el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Png 20220501 214344 0000

Apakah yayasan yang didiriikan oleh masyarakat termasuk yang wajib zakat? Demikian, pertanyaan ini mengalir dari sejumlah masyarakat ke redaksi el-samsi. Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu kiranya kita merunut bagaimana suatu lembaga atau yayasan itu dibentuk? Dalam rangka apa dibentuk?

Terang bagi kita, bahwa yayasan merupakan sebuah badan hukum (al-syakhshiyah al-i’tibariyah) yang terdiri atas sekumpulan orang yang “berserikat” dan berkumpul guna mendapatkan tujuan bersama. Jadi, kata kuncinya ada di serikat  atau syirkah. 

Syirkah di dalam Islam itu ada 4. Satu di antaranya merupakan yang disepakati sebagai sah secara ijma’, yaitu syirkah ‘inan (serikat modal). Adapun 3 lainnya merupakan yang diperselisihkan status sahnya sebagai syirkah, yaitu syirkah abdan, syirkah wujuh, dan syirkah mufawadlah. 

Yayasan – Tipe Syirkah Inan

Pada yayasan dengan tipe syirkah inan, maka ada modal yang dikumpulkan bersama-sama, dikembangkan (tanmiyyah / produktif) bersama-sama, untuk mencapai tujuan bersama, dan untung rugi ditanggung bersama. Modal ini bersifat tercampur secara sempurna (khalathah), tanpa bisa dibedakan lagi. Ada bagi hasil yang disepakati di antara pesertanya, yaitu sesuai dengan nisbah modal yang disertakan. 

Karena syirkah semacam ini merupakan syirkah tipe produktif, maka modal yang terkumpul semacam ini bisa masuk kategori ra’su al-maal (modal diputar). Oleh karena itu, maka (dalam hemat penulis), yayasan semacam ini adalah wajib mengeluarkan zakat, sebelum adanya bagi hasil kepada para investor yang menanam modal padanya. 

Yayasan – Tipe Syirkah Abdan

Syirkah abdan, merupakan perkumpulan profesi atau serikat profesi. Ciri khas dari serikat ini adalah beberapa orang yang punya profesi sama berkumpul menjadi satu untuk menyelenggarakan suatu unit kegiatan usaha bersama, untung rugi ditanggung bersama, dan hasil kegiatan dikumpulkan bersama, dan kelak dibagi bersama.

Sebenarnya, syirkah semacam ini dipandang tidak sah oleh Madzhab Syafii, disebabkan tidak ada kejelasan mengenai modal usahanya, sebab modal usahanya adalah profesionalitas individu pendirinya. 

Namun, tidak diragukan bahwa profesionalitas / skill adalah bagiian dari harta. Mengapa? Sebab, skill dan profesionalitas merupakan keahlian yang bisa dinilai (ditaqwim) dengan uang. Itu sebabnya, syirkah abdan merupakan yang dibolehkan oleh para ulama’ madzhab selain Madzhab Syafii. 

Bagaimana bila syirkah abdan ini ditarik ke perspektif Madzhab Syafii? Dalam pandangan Madzhab Syafii, syirkah yang dibolehkan hanya syirkah ‘inan, dengan modal terdiri atas nadlin (komoditas fisik yang bisa dijual dan diganti dengan uang). 

Berangkat dari diksi “uang” ini, maka apabila pada saat pendirian yayasan bertipe syirkah abdan ini, nilai uang yang harus dikumpulkan bersama-sama sebagai modal syirkah tersebut belum bisa diserahkan, maka status uang itu berubah menjadi “utang” (dain) para mitra. 

Dan sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa “utang” bisa dijadikan sebagai modal (ra’su al-maal). Alhasil, “syirkah abdan” pada dasarnya adalah syirkah inan, namun modalnya terdiri dari “utang”. Dengan demikian, yayasan bertipe syirkah abdan ini juga menjadii wajib zakat bila ditemui adanya sisa hasil usaha melebihi nishab emas atau perak. 

Yayasan – Tipe Syirkah Wujuh

Syirkah wujuh ditandai oleh adanya pihak rabbu al-maal menyerahkan hartanya kepada pihak lain yang punya potensi (jah) menasarufkannya. Umumnya, bagi hasilnya berdasarkan kesepakatan di awal saat penyerahan harta rabbu al-maal kepada pemilik jah (potensi). 

Akad ini merupakan syirkah yang bathil menurut perspektif Madzhab Syafii, akan tetapi tidak menurut Madzhab Hanafi dan Maliki. Pembatal dari akad ini adalah karena modal berasal dari satu pihak saja, yaitu rabbu al-maal. Sementara pihak yang lain, tidak mengeluarkan modal, akan tetapi jasa menjualkan atau menasarufkan. 

Kalangan Syafiiyah tidak mengelompokkan akan tersebut ke dalam akad syirkah, melainkan akad qiradl, mudlarabah atau murabahah, tergantung obyek yang pekerjaan yang diakadi. Terkadang akad ini, juga bisa masuk dalam akad ju’alah, khususnya apabila upah dari pihak ‘amil ditetapkan berdasarkan prestasi, misalnya prestasi penjualan. Misalnya, jika anda mampu menjual 10 biji ini, maka 1 biji berlaku sebagaii upahmu. Nah, akad semacam ini adalah masuk rumpun akad ju’alah (prestasi penjualan). 

Dalam konteks seperti ini, maka yang berlaku sebagai wajib mengeluarkan zakat adalah pihak rabbu al-maalnya. Adapun, bagi pihak pemilik jasa, maka tidak wajib mengeluarkan zakat. Kecuali, bila ada keuntungan yang ia simpan dalam satu tahun dan mencapai nishab. 

Yayasan – Tipe Syirkah Mufawadlah

Syirkah mufawadlah dicirikan oleh perkumpulan dari beragam profesi, berkumpul mendirikan usaha secara bersama-sama, hasilnya dikumpulkan bersama, dan kelak pada waktu bagi hasil, hasilnya dibagi menurut nisbah yang sudah disepakati bersama. 

Suatu misal, penjual kain berserikat dengan tukang jahit. Apabila ada pesanan pakaian dengan model tertentu, maka stok kain diperoleh dari penjual kain, dan selanjutnya penjahit mengerjakan sesuai dengan pesanan. Pendapatan syirkah dihitung setelah pakaian yang dipesan itu jadi, dalam bentuk harga pakaian. 

Nah, pola perserikatan semacam ini adalah termasuk perserikatan mufawadlah. Disebut serikat, sebab hasil modalnya dikumpulkan bersama, dan kelak pembagiannya adalah ditetapkan berdasarkan nisbah kesepakatan. 

Kiranya takyif fikih dari syirkah mufawadlah adalah menyerupai syirkah abdan, atau bisa juga menyerupai syirkah wujuh. 

Jika ditarik sebagai yang menyerupai syirkah abdan, maka modal yang disertakan adalah termasuk modal utang. Namun, dalam konteks madzhab syafii, rusaknya akad ini adalah karena faktor ketidakjelasan harga kain dan upahnya penjahit. 

Bagaimana bila ditarik ke menyerupai syirkah wujuh? Jika diserupakan sebagai syirkah wujuh, maka kain itu menjadi dihitung sebagai modal uang yang terutang kepada syirkah. 

Demikian halnya dengan jah dari penjahit, bisa dihitung sebagai modal uang yang terutang. Namun, sekali lagi batalnya akad ini tetap ada pada ketidakjelasan berapa modal utang itu yang harus diserahkan ke akad syirkah. Alhasil, tetap menghendaki pemisahannya sebab tidak bisa berubah menjadi akad syirkah ‘inan. 

Lantas, bagaimana dengan kewajiban zakatnya? Kewajiban zakat dari syirkah semacam adalah dikembalikan pada elemen penyusun syirkah itu sendiri. Jadi, penjual kain wajib mengeluarkan zakat karena niaga kainnya. Penjahit wajib mengeluarkan zakat dari uang hasil jerih payahnya yang tersimpan mencapai syarat haul dan nishab. 

Kesimpulan

Dalam pandangan penulis, berdasarkan sekilas uraian di atas, maka yayasan yang wajib zakat selaku syirkah adalah yayasan yang bertipe syirkah ‘inan dan syirkah abdan. Adapun, untuk yayasan dengan tipe syirkah wujuh dan syirkah mufawadlah, yayasan tersebut tidak wajib mengeluarkan zakat selain daripada uang simpanan yang terkumpul dalam 1 tahun dan melebihi nishab zakat. Wallahuu a’lam

Muhammad Syamsudin

Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content