut ini!

Pengertian Subsidi secara Fikih

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), subsidi adalah bantuan yang berasal dari pemerintah dalam berbagai bentuk (baik uang maupun lainnya) yang diberikan kepada masyarakat, yayasan, perkumpulan dan lain sebagainya. 

Dengan demikian, subsidi secara fikih, bisa dikelompokkan ke dalam rumpun akad hibah, shadaqah atau zakat. Tergantung asalnya barang yang diberikan. Jika tidak ada kaitan dengan sesuatu yang wajib, maka termasuk hibah atau shadaqah. 

Menurut Muhammad ibn Qasim al-Ghazy (w. 918 H)), hibah didefinisikan sebagai berikut:

وهي في الشرع تمليكٌ منجزٌ مطلق في عينٍ حالَ الحياة بلا عوض ولو من الأعلى

Artinya, “Hibah secara syara’ bermakna akad penyerahan hak milik secara mutlak dalam bentuk materi pada waktu pemiliknya masih hidup dengan tanpa adanya ganti berupa harga, meski datangnya dari atasan.” (Muhammad ibn Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfadh al-Taqrib, Beirut: Thaba’ah al-Halaby, 2005, halaman 205)

Masih menurut Muhammad ibn Qasim al-Ghazy (w. 918 H)), syarat sah dari hibah, adalah:

Pertama, ada ijab dan qabul 

ولا تصح الهبة إلا بإيجاب وقبول، لفظًا

Artinya, “hibah tidak sah tanpa disertai lafadz ijab dan qabul.” (Muhammad ibn Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfadh al-Taqrib, Beirut: Thaba’ah al-Halaby, 2005, halaman 205)

Kedua, barang yang dihibahkan terdirii dari barang yang bisa dijualbelikan

ضابط الموهوب في قوله: (وكل ما جاز بيعه جازت هِبَّتُه). وما لا يجوز بيعه كمجهول

Artinya, “Batasan barang yang bisa dihibahkan (mauhub) sebagaimana dalam pernyataan Syeikh Abi Syuja’ “segala sesuatu yang bisa dijualbelikan maka bisa diihibahkan” adalah bahwa barang yang tidak bisa dijualbelikan – contoh, barang yang tidak diketahui – maka tidak bisa dihibahkan.” (Muhammad ibn Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfadh al-Taqrib, Beirut: Thaba’ah al-Halaby, 2005, halaman 205)

Ketiga, hibah belum dinyatakan berlaku bila belum diterima oleh pihak yang dihibahi

ولا تلزم الهبة إلا بالقبض بإذن الواهب؛ فلو مات الموهوب له أو الواهب قبل قبض الهبة لم تنفسخ الهبة، وقام وارثه مقامَه في القبض والإقباض

Artinya, “Hibah tidak disebut sudah berlaku tanpa adanya serah terima sesuai dengan seidziin pemberi hibah. Jika pihak yang diberi hibah (mauhub lah) meninggal, atau pemberi hibahnya (wahib) meninggal sebelum sempat diikuasai oleh mauhub lah, maka akad itu tidak berubah menjadi rusak. Pihak ahli waris mauhub lah atau wahib bisa menggantikan posisi keduanya dalam serah terima.” (Muhammad ibn Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfadh al-Taqrib, Beirut: Thaba’ah al-Halaby, 2005, halaman 205)

Keempat, barang yang sudah dihibahkan, tidak bisa dicabut kembali oleh pemberi hibah (wahib)

وإذا قبضها الموهوب له لم يكن للواهب أن يرجع فيها إلا أن يكون والدا وإن علا

Artinya, “ketika pihak mauhub lah sudah menerima barang yang dihiibahkan, maka pihak wahib tidak bisa mencabutnya kembali kecuali bila wahibnya adalah orang tua mauhub lah, demikian berlaku untuk nasab yang lebih tinggi.” (Muhammad ibn Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfadh al-Taqrib, Beirut: Thaba’ah al-Halaby, 2005, halaman 205)

Subsidi dan DMO

Berdasarkan mekanisme pelaksanaan akad hibah di atas, selanjutnya mari kita cermati mekanisme penyampaian subsidi dari buah kontrak DMO! Untuk itu, kita perlu mengurainya berdasarkan mekanisme pemberian subsidii tersebut dengan kacamata akad hibah

Pertama, sasaran subsidi (mauhub lah) adalah rakyat. Pihak wahib-nya adalah pemerintah.

Kedua, subsidi disampaikan berupa mata uang yang diserahkan kepada perusahaan dengan kewajiban menyediakan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian, status uang yang diberikan pemerintah kepada perusahaan adalah menempati derajat uang muka pembelian barang (tsaman). 

Ketiga, pihak penerima barang yang sudah dibeli sebagian harganya oleh pemerintah, adalah rakyat selaku mauhub lah (yang diberi hibah).

Keempat, karena yang diterima oleh mauhub lah adalah berupa materi (‘ain) yang sudah ditunaikan sebagian harganya oleh pemerintah, maka hal itu sudah memenuhi konsepsi hibah. 

Berdasarkan uraian di atas, selanjutnya dapat ditarik kesimpulan bahwa kompensasi yang diberikan pemerintah lewat kontrak DMO kepada perusahaan atas nama subsidi kepada masyarakat, adalah sudah memenuhi konsepsi hibah secara fikih.  Wallahu a’lam bi al-shawab

Muhammad Syamsudin, M.Ag

Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja Nu Center PWNU Jatim

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content