el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

20220321 000058 0000

Berita rentannya masyarakat terjebak dalam praktik judi online, money game dan skema piramida disinyalir karena lemahnya literasi keuangan oleh masyarakat itu sendiri. 

Masyarakat mudah sekali dikecoh sehingga lupa bahwa uang atau pendapatan itu harus didapat dengan jalan bekerja atau melakukan kegiatan investasi. Tanpa keduanya, maka dapat dipastikan bahwa sumber keuangan yang diperolehnya adalah berasal dari praktik haram dan memakan harta orang lain secara batil. 

Penjelasan ini sudah sering disampaikan oleh LBM PWNU Jawa Timur lewat beberapa kesempatan kegiatan bahtsul masail diniyah, khususnya selama perjalanan kegiatan tahun 2021. Hasil bahtsul masail ini memberitahukan pentingnya kewaspadaan dan langkah tepat untuk mengedukasi masyarakat agar meningkatkan literasi keuangan. 

Salah satu bentuk literasi keuangan adalah penting untuk mengenal siapa sih afiliator. Dalam definisinya, afiliator merupakan pihak yang bertugas memperkenalkan member terhadap suatu entitas tertentu yang menjjanjikan pendapatan atau keuntungan. Jadi, istilah sederhananya, afiliator adalah pihak yang berprofesi sebagai sales marketing dari suatu bisnis yang menawarkan keuntungan. 

Sebagai sales marketing, sudah barang tentu memiliki atasan atau pihak yang memiliki kewenangan jauh lebih besar dibanding diri afiliator itu sendiri. 

Nah, dari atasan inilah seharusnya pihak afiliator itu mendapatkan upah serta gajinya. 

Namun, uniknya, yang nampak sekarang justru sebaliknya. Seorang afiliator mendapatkan gaji dari anggota yang direkrutnya. 

Sahkah gaji yang diperoleh dengan model seperti ini? Sudah barang tentu tidak sah. 

Ada berbagai alibi yang berhasil dihimpun oleh para peneliti dan pengkaji di LBM PWNU Jatim. Berdasarkan hasil pendataan, para afiliator ini mengatasnamakan pendapatan dari anggota tersebut dengan atas nama: sebagai bonus dirinya, poin pemasaran atau bahkan mengatasnamakan bagi hasil. 

Mengenal Bonus

Penting untuk kita ketahui bahwa bonus dalam kosakata fikih keislaman sering diistilahkan dengan ju’lu. Ia tidak ubahnya seperti ujrah (upah/gaji). Ju’lu merupakan sesuatu yang diberikan kepada orang karena alasan suatu prestasi, atau capaian targenyat sesuai dengan yang disyaratkan oleh pihak penyuruh. 

Suatu misal, jika engkau mampu menjual 10 bungkus, maka yang 1 bungkus adalah upahmu. Secara fiqih, 1 bungkus ini disebut sebagai ju’lu / bonus. Sementara keterjualan 10 bungkus adalah syarat yang ditetapkan oleh penyuruh, yang bisa jadi perorangan atau badan usaha. 

Karena ju’lu adalah menempati derajatnya ujrah (gaji), maka ju’lu / bonus wajib terdiri atas 2 hal, yaitu: (a) wajib berupa barang fisik atau mata uang, atau (b) bonus tersebut berupa utang yang bisa dituntut penunaiannya oleh pihak yang mendapatkan bonus. Pihak yang punya utang adalah penyuruh (ja’il). Pihak penagih utang adalah yang disuruh.

Apabila ada bonus dengan mengatasnamakan poin atau upah dalam bentuk apapun, namun penunaiannya harus disampaikan oleh pembeli / anggota yang direkruutnya, maka bonus tersebut sejatinya bukanlah bonus. Bonus ini sejatinya adalah upaya memakan harta orang lain secara tidak sah / batal, namun diatasnamakan sebagai bonus atau upah.

Poin Pemasaran

Beberapa aplikasi money game sering menyebutnya sebagai poin. Beberapa bisnis skema piramida (MLM) juga sering menyebutnya sebagai poin referral. 

Terkadang ada barang, namun tidak jarang instrumen perantaranya hanya mengatasnamakan aset digital. Uniknya, poin ini disamarkan oleh beberapa pelaku bisnis nakal dengan jalan disamarkan dengan poin pemasaran yang sah. 

Poin pemasaran, biasanya diterapkan oleh perusahaan ketika karyawan bisa menjual obat atau produk yang dipasarkan sebanyak sekian-sekian. Untuk memudahkan penghitungannya, pihak perusahaan ini kemudian menyederhanakan sebagai poin. Harga produk yang dijual berlaku umum. Andaikata tidak ada poin, produk itu juga laku di pasaran. Nah, poin inilah yang masuk kategori bonus pemasaran. 

Adapun, bila produk yang dijual, ternyata tidak sesuai dengan harga umum produk sejenis di pasaran, dan bahkan andaikata tidak ada poin tersebut maka produk itu tidak laku di pasaran, maka poin jenis ini adalah bukan bonus. 

Poin itu sejatinya hanyalah pengelabuan (ighra’). Yang dikehendaki oleh pihak afiliator sebenarnya adalah bonus demi bonus. 

Padahal ketentuan bonus itu disebut bonus, asalnya adalah bonus itu wajib dari pihak penyuruh (perusahaan). Namun seiring yang disebutnya bonus itu ternyata asalnya dari referral, maka akhirnya pekerjaan afiliator hanyalah mencari anggota demi anggota. 

Itulah sebabnya, skema piramida jenis ini sering ditengarai dengan konsentrasi afiliator untuk mencari referral demi referral agar mendapatkan poin yang kemudian disebutnyya bonus tersebut.

Bagi Hasil

Berdasarkan literasi aslinya, bagi hasil merupakan buah dari kerjasama dalam suatu kegiatan usaha. Antara pihak 1 dengan pihak lainnya, sama-sama mengumpulkan modal untuk dibelikan suatu barang dan kemudian dijual kembali ke pasaran, di waktu yang berbeda, guna mendapatkan keuntungan bersama. Nisbah bagi hasil adalah sesuai dengan nisbah modal masing-masing yang disertakan. Jika terjadi kerugian, maka kerugiannya ditanggung bersama.

Ada juga konsep bagi hasil itu diperoleh dengan jalan salah satu pihak menyiapkan modal, sementara pihak yang lain bertindak selaku yang mengerjakan. Konsep ini dikenal dengan istilah konsep qiradl (bantuan modal). Nisbah keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan. Berapa persen untuk pemodal dan berapa persen untuk pelaku. 

Itulah konsep bagi hasil sebenarnya. Namun, di dalam bisnis skema piramida, pemotongan dilakukan secara sepihak oleh pihak yang diserahi dana, tanpa adanya kerja produksi. Misalnya, downline menyerahkan Rp100 ribu. Pihak upline (afiliator) langsung memangkasnya sebesar 70% dan sisanya 30% diserahkan kepada atasannya lagi. Mereka menyebut aktifitas ini sebagai bagi hasil. Pertanyaannya, bagi hasil dari mana dan hasil dari kegiatan produksi apa? 

Itulah tiga hal yang meniscayakan agar diiperhatikan oleh masyarakat, agar tidak terjebak dalam skema ponzi atau skema piramida, atau bahkan investasii bodong. Sebenarnya, masih ada banyak indikator lainnya. Namun, kiranya ketiga hal ini adalah ciri utama dari investasi bodong. 

Info Grafis:

Muhammad Syamsudin

Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah, LBM PWNU Jatim

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content