Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama telah mengeluarkan kebijakan pemangkasan biaya sertifikasi produk halal reguler. Maksud dari produk reguler ini adalah produk usaha mikro dan kecil (UMK), dari semula Rp 3 juta sampai dengan Rp 4 juta, berubah menjadi Rp 650.000.
Besar dugaan bahwa pemangkasan ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk memperbesar peluang ketersediaan produk-produk halal bagi masyarakat muslim Indonesia dan meningkatkan daya saingnya di pasaran.
Belakangan, karena pemangkasan ini maka muncul sejumlah asumsi bahwa MUI telah melakukan mark-up harga sertifikasi dan melakukan tindakan menguntungkan diri sendiri secara organisasi.
Bagaimana tanggapan penulis terhadap hal tersebut?
Pada dasarnya, membandingkan MUI selaku organisasi swadaya dengan BPJPH yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) adalah tidak appeal to appeal. Tidak imbang alias Jomplang. Seolah-olah sama dengan membandingkan antara biaya pendidikan di sekolah negeri dengan di sekolah swasta.
Umumnya, sekolah swasta adalah sekolah yang didirikan dan dibesarkan secara swadaya oleh masyarakat. Sebagian besar biaya operasionalnya tergantung pada orang tua dan sukarelawan. Gurunya digaji dari biaya syahriyah / iuran wali murid.
Lain halnya dengan sekolah negeri, yang biaya operasionalnya sebagian besar ditanggung oleh pemerintah. Gurunya juga digaji pemerintah.
Alhasil, membandingkan karakteristik pembiayaan antara kedua lembaga tersebut adalah tidak fair dan justru njomplang. Orang tua bilang: “Itu tidak elok, nak”.
Hal yang sama juga berlaku atas biaya sertifikasi produk. Secara kelembagaan, sangat tidak elok apabila membandingkan Kemenag dengan LPPOM MUI.
Harga Bahan Zat Kimia Uji Laboratorium
Sebagai salah satu orang yang pernah bersekolah dan menimba perkuliahan di jurusan Biologi, menarif biaya uji sertifikasi halal dengan besaran Rp 650 ribu itu adalah sebuah kejanggalan.
Di kisaran tahun 1997 sampai dengan 2001, penulis teramat sering berkutat di dunia laboratorium Biologi. Penulis juga sering mendapati banyaknya mahasiswa Biologi semester akhir melakukan serangkaian uji kandungan zat kimia suatu makanan dengan tarif dasar pengujian ada pada kisaran 500 ribu sampai dengan 1 juta rupiah.
Bayangkaan! Itu dijumpai oleh penulis di kisaran tahun 2001. Bagaimana dengan sekarang?
Sudah barang tentu, dengan tidak mengenyampingkan fakta perkembangan dunia ekonomi mikro dan makro di negeri kita, harga uji laboratorium dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk melakukan pengujian, sudah pasti tidak mungkin sama dengan harga di tahun itu.
Alhasil, dalam pertimbangan penulis, harga 650 ribu rupiah itu pengujiannya dengan model bagaimana? Alangkah tidak terbayangkan dalam benak penulis.
Atau jangan-jangan, pemerintah lewat BPJPH Kemenag hanya bermaksud membuletkan produsen produk dengan pengisian formulir administrasi saja. Tidak ada uji kandungan produk.
Bukankah yang dinamakan sertifikasi itu hanya untuk menerbitkan sertifikat? Lain-lainnya!? Ya keluar biaya lagi. Kalau polanya seperti ini, mengapa harus mengambil alih tugas LPPOM-MUI selama ini?
Muhammad Syamsudin
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur