Banyak pengkaji fikih yang menganggap bahwa cryptocurrency dan software adalah sama-sama berstatus hak dan menjadi bagian dari syaiin maushuf fi al-dzimmah sebab keduanya tidak masuk dalam ranah ainun musyahadah. Besar dugaan bahwa hal itu karena didorong oleh faktor sama-sama berstatus memiliki lisensi (encripsy). Benarkah keduanya sama? Simak ulasan berikut ini!
Sebagaimana kajian terdahulu bahwa cryptocurrency hanya merupakan entitas yang terdiri dari gabungan angka dan huruf yang tidak memiliki fungsi (operasional/amal) sehingga tidak punya nilai manfaat yang bersifat ilzam dan iltizam (melekat pada entitasnya). Alhasil, keberadaannya tidak masuk dalam rumpun syaiin maushuf fi al-dzimmah dengan obyek dzimmah-nya terdiri dari manfaat-nya syai’, yaitu wajib berupa fi’lin hadlir = operasional).
Sederhananya, seorang pembeli kripto, tidak akan bisa memakai kripto tersebut kecuali hanya dengan jalan menjualnya saja. Oleh karena itu, harga kripto pasti terbentuk akibat spekulasi di pasaran saja dan bukan karena sifat operasional nilai angka dan hurufnya. Oleh karena itu, lisensi (encripsy) yang hadir, tidak bisa dibaca sebagai haqqun mu’tabar. Mengapa? Sebab, spekulasi bukanlah mekanisme yang sah sebagai praktik jual beli dalam Islam. Bahkan, hak spekulatif tersebut adalah hak yang bathil dan dilarang oleh nash.
Lantas bagaimana dengan software?
Software memang memiliki unsur penyusun yang sama dengan cryptocurrency. Keberadaannya terdiri dari gabungan angka dan huruf (coding) yang memiliki fungsi (operasional/amal) sehingga memiliki nilai manfaat yang bersifat ilzam dan iltizam. Oleh karena itu, software masuk menjadi bagian syaiin maushuf fi al-dzimmah dengan obyek dzimmah-nya terdiri dari manfaatnya coding berupa fi’lin hadlir (operasional).
Sederhananya, seseoang habis beli software, maka ia bisa memakaia dan memanfaatkannya, untuk mengetik atau berbagai fungsi lain. Pembelinya tidak perlu melepasnya ke pasar untuk mendapatkan manfaatnya. Meskipun, andaikata dijual pun juga bisa, sebab sudah memegang lisensinya.
Bagaimana dengan harganya? Harga software ditentukan sesuai dengan kemampuan operasionalnya. Kalau canggih, maka harganya tinggi. Kalau softwarenya hanya memiliki fungsi sederhana, maka harganya rendah atau bahkan sama sekali tak berharga.
Hak lisensi yang melekat pada software, bisa dibaca sebagai haq ma’nawiyah. Sebab, lisensi yang dimiliki bersifat melekat pada originalitas software dan fungsi yang beda sehingga merupakan haq mu’tabar. Dan jelas, bahwa berbekal lisensi itu, pihak pembeli bisa merasakan beda bila memakai software tembakan atau software tak berlisensi. Misalnya, MS Office 86x, tentu manfaat dan kecanggihannya berbeda dengan MS Office 32x.
Apa bukti perbedaan hak tersebut?
Silahkan anda cermati 2 hal ini!
- Software, bisa anda install di perangkat dan fungsinya bisa anda rasakan. Fungsi ini sifatnya melekat, dan memang tujuan orang beli software itu adalah fungsi software itu.
- Cryptocurrency, mau anda install di mana? Orang membeli cryptocurrency, bukan untuk maksud membeli angka dan huruf penyusun kryptografinya, bukan? Itu sebabnya, kriptografinya tak memiliki manfaat sedikitpun.
Sesederhana itu dan just simple
Di dalam Kitab Fathul Qarib al-Mujib jelas disebutkan:
ولصحة إجارة ما ذكر شروط، ذكرها بقوله: (إذا قُدِّرَت منفعته بأحد أمرين): إما (بمدة)، كآجرتك هذه الدار سَنةً (أو عمل) كاستأجرتك لتخيط لي هذا الثوب
“Untuk sahnya akad sewa, mushannif menyebutkan beberapa syarat. Syarat itu adalah apabila manfaat dari obyek bisa dikuasai menurut salah satu darii perkara, yaitu (1) dengan durasi (muddah), misalnya aku sewa rumah ini selama durasi 1 tahun. Atau (2) dengan fungsional (amal), misalnya aku sewa kamu untuk menjahitkan baju milikku.” (athu al-Qarib)
Nah, jelas bukan, perbedaan keduanya? Wallahu a’lam bi al-shawab
Muhammad Syamsudin
Peneliti Bidang ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur – Wakil Sekretaris Bid. Maudlu’iyah LBM PWNU Jawa Timur