Beredar kabar mengenai penjualan daging ayam hasil pengembangiakan laboratorium di Singapura. Penjualan ini dilakukan oleh sebuah perusahaan Start Up (industri kreatif) asal Amerika Serikat dengan brand Eat Just. Jika ditelusuri, nampaknya hal ini sudah dimulai sejak Desember 2020 yang lalu.
Menariknya realita ini, bagi warga muslim, khususnya di Indonesia, adalah karena syarat daging yang halal dikonsumsi oleh masyarakat muslim adalah apabila daging itu diperoleh dari hewan halal yang melalui proses penyembelihan. Sementara itu, berdasarkan realita di atas, daging itu diperoleh melalui peran bioteknologi, yaitu kultur jaringan. Nah, bagaimanakah dialektika fikih itu bisa kita kembangkan dalam forum ini. Berikut adalah hasil pengkajian Tim eL-Samsi.
Pertama, Fakta Bioteknologi Kultur Jaringan
Dunia biologi dan kedokteran, memang sudah sejak lama mengembangkan sebuah teknologi kehidupan, yang kemudian dikenal dengan istilah bioteknologi. Salah satu bagian dari bioteknologi ini adalah teknologi budidaya jaringan / kultur jaringan (tissue culture). Teknologi ini memiliki dasar landasan teori, bahwa :
- Semua sel makhluk hidup itu pada dasarnya memiliki sebuah potensi untuk hidup (totipotensi) dan menjadi individu baru. Teori ini berangkat dari sebuah pengamatan tanaman cocor bebek yang mana bila sebuah daun tanaman tersebut ditaruh pada tanah, maka dalam beberapa hari, daun itu akan muncul bibit tanaman baru yang bisa dipisahkan dan ditanam di media yang baru.
- Intinya, bahwa agar bisa hidup, maka sel itu harus berada pada sebuah “lingkungan yang optimal” dan sesuai dengan tingkatan serta kebutuhannya
- Ilmu pengetahuan bertanggung jawab dalam menyediakan dan menciptakan media yang bisa mendukung optimalnya lingkungan tersebut
Berangkat dari berbagai percobaan dan pengujian, kemudian ditemukan banyak media yang bisa digunakan untuk mendukung teknik budidaya jaringan tersebut. Salah satunya adalah media “agar”. Apa itu agar? Agar merupakan sebuah media yang tercipta dalam bentuk padatan dan berisi nutrient agar. Terkadang, media ini dicampur dengan menggunakan kaldu yang berisi nutrisi-nutrisi tertentu.
Dalam kultur mikroorganisme, cara melakukan kultur ini, adalah dilakukan dengan jalan menyiapkan media agar dan kaldu nutrisi tersebut dalam sebuah cawan/piring yang kemudian di atasnya ditaruh mikroorganisme yang hendak dikembangbiakkan dan untuk diteliti.
Kultur jaringan yang terdiri dari bahan tumbuhan juga sudah sering dikembangkan di antaranya untuk mempercepat ketersediaan bibit tanaman, seiring permintaan pasar akan ketersediaan hasil tanaman tersebut. Misalnya, adalah pisang.
Kultur jaringan pada dunia kedokteran sudah lama dilakukan dengan memanfaatkan teknologi stem cell. Semua ini adalah bagian dari bioteknologi.
Permasalahannya, sekarang adalah teknologi itu digunakan dan diaplikasikan pada sebuah daging. Tujuannya, menjawab tantangan kebutuhan stock daging di pasaran, khususnya dengan kualitas daging yang memenuhi standart kesehatan, yaitu: tidak berasal dari ternak yang dikembangbiakkan dengan bahan kimia.
Cara yang dilakukan juga kurang lebih sama dengan teknik kultur jaringan yang lain. Pertanyaannya, dari sisi etika dan syara’, adalah apakah daging hasil kultur jaringan itu termasuk yang halal dikonsumsi oleh individu muslim bilamana diketahui bahwa kultur jaringan sel hewan tersebut diperoleh dari hewan yang halal? Inilah yang menarik untuk dijawab dan dipecahkan permasalahannya.
Kedua, Ketentuan Mengenai Kehalalan Daging yang boleh dikonsumsi secara Syara
Secara tegas, Allah SWT telah melarang beberapa jenis hewan untuk dikonsumsi, sebagaimana termaktub dalam dalil dhahir Q.S. Al-Maidah [5] ayat 3. Beberapa kriteria itu, meliputi: bangkai, darah, daging babi, binatang persembahan kepada selain Allah, binatang tercekik, terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam oleh binatang buas yang tidak sempat disembelih, dan hewan yang dipersembahkan untuk berhala.
Beberapa ketentuan lain terkait dengan hewan yang haram dikonsumsi, pernah penulis uraikan dalam tulisan yang berjudul kriteria hewan haram dalam Islam. Untuk keterangan lebih lanjut, pembaca merujuk ke link tersebut.
Bagaimana secara fikih?
Para ulama sepakat bahwa hewan yang haram, tidak hanya haram dari sisi dzatiyahnya, melainkan juga anak-anak atau keturunannya, dan bahkan hasil persilangannya (cross breeding). Untuk itu, apabila suatu saat ada babi yang bisa disilangkan dengan kambing, maka anak kambing itu adalah haram, disebabkan karena menjadi bagian dari keturunan hasil persilangan dengan binatang yang diharamkan secara nash. Demikiian halnya dengan anjing, dan hewan sejenisnya, adalah termasuk juga haram.
Imam Syihabuddin al-Syairazy menjelaskan secara sekilas sebagai berikut:
والكلب والخنزير وما ولد منهما وما تولد من أحدهما
“Anjing, babi, dan segala sesuatu yang terlahir dari keduanya, atau lahir dari salah satu dari keduanya…”
Imam Nawawi menukil pendapat Imam Al-Mutawalli ketika menyampaikan syarah mengenai apa yang dimaksudkan oleh Syeikh Syihabuddin al-Syairazy di atas, melalui pernyataan beliau sebagai berikut:
فَقَالَ الْمُتَوَلِّي حَدُّهَا كُلُّ عَيْنٍ حَرُمَ تَنَاوُلُهَا عَلَى الْإِطْلَاقِ مَعَ إمْكَانِ التَّنَاوُلِ
“Imam al-Mutawalli menyampaikan bahwa batasan (najasah) adalah segala sesuatu yang haram untuk dikonsumsi secara mutlak bersama kemuungkinan bisanya dikonsumsi.” (al-Majmu’)
Mafhum dari ibarat ini adalah babi, anjing, itu adalah dua jenis binatang yang secara mutlak diharamkan oleh nash. Oleh karenanya, segala sesuatu yang lahir dari keduanya, baik itu berupa barang atau benda, atau seonggok daging yang memungkinkan untuk bisa diraih dan dipegang lalu dikonsumsi, maka daging itu adalah haram dan sekaligus najis secara mutlak.
Pertanyaannya, bagaimana bila daging itu berasal dari hewan yang bisa dikonsumsi?
Hewan yang secara tegas dinyatakan sebagai halal bangkainya adalah ikan dan belalang. Alhasil, segala yang lahir dari keduanya adalah termasuk yang halal untuk dikonsumsi.
Selain itu, hewan yang secara tegas dibolehkan untuk dikonsumsi dalam syariat, adalah hewan dari golongan tertentu, yang tidak masuk bertaring, buas. Misalnya, kambing, sapi, kerbau, ayam. Seluruhnya adalah kelompok hewan yang bisa dikonsumsi.
Ada catatan menarik dari kelompok hewan terakhir ini, yaitu ketika hewan yang disembelih tersebut memiliki anak yang sedang dikandung. Maka, ada ketentuan sebagai berikut:
Menurut Madzhab Hanafi
Menurut madzhab Hanafi, hewan yang keluar dari kandungan induknya tetap mengharuskan disembelih, sehingga haram bila tidak disembelih.
مَذْهَبُنَا أَنَّ الْحَيَوَانَ الْمَأْكُولَ إذَا ذُكِّيَ فَخَرَجَ مِنْ جَوْفِهِ جَنِينٌ مَيِّتٌ حَلَّ وَبِهِ قَالَ الْعُلَمَاءُ كَافَّةً مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الامصار إلا أبا حنيفة وزفر فقال لَا يَحِلُّ حَتَّى يَخْرُجَ حَيًّا فَيُذَكَّى
Menurut pendapat kami (Imam Nawawi), sesungguhnya hayawan yang bisa dimakan, ketika disembelih, kemudian keluar dari perutnya sebuah janin yang mati, maka hukum janin itu adalah halal. Pendapat ini dipedomani oleh mayoritas ulama, mulai dari kalangan shahabat, tabiin dan para imam setelahnya dari kalangan ulama amshar, kecuali Imam Abu Hanifah dan Zafar. Beliau berpendapat: “Janin itu tidak halal sehingga keluar dalam kondisi hidup, lalu disembelih.” (Majmu’)
Adapun illat yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hanifah, adalah sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Mundzir sebagai berikut:
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ كَانَ النَّاسُ عَلَى إبَاحَتِهِ لَا نَعْلَمُ أَحَدًا خَالَفَ مَا قَالُوهُ إلَى أَنْ جَاءَ أَبُو حَنِيفَةَ فَحَرَّمَهُ وَقَالَ ذَكَاةُ نَفْسٍ لَا تَكُونُ ذَكَاةَ نَفْسَيْنِ
“Ibnu Mundzir menyampaikan mengenai sikap para ulama terhadap hukumnya janin ini. Menurutnya, sama sekali tidak dijumpai adanya pihak yang berpandangan lain mengenai kebolehannya, sampai kemudian datang Imam Abu Hanifah yang mengharamkannya. Beliau Sang Imam menyampaikan: “Tidak ada istilah satu sembelihan untuk dua nyawa sekaligus.”
Alhasil, menurut Madzhab Hanafi, hukum janin yang mati sebelum disembelih, hukumnya adalah haram. Adapun induknya yang sempat disembelih, maka hukumnya adalah halal.
Menurut Madzhab Maliki
Menurut Madzhab ini, sembelihannya janin, ada catatan tertentu, yaitu sebagai berikut:
وَقَالَ مالك من خَرَجَ مَيِّتًا تَامَّ الْخَلْقِ وَتَمَّ شَعْرُهُ فَحَلَالٌ بِذَكَاةِ الْأُمِّ وَإِنْ لَمْ يُتِمَّ وَلَمْ يَنْبُتْ شَعْرُهُ فَحَرَامٌ
“Imam Malik berpendapat selaku pihak yang mengecualikan, yaitu bila janin tersebut keluar dalam kondisi mati, namun bentuknya sudah sempurna dan utuh seperti makhluk, sempuurna bulunya, maka hukumnya adalah halal dengan mengikuti hukum sembelihan induknya. Adapun bila kondisi janin tersebut belum sempurna, dan belum tumbuh rambutnya, maka hukumnya haram.”
Alhasil, menurut Madzhab Maliki, hukum janin yang mati dalam kondisi tidak sempurna sebagai bentuk binatang, maka hukumnya adalah haram. Janin yang halal dan mengikuti hukum sembelihan induknya, adalah janin yang bersifat sudah lengkap kejadiannya (sempurna bentuk fisiknya sebagai hewan).
Menurut Madzhab Syafii
Kalangan Ulama dari Madzhab Syafii berpendapat kebolehannya mengkonsumsi janin yang mati dalam kandungan induk yang disembelih secara mutlak, dan diqiyaskan dengan hukum hewan buruan (shaid).
وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ مِنْ الْحَدِيثِ وَالْقِيَاسُ عَلَى الصَّيْدِ قَالَ الْخَطَّابِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَهَذَا الْمَنْقُولُ عَنْ رِوَايَةِ أَبِي دَاوُد الْمَذْكُورَةِ فِي الْكِتَابِ صَرِيحٌ فِي الدَّلَالَةِ لِمَذْهَبِنَا وَمُبْطِلٌ لِتَأْوِيلِهِمْ الْمَذْكُورِ وَلِأَنَّ حَقِيقَةَ الْجَنِينِ مَا كَانَ فِي الْبَطْنِ وَذَبْحُهُ فِي الْبَطْنِ لَا يُمْكِنُ فَعُلِمَ أَنَّهُ لَيْسَ الْمُرَادُ أَنَّهُ يُذَكَّى كَذَكَاةِ أُمِّهِ بَلْ ذَكَاةُ أُمِّهِ كَافِيَةٌ فِي حِلِّهِ وَمِمَّا يُؤَيِّدُ هَذَا أَنَّ فِي رِوَايَةِ الْبَيْهَقِيّ (ذَكَاةُ الْجَنِينِ فِي ذَكَاةِ أُمِّهِ) وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ أَيْضًا (ذَكَاةُ الْجَنِينِ بِذَكَاةِ أُمِّهِ) وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ الْمُرَادُ مَا قَالُوهُ لَمْ يَكُنْ لِلْجَنِينِ مَزِيَّةٌ وَلِأَنَّهُ يَتْبَعُهَا فِي الْعِتْقِ فيتبعها في الذكاة كالاعضاء
“Para ashabu kita berhujjah kebolehan itu dengan hadits yang disampaikan oleh mushannif, lalu mengqiyaskannya dengan hewan buruan. Demikianlah komentar dari Imam al-Khathabi dan para ashabu al-Syafii. Hukum ini dinukil dengan sumber dari hadits riwayat Abi Dawud yang menyebutkan di dalam Kitab tersebut secara sharih adanya beberapa petunjuk bagi madhab kita dan sekaligus membatalkan semua bentuk penakwilan dari pendapat yang sudah disebutkan sebelumnya. Karena sesungguhnya hakikatnya janin itu adalah sesuatu yang terdapat di dalam perut. Menyembelih sesuatu yang ada di dalam perut, adalah tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, maka menjadi maklum, bahwa sesungguhnya yang dimaksud oleh hadits tersebut, adalah hukum sembelihan janin itu mengikuti sembelihan induknya. Bahkan, dalam hal ini sembelihan induknya saja itu sudah mencukupi bagi kehalalannya. Hadits lain yang menjadi penguat dari hukum ini adalah hadits riwayat Imam Baihaqy yang menyatakan “Sembelihan janin adalah dicakup oleh sembelihan induk.” Dalam riwayat yang lain disebutkan : “Hukum sembelihan janin, adalah dengan sembelihan induknya.” Berdasarkan hal ini, maka seandainya hukum janin ini diikutkan pada madzhab Hanafi dan Maliki, maka sudah barang tentu tidak perlu ada penekanan khusus pada sembelihan janin sebagaimana dalam hadits. Sebagaimana hal itu juga berlaku, bahwa merdekanya anak dalam kandungan perempuan amat adalah mengikuti merdekanya ibunya. Walhasil, sembelihan janin, adalah mengikut sembelihan induknya, termasuk di antaranya adalah hukum anggota badannya janin.”
Adapun terkait dengan diqiyaskannya terhadap hewan buruan, maka kalangan ulama dari Madzhab Syafii berpendapat sebagai berikut:
(إذا أثبت صيدا بالرمي أو بالكلب فازال امتناعه ملكه لانه حبسه بفعله فملكه كما لو أمسكه بيده فان رماه اثنان واحد بعد واحد فهو لمن اثبته منهما فان ادعى كل واحد منهما انه هو الذي سبق وأزال امتناعه وان الآخر رماه فقتله فعليه الضمان لم يحل أكله لانهما اتفقا على أنه قتل بعد امكان ذبحه فلم يحل ويتحالفان فإذا حلف برئ كل واحد منهما مما يدعي الآخر وان اتفقا على ان أحدهما هو السابق غيران السابق ادعى انه هو الذى أثبته بسهمه وادعى الآخر أنه بقى على الامتناع إلى ان رماه هو فالقول قول الثاني لان الاصل بقاؤه على الامتناع وان كان الصيد مما يمتنع بالرجل والجناح كالقبح والقطا فرماه احدهما فاصاب الرجل ثم رماه الآخر فاصاب الجناح ففيه وجهان (احدهما) أنه يكون بينهما لانه زال الامتناع بفعلهما فتساويا
Mafhum dari mengqiyaskan sembelihan janin ini dengan berburu (shaid), adalah bahwasanya bila seseorang memanah atau melepaskan anjing hewan buruannya, kemudian anjing itu berhasil menangkap hewan buruan, atau panahnya mengenai satu hewan buruan, lalu hewan buruan itu masih memungkinkan untuk disembelih sehingga wajib disembelih, namun tiba-tiba ada pemanah lain yang memanah hewan yang sudah terpanah oleh hewan tersebut, atau ada anjing milik orang lain ikut berebut hewan yang sudah ditangkap oleh anjing milik orang pertama, sehingga mengakibatkan hewan buruan itu tidak bisa disembelih, maka hukum hewan itu menjadi haram untuk dikonsumsi. Pihak kedua yang memanah ulang, atau pemilik anjing kedua yang turut berebut menangkap hhewan buruan, sehingga mengakibatkan tidak bisanya disembelih, menjadi wajib mengganti rugi atas hewan buruan itu.
Alhasil, dengan mendasarkan pada keterangan ini, maka wajah qiyasnya adalah:
- Status janin adalah diserupakan sebagai yang sama derajatnya dengan hewan buruan yang berhasil ditangkap oleh hewan pertama milik pemburu pertama.
- Keluarnya janin dalam kondisi mati, diserupakan dengan kehalalan hewan buruan yang berhasil ditangkap oleh hewan pemburu pertama, ketika kondisi hewan menjadi tidak memungkinkan untuk disembelih lagi.
- Ketika janin keluar dalam kondisi hidup, namun tidak segera disembelih sehingga mati, diserupakan dengan keharaman hewan buruan yang berhasil ditangkap oleh hewan pemburu pertama dan diserahkan kepada pemiliknya dalam kondisi masih memungkinkan untuk disembelih namun tidak segera disembelih sehingga mati.
Alhasil, berdasar Madzhab Syafii, hukum janin sembelihan itu diperinci, antara lain:
- Jika kondisi janin keluar dalam kondisi mati, maka hukumnya adalah halal dan sembelihannya mengikuti sembelihan induknya
- Jika kondisi janin keluar dalam kondisi hidup, dan mati karena tidak segera disembelih, maka hukum janin adalah haram disebabkan ia dipandang sebagai individu tersendiri dan ia mati karena tidak disembelih
Ketiga, Hukum Daging Hasil Kultur Jaringan
Daging hasil kultur jaringan, merupakan daging yang tumbuh dari sebuah pola pengembiakan sel jaringan yang diambil dari tubuh hewan. Sudah barang tentu, hasilnya tidak sebagaimana kultur jaringan dengan obyek berupa tumbuhan yang bisa menghasilkan individu baru.
Hasil akhir dari daging kultur jaringan tersebut ada dalam bentuk seonggok daging yang tidak memiliki nyawa yang bersifat mustaqirrah. Nyawa yang berlaku atas daging tersebut adalah termasuk jenis nyawa madzbuh, yaitu nyawa hewan yang menyerupai hewan yang sudah disembelih.
Sebagai daging yang memiliki nyawa madzbuh, maka dalam pandangan kami bersama dengan Tim kajian eL-Samsi, status daging itu mengikut pada hukum daging dari induk pertama ia diperoleh. Jika diperoleh dari hewan haram dan tidak disembelih, maka hukumnya haram secara mutlak.
Adapun, jika sel yang dikultur itu berasal dari hewan yang sudah disembelih, dan hewan tersebut merupakan hewan yang halal, maka status hukum daging hasil kultur jaringan tersebut, bisa diperinci sebagai berikut:
- Menurut Madzhab Hanafi, hukum daging hasil kultur jaringan tersebut adalah haram secara mutlak. Illatnya, adalah tidak ada sembelihan untuk 2 nyawa. Nyawa pertama, adalah nyawa binatang induk (asalnya sel itu diambil). Nyawa kedua, adalah daging yang dikultur tersebut merupakan daging yang lahir dan baru hasil perkembangan dari sel, sehingga kedudukannya menyerupai janin.
- Menurut Madhab Maliki, hukumnya daging hasil kultur tersebut adalah haram secara mutlak. Alasannya, karena daging tersebut tidak berbentuk hewan yang sempurna dalam kejadiannya
- Menurut Madzhab Syafii, hukum daging tersebut adalah halal, diqiyaskan terhadap janin yang mati dalam kandungan, dan terhadap hewan buruan yang mati karena tidak sempat disembelih.
Demikianlah hasil kajian awal kami dari Tim eL-Samsi. Adapun keputusan sepenuhnya terkait dengan hukum mengkonsumsi daging hasil kultur jaringan, disarankan bagi masyarakat agar mengikuti fatwa para ulama yang duduk di Lembaga Bahtsul Masail atau otoriitas pemberi fatwa yang legal. Wallahu a’lam bi al-shawab
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.