Industri game melejit di era pandemi covid-19 dan bahkan menurut lapora IDXchannel tahun 2020, industri ini mampu menyumbang pendapatan negara sebesar Game 25,2 Trilliun Rupiah. Besarnya pemasukan ini menjadikan game menjadi salah satu jenis UKM baru yang berpeluang menjadi ajang investasi dan lahan pekerjaan baru.
Sebenarnya, bagaimana sih kedudukan game dilihat dari sudut pandang agama Islamnya? Apakah termasuk yang sah ditransaksikan?
Game dan Aplikasi Metaverse
Game, merupakan entitas aplikasi yang disusun dengan menggunakan bahasa coding. Coding sendiri asalnya dari kata code (isyarat). Dengan demikian, coding adalah istilah untuk menunjuk pada makna suatu bahasa isyarat yang terangkai oleh angka dan huruf sehingga membentuk suatu pengertian khusus dan bisa diipahami serta diterjemahkan dengan perangkat khusus.
Bukti bisa diterjemahkannya coding sehingga memenuhi makna sebagai isyarat bahasa adalah bahasa yang tersusun oleh code-code tersebut bersifat operasional dan sekaligus fungsional. Apabila salah dalam penyampaian (fault), maka terjadi salah respon yang kemudian dikenal dengan istilah error system. Bila benar, maka suatu sistem operasi aplikasi akan berjalan normal tanpa adanya gangguan.
Adanya operasional atau fungsional dari bahasa penyusun game ini menandakan bahwa game adalah masuk rumpun aset manfaat (jasa). Dikelompokkannya game ke dalam aset manfaat, sebab ketiadaan fisik game di dunia nyata. Ia hadir dalam bentuk metaverse (kinayah) dan keberadaannya hanya bisa diterima manakala ada amal (fungsional). Keberadaan amal inilah yang menjadi ciri khas dari aset manfaat (jasa).
Akad Transaksi Aplikasi Game
Hadir dalam bentuk meta (kinayah), sehingga tidak ada wujud fisiknya, akan tetapi ada fungsional sistem (amal) yang dimilikinya, maka mentransaksikan sebuah aplikasia game pada dasarnya adalah sama dengan mentransaksikan aset manfaat (jasa).
Transaksi dengan basis aset manfaat ini dikenal dengan istilah akad ijarah (sewa jasa). Hukum mentransaksikannya adalah sah dan boleh, selama jasa yang ditampilkan dalam game tersebut (ma’qud ‘alaih) bukan tergolong sebagai jasa yang dilarang oleh syara’.
اتفق الفقهاء على جواز أن يبيع المستأجر ما ملكه، من منفعة بعقد الإجارة لثالث لأن من موجبات الإجارة تملك المنفعة المعقود عليها
“Para fuqaha telah sepakat kebolehan penyewa (baca: user game) menjual item jasa yang dikuasainya kepada pihak ketiga (user lain) dengan akad ijarah, karena yang pokok dalam akad ijarah adalah penguasaan terhadap ma’qud ‘alaih (baca: item game dan gold).” (Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu li al-Zuhaily, Juz 4, halaman 763).
Contoh dari jasa yang dilarang oleh syara’ adalah adanya tampilan yang tidak halal karena mengumbar aurat, menyediakan fasilitas berjudi meskipun dengan item game yang dipertaruhkan terdiri dari token yang dibeli, atau berupa item yang berjamin aset operasional lainnya.
Muhammad Syamsudiin
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur