Beberapa aplikasi seringkali menggunakan istilah shadaqah, hibah dan hadiah secara bergantian. Kadang, penggunaan itu disamarkan dengan istilah reward, gift. Dan terkadang lagi, sifat krusialnya pemberian disamarkan lagi dengan menggunakan istilah yang remeh. Padahal, buntutnya adalah keluar uang yang tidak kecil. Suatu misal, disamarkan dengan penggunaan istilah sticker, koin, poin dan sejenisnya.
Jika dicermati lebih lanjut, semua bentuk pengelabuan ini, pada dasarnya adalah untuk menggiring jiwa dan motivasi publik agar dengan mudah menyerahkan harta yang diimilikinya, sehingga tidak lagi sayang terhadap harta. Padahal manfaat yang diterimanya, sama sekali tidak sebanding dengan pengeluaran yang disampaikannya yakni akibat penyerahan sticker, koin dan poin tersebut.
Sebagai masyarakat yang terdidik, sudah pasti kita harus sadar bahwa sticker, koin dan poin, yang dibeli melalui akad ijarah, atau yang didapat melalui perjalanan menempuh misi pada dasarnya itu semua adalah termasuk maal duyun (aset berjamin utang) atau juga bisa disebut sebagai ma fi al-dzimmah (aset berjamin). Istilah kasarnya adalah token. Penggunaannya dalam akad yang berbasis pertukaran (mu’awadlah) hukumnya adalah sah. Alhasil, menasarufkannya secara berebih-lebihan juga dikenai hikmah israf (boros). Merusakkannya, menghendaki adanya ganti rugi (dlaman), dan lain sebagainya.
Kaitannya harta digital ini digunakan dalam berbagai istilah yang populer di dunia maya, seperti gift, reward, poin referral, dan lain sebagainya, maka dalam hal ini penulis akan menyajikan sejumlah batasan yang tertuang dalam kitab fikih, terkait dengan aturan shadaqah, hibah dan hadiah. Simak ulasannya!
Material Shadaqah, Hibah dan Hadiah
Tiga istilah ini merupakan yang populer dalam literasi jurisprudensi hukum Islam. Berawal dari kajian tentang hibah, bahwasanya kaidah pokok hibah, adalah:
ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﺟﺎﺯ ﺑﻴﻌﻪ ﺟﺎﺯﺕ ﻫﺒﺘﻪ
“Segala sesuatu yang bisa dijualbelikan, maka bisa dihibahkan.”
Artinya, bahwa segala materi yang diperoleh melalui akad jual beli, maka materi tersebut juga bisa ditasarufkan melalui jalur hibah. Kita menangkap dari sini, bahwa inti dasar (muqtadla al-aqdi) dari jual beli adalah dalam rangka tamlik (pindah kepemilikan). Alhasil, hibah pun pada dasarnya juga merupakan akad tamlik disebabkan materi yang dihibahkan akan dikuasai oleh pihak lain yang mendapat hibah (mauhub lah).
Karena materi itu harus memenuhi syarat berupa barang yang bisa dijualbelikan, maka materi itu harus berwujud materi yang tidak haram. Sebab, materi yang haram, tidak bisa dijualbelikan, alhasil, tidak bisa dipindah kuasakan (naql al-haq). Dengan demikian, maka bila di dalam suatu akad terdapat sebuah kerusakan dari sisi perjalanannya, maka perpindahan kepemilikan itu menjadi tidak bisa dilanjutkan, sebab rusaknya akad.Jadi, barang harus kembali kepada pemiliknya semula.
Ketika barang itu tidak sah untuk dipindahkuasakan, maka itu berarti, barang tersebut menjadi tidak sah pula untuk dihibahkan. Alhasil, syarat terpenuhinya suatu harta untuk bisa dihibahkan, adalah bila harta tersebut diperoleh dari jalur akad yang sah. Baik harta itu berupa sticker, koin, atau poin, asalkan ia diperoleh dari jalur halal, maka sah untuk dihibahkan. Jika sah dihibahkan, maka sah pula untuk dishadaqahkan dan dihadiahkan.
Perbedaan Shadaqah, Hibah dan Hadiah
Ada sebuah ibarat yang disampaikan Syeikh Taqiyuddin al-Hishny di dalam Kitabnya Kifayatu al-Akhyar sebagai berikut:
اﻋﻠﻢ ﺃﻥ اﻟﺘﻤﻠﻴﻚ ﺑﻐﻴﺮ ﻋﻮﺽ ﺃﻥ ﺗﻤﺤﺾ ﻓﻴﻪ ﻃﻠﺐ اﻟﺜﻮاﺏ ﻓﻬﻮ ﺻﺪﻗﺔ ﻭﺇﻥ ﺣﻤﻞ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻤﻠﻚ ﺇﻛﺮاﻣﺎ ﻭﺗﻮﺩﺩا ﻓﻬﻮ ﻫﺪﻳﺔ ﻭﺇﻻ ﻓﻬﻮ ﻫﺒﺔ
“Ketahuilah bahwasanya perpiindahan milik tanpa disertai adanya ganti (harga) dan semata karena niat mencari fahala dari Allah SWT, maka akad ini adalah termasuk shadaqah. Dan bilamana perpindahan kepemilikan itu semata karena niat memulyakan atau demi membina rasa kasih sayang, maka akad tersebut masuk dalam rumpun hadiah. Sementara itu, jika tanpa adanya unsur-unsur bina kasih sayang dan sejenisnya, maka akad itu adalah termasuk hibbah.”
Secara tegas di dalam ibarat di atas disampaikan persamaan ketiga akad shadaqah, hibah dan hadiah, adalah ketiadaan harapan berupa “ganti” pemberian dari pihak lain. Adapun muqtadla al-aqdi dari ketiganya dibedakan dari semata mengharap fahala, bina kerukunan, dan sekedar pemberian.
Gift berupa Sticker pada Aplikasi Digiital
Gift sering diterjemahkan sebaggai hadiah. Kendati hadiah itu berupa sticker, namun, karena keberadaan sticker pada aplikasi tertentu (misl Tik Tok dan Snack Video), adalah bisa dijadikan harta berupa koin dan uang dengan jalan menukarkannya, maka sticker itu masuk rumpun ma fi al-dzimmah sebab sifatnya yang bisa ditukar dengan uang (dirupiahkan). Imam Syafii radliyallahu ‘anh sebagaimana dinukil oleh Syeikh Jalaluddin al-Suyuthy di dalam Kitabnya al-Asybah wa al-Nadhair, halaman 327 menegaskan:
لا يقع اسم مال إلا على ما له قيمة يباع بها وتلزم متلفه وإن قلت وما لا يطرحه الناس, مثل الفلس وما أشبه ذلك انتهى
“Tidak bisa dikategorikan sebagai harta kecuali barang tersebut memiliki harga jual, dan pihak yang merusakkan harus mengganti rugi meskipun harta itu sedikit kadarnya, atau harta itu terdiri atas sesuatu yang dianggap remeh dalam pandangan manusia, seumpama koin (fulus) dan sejenisnya.”
Terkait dengan pengertian dzimmah, di dalam al-mausu’ah al-fiqhiyyah, Juz 7 halaman 102, dijelaskan:
الذمة معناها في اللغة : العهد والضمان والأمان . وأما في الاصطلاح فإنها : وصف يصير الشخص به أهلا للإلزام والالتزام
“Dzimmah itu maknanya adalah janji, ganti rugi, dan kepercayaan. Secara istilah, dzimmah bermakna suatu karakteristik yang menjadikan seseorang sebagai ahli yang memiliki keterkaitan langsung dengan pihak lainnya atau diminta untuk menanggung pihak lain karena relasi sebab akibat.”
Dengan mencermati akan hal ini, maka bisanya sticker tersebut ditukarkan, dan sifat terjaminnya untuk bisa ditukarkan melalui prosedur tertentu, menandakan bahwa sticker itu termasuk ma fi al-dzimmah. Alhasil, ia sah sebagai harta.
Selanjutnya, relasi antara ma fi al-dzimmah dengan gift, untuk bisanya disebut sebagai hadiah, adalah bilamana tanpa disertai dengan kewajiban pemberian ganti (‘iwadl). Pola semacam ini bisa temukan pada pemberian gift poin Telkomsel kepada pihak lain.
Masalahnya, adalah aplikasi semacam Tik Tok dan Snack Video, memberikan sticker dengan atas nama gift (hadiah), adalah dalam rangka:
- gift diberikan sebagai bentuk apresiasi terhadap video yang dibuat oleh content creator.
- gift diberikan diiringi dengan adanya ikatan harus memfollow (mengikuti) akun tertentu
- gift diberikan disertai dengan harapan bisa mendapatkan imbalan lain
Bagaimanapun juga, karena giift diberikan seiring adanya misi menonton video, maka secara tidak langsung gift itu bukan lagi berstatus sebagai hadiah, melainkan upah (ujrah) kepada content creator. Alasannya, sebab “tontonan” adalah merupakan “manfaatnya” aset, yaitu video. Jika karena menonton video, lantas disertai dengan tindakan pemberian sesuatu kepada pembuat video, maka sesuatu yang diberikan itu pada dasarnya adalah ujrah. Alhasil, gift sudah menyimpang dari makna dasarnya.
Demikian halnya,, ketika gift itu diberikan kepada pihak lain karena disertai keharusan tindakan memfollow akun lain guna mendapatkan penghasilan yang lebih, maka gift itu pada dasarnya berstatus sebagai utang yang diserahkan kepada pihak pemilik akun, dan penunaian utang ditanggung oleh pihak perusahaan.
Jika jumlah uang yang diterima user itu besarannya adalah sama dengan gift yang diberikan user ke pemilik akun yang diikutinya, maka terjadi akad hiwalah shahihah (pengalihan utang yang benar).
Akan tetapi, jika uang yang diterima user melebihi besaran gift yang diserahkan ke pemilik akun, maka tak urung telah terjadi akad bai’ dain bi al-dain yang dilarang, sehingga haram.
Keharaman ini pada dasarnya adalah disebabkan karena memenuhi illat riba qardly atau juga akad riba al-fadli. Alasan lainnya, adalah tindakan memfollow itu tidak memenuhi kriteria sebagai obyek kerja. Alhasil, penyerahan gift, semata-mata adalah berubah statusnya menjadi akad utangipiutang.
Kesimpulan
Gift yang disertai dengan adanya harapan kembalian berupa pendapatan yang meningkat, adanya relasi dengan tugas menonton video, adanya relasi dengan tuntutan agar mendapatkan penghasilan yang lebih, pada dasarnya gift itu tidak bisa disebut sebagai hadiah.
Gift yang ada kaitannya dengan menonton video, maka disebut istilah ujrah. Giift yang ada kaitannya dengan kembalian berupa pendapatan, pada hakikatnya adalah utang piutang.
Kelebihan pendapatan yang dihasilkan dari aktifiitas yang tidak memenuhi syarat kerja dan investasi, merupakan buah dari akad utang-piutang (dain),, sehingga termasuk riba qardli. Hukumnya, haram, haram,, dan haram. Wallahu a’lam bi al-shawab
Muhammad Syamsudin
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.