Dalam pandangan Imam Ghazali, ada beberapa faktor penyebab terjadinya krisis, yaitu: 1) apabila terjadi jual beli uang dengan uang, dan 2) hambatan distribusi produk.
Jual beli uang dengan uang merupakan akar utama terjadinya krisis sebab uang diciptakan sebagai alat tukar (medium of exchange) dan bukan sebagai komoditas (comodity). Menjadikan uang yang dihargai sebagai komoditi merupakan wujud praktik menyalahgunakan uang tidak sebagaimana awal ia diciptakan. Oleh karena itu, tindakan tersebut merupakan yang dikecam oleh Imam al-Ghazali sebagai salah satu bentuk kezaliman.
Selanjutnya, faktor pembentuk krisis adalah diakibatkan oleh terbentuknya barier yang menyebabkan terhambatnya aliran distribusi produk ke masyarakat. Perlu diingat bahwa produk tanpa kelancaran distribusi adalah tidak ada gunanya. Manfaat produk hanya bisa dirasakan oleh masyarakat manakala terbentuk pasar dan tersedianya produk di pasaran. Melalui pasar, terjadi pertukaran sehingga lahir keuntungan.
Menurut teori dasar ekonomi Islam, ada beberapa indikator praktik terjadinya barrier distribusi produk, antara lain:
- Karena adanya praktik ihtikar (penimbunan) produk yang menguasai hajat hidup orang banyak
- Karena adanya praktik bai’ talaqqy rukban atau bai’ hadlir li al-badi.
- Karena adanya hambatan produksi akibat faktor keamanan, misalnya begal atau perompak.
Keseluruhan indikator di atas, meniscayakan adanya pihak ketiga yang menjadi penyekat sampainya produk ke pasaran. Praktik bisnis pihak ketiga inilah yang dicela oleh syara meskipun pada dasarnya apa yang ia lakukan terkadang merupakan praktik yang halal.
Sebagaimana diinfokan oleh Kementerian Perdagangan, bahwa pemerintah telah melakukan praktek tas’ir jabary terhadap harga eceran minyak goreng (migor). Namun, harga tersebut ternyata belum berjalan sesuai dengan ketentuan Harga Eceran Tertinnggi (HET).
Kementerian Perdagangan sendiri juga sudah menginfokan dan menjamin bahwa jumlah stok minyak goreng kemasan di pasaran sebenarnya melimpah. Namun, harganya yang melambung tinggi melebihi HET.
Menurut laporan yang dirilis oleh Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), melambungnya harga tersebut besar dugaan dipengaruhi oleh persoalan distribusi minyak goreng dari produsen ke pedagang di pasar tradisional. Bahkan, harga minyak curah melebihi ketentuan HET minyak kemasan. Padahal, pemerintah sudah menetapkan HET sejak 1 Februari 2022 untuk tiga jenis minyak goreng, yakni migor curah senilai Rp 11.500 per liter, migor kemasan sederhana senilai Rp 13.500 per liter, dan migor kemasan premium senilai Rp 14.000 per liter.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), melaporkan bahwa harga rata-rata minyak goreng curah nasional ada di level Rp 13.609,- per liter. Harga tertinggi minyak goreng curah terjadi di Provinsi Maluku Utara, yakni Rp 19.600 per liter. Sementara harga terendah terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur senilai Rp 10.800 per liter.
Di DKI Jakarta, minyak goreng curah dijual pada angka Rp 15.000 per liter. Uniknya. harga ini justru sama dengan harga minyak goreng yang dinikmati masyarakat Provinsi Papua.
Beberapa pasar di Jawa menjual minyak goreng curah dengan rentang harga antara Rp 17 ribu per liter sampai dengan Rp 18 ribu per liter. Harga tertinggi penjualan mencapai ada di Rp 20.000 per liter. Demikian ini, sebagaimana disampaikan oleh Sekjen DPP IKAPPI, Reynaldi Sarjowan.
Jadi, ada apa di balik itu semua? Bukankah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah menyatakan pada Januari 2022 yang lalu akan mendistribusikan 1,2 miliar liter minyak goreng ke pasar dalam enam bulan ke depan atau kisaran 200 juta liter per bulan.
Semua ini merupakan indikasi bahwa ada persoalan dalam pendistribusian minyak goreng. Fakta unik terjadi, yaitu kog bisa harga minyak goreng di Papua sama dengan harga minyak goreng di Jakarta?
Jika merunut pada pola mengatasi manajemen risiko (neraca perimbangan), semestinya pendistribusian itu harus disertai dengan perimbangan jumlah penduduk sehingga stabilitas harga bisa terjadi di pasaran. Mungkinkah bahwa minyak goreng yang seharusnya didistribusiikan ke Jawa dilarikan ke wilayah-wilayah yang tidak mungkin bisa menghabiskan stok jaminan produk yang ada sehingga diharapkan ada sisa yang selanjutnya akan dijual ke luar negeri atau dijual ke pulau yang padat penduduk saat harga riil di pasar sudah melambung tinggi? Bisa jadi.
Bagaimanapun juga, di tengah sengkarut kelangkaan minyak goreng di pasar tradisional dan tingginya harga melebihi HET, hal sekecil apapun memungkinkan terjadi. Toh produsen juga merupakan pengusaha, yang tentunya berharap adanya keuntungan lebih dari sekedar subsidi yang sudah dikucurkan oleh pemerintah guna membantu penjagaan terjadinya stabilitas harga.
Muhammad Syamsudin
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur