KODE ETIK KEDOKTERAN DAN ETIKA PERESEPAN
Tidak dipungkiri bahwa dokter adalah sebuah profesi. Selaku salah satu unit bidang profesi, maka dokter memiliki seperangkat panduan hukum atau petunjuk teknis yang menjadi dasar atau landasan gerak untuk melakukan profesinya secara profesional. Perangkat ini kemudian dikemas dalam wadah Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Di Indonesia, KODEKI yang diikuti saat ini adalah KODEKI Tahun 2012. Adapun himpunan yang mewadahi dan memayungi secara hukum profesi kedokteran saat ini adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Berdasarkan naskah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan KODEKI yang diterbitkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Tahun 2012, ada beberapa sajian menarik mengenai norma dan etika yang hendaknya dipegangi oleh profesi kedokteran. Karena tema kita adalah membahas mengenai fikih etika kedokteran dan sales produk farmasi, maka dalam kesempatan ini, hal yang akan dijadikan obyek pendataan oleh penulis berdasar KODEKi adalah hal-hal yang berkaitan dengan hak kebebasan profesi dokter dalam melakukan penanganan dan peresepan kepada pasien.
Terkait dengan hak otonomi seorang dokter dalam melakukan diagnosa dan penanganan penyakit pasien, disampaikan dalam Pasal 3 KODEKI 2001 yang menyebutkan bahwa: “Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.”
Di dalam aturan penjelas mengenai wilayah cakupan dari Pasal 3 KODEKI 2012, disampaikan bahwa “setiap dokter memiliki moral dan tanggung jawab untuk mencegah keinginan pasien atau pihak manapun yang sengaja atau tidak sengaja bermaksud menyimpangi atau melanggar hukum dan/atau etika melalui praktek/pekerjaan kedokteran.”
Baca juga:
Syarat dan Rukun Jual Beli
Obyek Barang yang bisa dijualbelikan dalam Islam
Jual Beli Kontan, Tempo, Kredit dan salam
Yang paling menarik dalam aturan penjelas dari Pasal 3 KODEKI 2012 ini adalah disampaikan bahwa “setiap dokter dilarang melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.” Contoh tindakan yang dipandang sebagai dapat menghilangkan kebebasan dan kemandirian profesi dokter ini adalah:
“……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
- memberikan obat, alat/produk kesehatan, anjuran/nasehat atau tindakan kedokteran, prototipe/cara/perangkat/sistem manajemen klinis pelayanan langsung pasien dan/atau penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan/kiat kedokteran yang belum berdasarkan bukti ilmiah (evidence) dan/atau diakui di bidang kedokteran yang mengakibatkan hilangnya integritas moral dan keilmuannya
- membuat ikatan atau menerima imbalan berasal dari perusahaan farmasi/obat/vaksin/makanan/suplemen/alat kesehatan/alat kedokteran/bahan/ produk atau jasa kesehatan/terkait kesehatan dan/atau berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan apapun dan darimanapun dan/atau berasal dari pengusaha, perorangan atau badan lain yang akan menghilangkan kepercayaan publik/masyarakat terhadap dan menurunkan martabat profesi kedokteran
- melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung dalam segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk mempromosikan atau mengiklankan dirinya, barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud Pasal 3, Cakupan pasal butir 1 dan 2 di atas guna kepentingan dan keuntungan pribadinya, sejawat/pihak lain kelompoknya
- melakukan upaya diagnostik, pengobatan atau tindakan medis apapun pada pasien secara menyimpang dan atau tanpa indikasi medik yang mengakibatkan turunnya martabat profesi kedokteran dan kemungkinan terganggunya keselamatan pasien
- menerima pemberian imbalan jasa apapun untuk pengiriman/rujukan pasien ke dokter atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, di dalam maupun di luar negeri”
Baca Juga:
Transaksi Murabahah adalah Transaksi yang Istimewa – El-Samsi (elsamsi.my.id)
Selanjutnya, pada Butir (3) aturan pelaksanaan dari Pasal 3 KODEKI 2012 itu disampaikan bahwa:
“(3) Dokter sebagai perseorangan praktisi wajib menolak pemberian segala bentuk apapun bila dikaitkan atau patut diduga dikaitkan dengan kapasitas profesionalnya dalam meresepkan obat/alat/produk/barang industri kesehatan tertentu dan anjuran penggunaan jasa kesehatan tertentu, termasuk berniat mempengaruhi kehendak pasien/keluarganya untuk membeli atau mengkonsumsi obat/alat/produk/barang/jasa tertentu karena ia telah menerima atau dijanjikan akan menerima komisi/keuntungan dari perusahaan farmasi/alat/produk/jasa kesehatan tersebut.” (Baca Juga: Cara mengambil Keuntungan Niaga (Murabahah) dalam Islam)
Bagaimana bila ada seorang dokter yang mencari sambilan kerja dan berhubungan dengan suatu produk? Butir (4) aturan penjelasan Pasal 3 KODEKI 2012 menyebutkan:
“(4) Dokter yang bekerja penuh dan/atau paruh waktu untuk industri farmasi/alat/produk kesehatan dan/atau barang/produk terkait lainnya wajib menjelaskan posisi/status pekerjaannya bila ia memberi ceramah atau informasi tentang atau berkaitan dengan barang/produk tersebut kepada dokter atau masyarakat awam. Demikian pula setiap dokter pada fasilitas pelayanan kesehatan untuk jasa pelayanan.”
Etika kedokteran ketika menghadiri temu ilmiah atas peran sponsorship produk farmasi tertentu diatur dalam Butir (5), (6) dan (7), sebagai berikut:
(5) Dalam kehadirannya pada temu ilmiah, setiap dokter dilarang mengikatkan diri untuk mempromosikan/meresepkan barang/produk dan jasa tertentu, apapun bentuk bantuan sponsorshipnya.
(6) Dokter dapat menerima bantuan dari pihak sponsor untuk keperluan keikutsertaan dalam temu ilmiah mencakup pendaftaran, akomodasi dan transportasi sewajarnya sesuai kode etik masing-masing.
(7) Dokter dilarang menyalahgunakan hubungan profesionalnya dengan/terhadap pasien dan/atau keluarganya demi keuntungan pribadi dan dilarang melibatkan diri dalam kolusi, kong kalikong, berbagi imbalan/komisi/diskon, termasuk pola pemasaran beragam jenjang (multi-level marketing)dan penarikan imbalan jasa secara paket yang dibayarkan di muka.”
Baca Juga:
Cara mengambil Keuntungan Niaga (Murabahah) dalam Islam
Macam-macam Pembagian Jual Beli – El-Samsi (elsamsi.my.id)
Jual Beli Muthlaq, Barter, Lelang dan Sharf – El-Samsi (elsamsi.my.id)
Selanjutnya, pada butir 11 dan 12 disampaikan perihal sponsor:
“(11) Pemberian sponsor kepada seorang dokter haruslah dibatasi pada kewajaran dan dinyatakan jelas tujuan, jenis, waktu dan tempat kegiatan ilmiah tersebut serta kejelasan peruntukan pemberian dimaksud dan secara berkala dilaporkan kepada pimpinan organisasi profesi setempat untuk diteruskan ke pimpinan nasional Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
(12) Setiap dokter dilarang menerima pembayaran untuk kompensasi praktek atau biaya tambahan lainnya sehubungan dengan partisipasinya dalam temu ilmiah.”
ETIKA RELASI FINANSIAL DOKTER TERHADAP PERUSAHAAN FARMASI
Bagaimanapun juga, relasi antara dokter dengan industri farmasi serta produsen alat kesehatan merupakan dua buah relasi yang sulit untuk dipisahkan. Oleh karenanya, dalam bagian penjelasan Pasal 3 KODEKI juga turut disinggung masalah tersebut, sebagai berikut:
“Walaupun hubungan antara dokter dengan industri farmasi atau alat kesehatan dan pelbagai jasa ikutannya sudah dirasakan tak dapat dipisahkan, namun hubungan yang menyimpangi kode etik kedua pihak harus diakhiri, karena ibarat lereng yang licin (the slippery slope), dokter tergelincir menjadi pedagang yang menganggap sah komisi,diskon dll, padahal itu semua pasti memberatkan pasien/keluarganya yang tengah menderita atau pihak ketiga yang menanggungnya. Dokter memiliki kekuasaan besar untuk menentukan pilihan produk/barang/jasa tersebut, sehingga sepantasnya etika kedokteranlah yang menjadi rem kekuasaan ini. Pada diri dokter terlebih dahulu muncul tanggung jawab daripada kebebasannya. Uraian tersebut menggambarkan bahwa pasal ini merupakan salah satu ciri profesi luhur.”
(Baca Juga : Jebakan Eksklusi Kuasa Pemodal terhadap Lahan: “Maju Kena, Mundur Kena” – El-Samsi (elsamsi.my.id))
Bagaimana mewujudkan rem tersebut berdasarkan kode etik kedokteran?
Dalam hal ini Butir 16, 17, dan 18 dari Pasal 3 KODEKI 2012, disampaikan bahwa:
“16) Setiap dokter yang memiliki kepentingan finansial terhadap suatu institusi/perusahaan/badan usaha seharusnya bertindak patut, teliti dan hati-hati agar jangan sampai mempengaruhi dirinya dalam menangani pasien.
(17) Setiap Dokter seyogyanya tidakmenarik honorarium sejumlah yang tidak pantas dan bertentangan dengan rasa perikemanusiaan.
(18) Setiap Dokter wajib mengkomunikasikan secara jujur honorarium dan/atau jasa mediknya kepada pasien agar tidak terjadi aduan menerapkan honorarium di luar kemampuan pasien atau keluarganya.”
Kesimpulan dari penjabaran Pasal 3 ini, adalah berdasarkan KODEKI 2012, seorang dokter pada dasarnya tetap dibolehkan untuk menjalin relasi dengan sejumlah perusahaan farmasi dan menerima komisi dari perusahaan tersebut. Hanya saja, praktek relasi tersebut diberikan rambu-rambu kendalinya, yaitu:
- seorang dokter hendaknya memunculkan terlebih dulu rasa tanggung jawab dibanding kebebasannya dalam memberikan referensi peresepan atau tindakan medis.
- Tidak sampai mempengaruhi tugas pokoknya dalam menangani pasien dengan tolok ukur berupa tidak menarik honorarium yang tidak pantas dan bertentangan dengan rasa perikemanusiaan
- Menjaga agar tidak sampai terjadi aduan keberatan pasien disebabkan tidak mampu menebas honor jasa perawatan oleh dokter
Perlu diketahui bahwa berkaitan dengan etika peresepan dan nilai kebebasan dokter selaku kunci utama pengambil keputusan penanganan dan peresepan, adalah secara tegas diatur dalam Pasal 7 KODEKI 2012. Di dalam Pasal 7 disebutkan bahwa “Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.” Alhasil, prinsip kebebasan dokter dalam penanganan merupakan kunci utama pintu masuknya relasi antara dokter dan perusahaan farmasi. (Bersambung)
Baca Juga:
Bedah Fikih Etika Kedokteran dan Sales Produk Farmasi (Bag. 1) – El-Samsi (elsamsi.my.id)
Bedah Fikih Etika Kedokteran dan Sales Produk Farmasi (Bag. 2) – El-Samsi (elsamsi.my.id)
Bedah Fikih Etika Kedokteran dan Sales Produk Farmasi (Bag. 3) – El-Samsi (elsamsi.my.id)
1 Comment
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.