Zakat merupakan ibadah maliyah yang sudah ditentukan cara penunaiannya oleh nash, kadar penunaiannya, dan waktu penunaiannya. Zakat fitrah hukumnya wajib atas setiap individu yang menemui tenggelamnya matahari di akhir Bulan Ramadhan dan mendapati tanggal 1 Syawal.
Zakat maal menjadi wajib hukumnya untuk dikeluarkan saat harta yang disimpan, atau dikelola, atau ternak yang digembalakan, atau tanaman yang dipelihara, telah mencapai kadar 1 nishab dan mencapai haul (1 tahun).
Dalil Kemuthlakan Syarat Penerima Zakat
Pihak-pihak yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat), juga sudah digariskan oleh nash sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Taubah ayat 60:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk 1) orang-orang fakir, 2) orang-orang miskin, 3) pengurus-pengurus zakat, 4) para mu’allaf yang dibujuk hatinya, 5) untuk (memerdekakan) budak, 6) orang-orang yang berhutang, 7) untuk jalan Allah dan 8) untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Selanjutnya, ayat ini menjadi patokan utama (manshush) bagi ashnaf yang berhak menerima zakat secara muthlaq. Sifat kemuthlaqan ini bersifat tidak menerima pengembangan ashnaf menjadi meebihi 8 komponen tersebut. Sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Syeikh Wahbah Al-Zuhaily, di dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, sebagai berikut:
ودليلهم أن الآية تعني عدم جواز صرفها لغير هذه الأصناف، وأما فيهم فهي تدل على التخيير، أي إنها لبيان الأصناف التي يجوز الدفع إليهم، لا لتعيين الدفع فيهم
“Dalil yang dipergunakan oleh para ulama adalah sesungguhnya ayat menjelaskan mengenai ketidakbolehan pembolahan menyalurkan zakat kepada selain ashnaf delapan. Adapun terkait dengan opini sejumlah ulama terhadap beberapa hal yang baru berkembang, adalah semata karena menjelaskan kepada rumpun ashnaf-ashnaf yang sudah ada, sehingga boleh untuk diberi zakat kepadanya, dan bukan karena arah tujuan menetapkan ashnaf baru sebagai saluran pembayaran zakat.”


Di sisi lain, Syeikh Wahbah Zuhaily juga menegaskan bahwa :
هل تعطى الزكاة لغير هذه الأصناف؟ اتفق جماهير فقهاء المذاهب (1) على أنه لا يجوز صرف الزكاة إلى غير من ذكر الله تعالى من بناء المساجد والجسور والقناطر والسقايات وكري الأنهار وإصلاح الطرقات، وتكفين الموتى، وقضاء الدين، والتوسعة على الأضياف، وبناء الأسوار وإعداد وسائل الجهاد، كصناعة السفن الحربية وشراء السلاح، ونحو ذلك من القرب التي لم يذكرها الله تعالى مما لا تمليك فيه
“Apakah zakat boleh diberikan kepada selain asnaf 8? Maka jawabnya: para ulama jumhur dari kalangan fuqaha madzhab empat telah mufakat bahwa zakat tidak boleh disalurkan kepada selain pihak-pihak yang disudah disebutkan oleh Allah SWT dalam Kitab Suci-Nya, misalnya: untuk membangun masjid, membenahi benteng, memperbaiki saluran irigasi, membendung sungai, memperbaiki jalan, mengkafani orang mati, melunasi utang, menyuguhi tamu, membangun pagar, untuk persiapan kebutuhan perang misalnya membuat kapal perang, membeli senjata, dan sejenisnya, mencakup segala sesuatu yang tidak disebutkan oleh Allah SWT, karena alasan belum ditamlik.” (al-Fiqh al-Islami wa Adillahutuh)
Secara tegas, ibarat ini menyatakan hukum ketidakbolehan penyaluran zakat kepada selain ashnaf 8. Ditinjau dari sisi tafsirnya, mengapa tidak diperbolehkan di luar ashnaf 8, Syeikh Wahbah al-Zuhaily menyatakan:
«إنما» للحصر والإثبات، تثبت المذكور وتنفي ماعداه
“Lafadh innama sebagaimana tertuang dalam ayat, adalah untuk menunjuk faedah al-hashr dan itsbat. Artinya: sesuatu yang disebutkan itu menjadi bagian dari yang tidak bisa diperluas lagi (tsubut), sehingga hal-hal di luar kedelapan ashnaf mengharuskan untuk ditiadakan / diabaikan.” (al-Fiqh al-Islami wa Adillahutuh)
Dengan mencermati sifat muthlaqnya mustahiq zakat yang terangkai dalam 8 ashnaf di atas, secara tidak langsung telah menutup segala bentuk kemungkinan perluasan secara literasi terhadap 8 ashnaf. Namun, Syeikh Wahbah membuka pintu selebar 1 senti, untuk menampung adanya kemungkinan perluasan makna dari ashnaf 8 di atas, yaitu:
- Lewat penegasan beliau bahwa boleh menempatkan opini pada penjabaran kriteria ashnaf dengan niat tidak untuk menentukan ashnaf baru di luar ashnaf 8
- Zakat boleh disalurkan untuk membangun masjid, dan lain sebagainya, dengan catatan harta zakat tersebut telah ditamlik.
Dua hal ini, setidaknya bisa membawa kepada kita untuk menarik “mafhum” dari setiap ashnaf yang sudah dijabarkan dan ditegaskan secara manshush di dalam ayat.
Dengan Mafhum Ayat, Ustadz bisa ditempatkan di Ashnaf apa?
Penting untuk disampaikan oleh penulis, bahwa ashnaf 8 tersebut sudah bersifat muthlaq bi al-ittifaq. Hal ini tidak boleh untuk kita otak-atik lagi. Namun, karena ada beberapa faktor yang menunjukkan karakteristik sama pada 2 ashnaf yang berbeda untuk pihak dan kalangan tertentu. maka dibutuhkan ilhaq al-masail bi nadhairiha sebagai langkah tahsiniyah (menjaga kehormatan) semata.
Sebagaimana judul yang telah kita sampaikan, misalnya adalah seseorang yang berprofesi sebagai ustadz. Apakah ustadz atau kyai berhak menerima zakat?
Dalam konteks ini, yang kita perhatikan pertama kali adalah kemuthlaqan dalil, yang menegaskan tidak ada ashnaf ustadz. Yang kita perlukan adalah mengelompokkan ustadz ini ke dalam kelompok ashnaf apa? Apakah bisa dikelompokkan ke dalam ashnaf sabililah? Ini adalah poin pentingnya.
Berdasarkan literasi yang dijumpai dalam Madzhab Syafii, disampaikan bahwa yang dimaksud dengan sabilillah adalah orang yang menjadi tentara dan tidak ikut angkat senjata melainkan hanya bertugas menjaga wilayah perbatasan dari masuknya musuh. Dia tidak mendapatkan harta fai dan ghanimah melainkan hanya digaji dari harta zakat. Penjelasan semacam ini, bisa kita temui sebagaimana disampaikan oleh Syeikh Taqiyuddin al-Hisni dalam Kifayatu al-Akhyar, sebagai berikut:
الصِّنْف السَّابِع فِي سَبِيل الله للآيه الْكَرِيمَة وهم الْغُزَاة الَّذين لَا رزق لَهُم فِي الفىء وَأَصْحَاب الفىء يسمون المرتزقة وَلَا يصرف شَيْء من الصَّدقَات إِلَى الْغُزَاة المرتزقة كَمَا لَا يصرف شَيْء من الْفَيْء إِلَى المتطوعة وَلَو عدم الْفَيْء لم يُعْط المرتزقة من الصَّدقَات فِي الْأَصَح
“Asnaf ketujuh adalah sabilillah, disebabkan penyebutannya pada dhahir ayat yang mulia. Mereka adalah para tentara perang yang tidak mendapatkan harta fai’. Para tentara yang mendapatkan harta fai disebut dengan istilah murtaziqah dan harta zakat tidak bisa disalurkan ke mereka yang masuk kelompok ini, sebagaimana harta fai’ juga tidak bisa disalurkan ke tentara mutathawwa’ah. Jika tidak ada fai’, kelompok tentara murtaziqah juga tetap tidak bisa menerima zakat, menurut qaul ashah.”(Kifayatu al-Akhyar, Juz I, halaman 194)
Secara ringkas dapat disampaikan bahwa fi sabilillah itu adalah tentara mutathawwa’ah, yaitu tentara yang secara khusus digaji dari harta zakat. Keberadaannya, menempati hukum fardlu kifayah, yakni: harus ada salah satu dari kalangan muslim yang berperan melakukannya untuk menggugurkan kewajiban warga muslim lain. Syeikh Taqiyuddin al-Hushny menjelaskan:
لَو كَانَ فرض عين لتعطلت المعايش والمزروعات وَخَربَتْ الْبِلَاد نعم قد يعرض مَا يُوجب ذَلِك على كل أحد كَمَا سَنذكرُهُ إِن شَاءَ الله تَعَالَى فَإِذا قَامَ بِالْجِهَادِ من فِيهِ كِفَايَة سقط الْفَرْض عَن البَاقِينَ لِأَن هَذَا شَأْن فروض الكفايات
“Andai kata jihad fi sabilillah itu hukumnya adalah fardlu ‘ain, maka pasti akan terjadi ketimpangan dalam berbagai sektor kehidupan dan berbagai pertanian, sehingga negara akan roboh. Benar, memang terkadang hukum jihad fi sabilillah ini adalah wajib berlaku atas setiap individu sebagaimana yang akan kami jelaskan insyaallah. Akan tetapi, bilamana sudah ada yang menegaskan diri melakukan jihad di dalamnya secara kifayah, maka gugur kewajiban masyarakat lainnya. Hal itu tidak lain karena tugas jihad ini hukumnya adalah fardlu kifayah.” (Kifayatu al-Akhyar, halaman 496)
Adapun berkaitan dengan peran fardlu kifayah ini disampaikan sebagai berikut:
ثمَّ الْكِفَايَة تحصل بشيئين أَحدهمَا شحن الثغور بِجَمَاعَة يكفون من بازائهم من الْعَدو فَإِن ضعفوا وَجب على كل من وَرَاءَهُمْ من الْمُسلمين أَن يمدوهم بِمن يتقوون بِهِ على قتال عدوهم وَالثَّانِي أَن يدْخل الإِمَام دَار الْكفَّار غازياً بِنَفسِهِ أَو يبْعَث جَيْشًا وَيُؤمر عَلَيْهِم من يصلح لذَلِك فَلَو امْتنع الْكل من الْقيام بذلك حصل الاثم لَكِن هَل يعم الْجَمِيع أم يخْتَص بالذين يدنون إِلَيْهِ فِيهِ وَجْهَان الْمَذْكُور فِي الْحَاوِي للماوردي وَتَعْلِيق القَاضِي أبي الطّيب أَنه يَأْثَم الْكل وَصحح النَّوَوِيّ أَنه يَأْثَم كل من لَا عذر لَهُ
“Hukum kifayah berlaku berdasar dua kriteria, yaitu: pertama, penjagaan perbatasan bersama sekelompok petugas lainnya yang sekira dapat menolak serangan musuh. Jika kondisi petugas ini lemah, maka wajib hukumnya bagi masyarakat yang berdiri di belakangnya dari kalangan muslimin untuk ikut serta membantu, bersama-sama dengan pihak lainnya yang takut akan serangan musuh. Kedua, bilamana pemimpin maju sendiri ke negeri kaum kafir untuk berperang, atau imam mengutus seorang tentara agar mengajak orang yang pantas untuk ikut serta dalam peperangan. Dalam kondisi seperti ini, seandainya semua orang menolak untuk melakukannya, maka berdosalah mereka. Apakah dosa ini berlaku atas semua orang, ataukah hanya kaum muslimin yang tinggal dekat dengan lokasi peperangan itu? Maka dalam hal ini ada dua pendapat, sebagaimana disebutkan dalam al-Hawi li al-Mawardi, dengan catatan kaki dari Qadli Abu Thayib, yaitu: mereka berdosa seluruhnya. Pendapat ini dishahihkan oleh Imam Nawawi, dan menegaskan semua orang yang tidak ada udzur baginya, adalah berdosa.” (Kifayatu al-Akhyar, halaman 498).



Berbekal analisis terhadap peran asnaf sabilillah di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
- Ashnaf ini muncul seiring adanya gangguan keamanan terhadap kaum muslimin, sehingga dibutuhkan orang yang mau menempati sektornya, dengan tidak pandang bulu apakah mereka yang diangkat oleh pemerintah dan ditugaskan menempati sektor penjagaan perbatasan (syahnu al-tsaghur) atau berasal dari tim sukarelawan. Hikmah dalil yang berlaku atas mereka adalah berangkat dari rasa takut (khauf).
- Untuk tentara yang ditempatkan oleh pemerintah, maka mereka terdiri dari orang yang memiliki keahlian di bidangnya (man yashluhu li dzalika). Kecuali untuk sukarelawan, maka tidak diperlukan adanya keahlian.
- Hukum berdiri menempati sektor di atas sifatnya adalah fardlu kifayah, artinya jika tidak ada orang dari kalangan kaum muslimin yang menempati sektor tersebut, maka semua orang berdosa
- Segala keperluan mereka dibiayai dari harta zakat.
Kesamaan Karakteristik Mutathawwa’ah dengan Ustadz
Mungkin ini tidak terjadi pada kalangan tertentu sehingga tidak pas bila ditempatkan sederajat dengan ustadz yang kita maksudkan dalam tulisan ini.
Ketika berbicara mengenai ustadz, guru, atua kyai, maka dalam benak kita terbayang sosok mereka-mereka ini yang menempati profesi sebagai berikut:
- Mereka adalah pihak yang mendapatkan gaji di bawah standar atau bahkan rela untuk tidak digaji.
- Banyak dari ustadz pondok pesantren, guru-guru madrasah swasta, atau guru sukarelawan, guru honorer, mereka mendapatkan gaji relatif rendah. Penulis sendiri menjumpai, dan bahkan pernah berpengalaman menjadi bagian dari mereka. Gajinya berkisar antara 30 ribu per bulan, hingga di bawah 500 ribu rupiah. Mereka harus masuk setiap hari untuk memberi pelajaran kepada anak didiknya
- Sebagian besar guru di madrasah-madrasah kita, meskipun kaya, mereka rela untuk mengajar madrasah dengan kapasitas siswa yang kurang dari 20 orang per kelas.


Sebagai contoh kasus, penulis akan hadirkan sebuah ilustrasi yang pernah penulis alami, sebagai berikut:
“Penulis dulu pernah mengajar di sebuah Madrasah Aliyah rintisan, tepatnya di Ngajum, Malang, dengan jumlah murid kurang dari 20 anak per kelas. Jadwal ngajar, sampai 27 jam dalam 1 Minggu. Setiap hari harus masuk dari jam 7 hingga jam 12.00 WIB. Coba anda bayangkan! Berapa SPP yang dibebankan kepada Anak2 ini? Berapa gaji ustadznya? Penulis sendiri sampai keluar air mata ketika membayangkan hal di atas. Sebab, yang mahu mengajar di madrasah tersebut, pasti adalah orang-orang pilihan. Mereka dipilih karena keterpaksaan. Dipilih, karena menyadari bahwa itu adalah madrasah yang baru berdiri. Orang-orang bertitel, umumnya datang, setelah madrasah menjadi besar. Para pelaku pendidikan Dasar dan menengah di tubuh Nahdlatul Ulama, hampir pasti pernah mengalami hal yang sama sebagaimana yang penulis contohkan di atas.”
Nah, berangkat dari kasus ini, mahu ditempatkan sebagai asnaf apa para ustadz-ustadz di atas? Secara urf, alangkah tidak tepat bila kita hanya terfokus pada hanya satu pendapat saja. Bahkan, terlampau tidak sopan dan kurang adab, bila para ustadz-ustadz tersebut kemudian dimiskinkan statusnya. Tidak adakah, ruang untuk mengangkat harkat dan martabat mereka dari sisi sebutan saja?


Bercermin dari adanya ruang dialog yang dibuka sesenti oleh Imam al-Qaffal, tentang sabilillah difahami sebagai sabili al-khair. Tentu, istilah sabilil al-khair ini bukan disebabkan karena beliau tidak memahami mengenai ashnaf 8. Ada sesuatu yang tersimpan (amrun ba’its) dari istilah sabili al-khair.



Mengadabkan Ashnaf bagi Ustadz
Dengan mencermati dialektika sebagaimana penulis sampaikan di atas, penulis mencoba untuk menaarik benang merah, bagaimana caranya mengadabkan kelompok ashnaf dari para ustadz, sebagaimana ilustrasi yang penulis sampaikan di atas.
Pertama, berdasar kemuthlaqan dalil, para ustadz yang menempati derajat di atas, bisa kita kelompokkan ke dalam ashnaf fuqara atau masakin. Tentu hal ini berlaku untuk mereka yang kondisi perekonomiannya termasuk kurang mampu. Sebab, mereka-mereka digaji dengan besaran yang kurang layak untuk disebut gaji.
Kedua, berdasarkan kemafhuman dalil, para ustadz seluruhnya bisa dikelompokkan ke dalam sabilillah yang tercakup di dalamnya adalah sabil al-khair. Mereka dalam hal ini, diilhaqkan dengan mutathawwa’ah yang menempati derajat penggugur fardlu kifayah. Kesamaan illat antara mutathawwa’ah dengan para ustadz ini adalah mereka sama-sama memiliki tugas yang bersifat luzumah.



Ketiga, ini sifatnya hanyalah tahsiniyah semata, yaitu karena faktor menjaga harkat dan martabat para ustadz sebagai ahli ilmu saja. Pendapat ketiga ini, berangkat dari dialektika bahwa alangkah kurang adab untuk menempatkan derajat orang-orang yang berjuang mengembangkan lembaga pendidikan rintisan itu sebagai ashnaf fuqara wa al-masakin. Sebab, mereka mengajar di lembaga tersebut semata bukan karena gaji. Mereka secara bersama-sama bergotong royong dalam rangka menjaga tetap beroperasinya lembaga pendidikan. Secara urf, lebih terhormat bila mereka ditempatkan dalam ashnaf sabilillah berdasarkan kemafhuman ashnaf ini yang bisa dimaknai sebagai sabil al-khair. Meskipun, pada realitanya, yang beroperasi adalah ashnaf fuqara wa al-masakin.
Operasional Penyebutan Ashnaf
- Apabila ditanya mengenai ashnaf ustadz dalam kelompok pembagian zakat, dan yang bertanya adalah orang yang ahli fikih dan menguasai fikih, maka jawabnya adalah mereka masuk kelompok ashnaf fuqara wa al-masakin.
- Adapun, bila yang bertanya adalah masyarakat awam, yang tidak mengerti bahasan mengenai fikih secara detail, maka jawabnya adalah para ustadz sebagaimana kasus di atas, adalah masuk ashnaf sabilillah. Tujuannya, menjaga kehormatan para penjaga palang pintu perjuangan di lokasi-lokasi sebagaimana penulis ilustrasikan di atas. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.