Banyak member suatu entitas bisnis atau member aplikasi digital yang menolak sejumlah hasil kajian kami. Mereka ini merupakan member dari aplikasi atau bisnis yang teridentifikasi sebagai haram karena illat memakan harta orang lain secara batil.
Kuat dugaan bahwa entitas bisnis itu telah menjalankan money game, skema ponzi dan skema piramida yang diharamkan. Mereka acap mengatakan : “Aplikasi X itu benar telah membayar, kog. Saya termasuk orang yang riel mendapat keuntungan.”
Jadi, kata kuncinya adalah keuntungan. Mari kita kupas sejenak mengenai apa itu keuntungan?
Tujuan Orang berbisnis adalah mencari Keuntungan (Tarabbuh)
Memang benar bahwa tujuan utama seseorang melakukan bisnis adalah untuk mendapat keuntungan (tarabbuh). Itu fakta yang tidak bisa dipungkiri. Tidak ada orang berbisnis itu sengaja hendak merugi (khasarah).
“Jadi, jika ada orang berbisnis kog tergambar sebagai yang hendak melakukan khasarah (merugikan diri sendiri), maka ini adalah sebuah keanehan. Kita harus menaruh kecurigaan. Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan sistem bisnisnya. Apalagi bila hal itu giat dipromokan. Contoh mudah adalah warung cashback dot com.”
Demikian halnya, bila ada pihak yang menawarkan paket gotong royong dan tolong menolong, namun paket itu dikemas dalam suatu kelas-kelas, dan ada janji penghasilan di belakang hari yang lebih besar dalam waktu singkat, maka di situ alarm kewaspadaan kita juga serta merta harus dipasang. Sebab, ada keanehan dan ketidakberesan.
Kembali ke soal pencarian keuntungan dalam berbisnis, ini adalah sebuah kewajaran. Dan ini adalah bersifat manusiawi, seiring niaga merupakan satu paket yang dikuatkan dalam nash. Allah SWT berfirman: “Allah halalkan jual beli, dan Allah haramkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 275).
Karena ini adalah sebuah nash, maka dalam kaidah ushuliyah, maka ikhbar dari Allah SWT itu merupakan ancer-ancer utama pedoman berbisnis (dalil ashal). Dengan kata lain, bisnis itu harus mengikuti konsepsi jual beli. Tidak boleh dalam berbisnis itu mengikuti konsepsi riba.
Termasuk bagian dari rumpun (furu’) jual beli, adalah akad ijarah (sewa jasa). Demikian halnya dengan akad ju’alah (sayembara), akad qiradl (permodalan dasar), mudlarabah (bagi hasil permodalan), syirkah (kemitraan), istitsmary (investasi), dan lain sebagainya.
Tidak hanya berhenti pada akad-akad tersebut, bahkan akad musabaqah (perlombaan) dan munadlalah (adu keterampilan) pun pada dasarnya harus mengikuti konsepsi jual beli dan sewa menyewa (ijarah). Ketiadaan mengikuti paket ini, menjadikan musabaqah dan munadlalah menjadi sebuah ajang judi (maisir).
Lantas, bagaimana dengan Prinsip Keuntungan?
Untung yang dimaksud dalam syara’ dan berstatus halal, adalah untung yang diperoleh melalui akad jual beli dan rumpunnya. Jika, rumpunnya itu berbasis akad ijarah, maka untung itu disebut ujrah (upah). Jika rumpunnya itu berbasis akad permodalan, maka disebut harta bagi hasil investasi. Jika rumpunnya dari akad ju’alah (adu prestasi/sayembara) maka disebut ‘iwadl (komisi) atau ju’lu.
Dari semua rumpun ini, mensyaratkan adanya obyek yang bisa disetarakan dengan mabi’ (barang yang bisa dijualbelikan). Mabi’ pada akad ijarah disebut manfaat / kerja, yaitu kerjanya (manfaatnya) barang yang disewa. Ketiadaan barang yang bisa dimanfaatkan, maka akad ijarahnya batal. Uang penyewa harus balik lagi ke yang mempunyai.
Pada akad investasi (istitsmary), maka obyek yang disejajarkan dengan mabi’ adalah ruang investasi (tamwil / produktif). Ketiadaan ruang investasi (tamwil) menandakan tidak adanya kerja. Ketiadaan kerja, menandakan tidak adanya upah. Jadi, bila ada sebuah tawaran investasi namun tidak ada ruang kerja investasinya, maka investasi itu secara tegas merupakan investasi bodong, sehingga batal secara syara’. Uang investor wajib kembali kepada pemilik asalnya. Contoh pihak yang menerapkan praktik ini, secara tegas adalah Go Champion PT Jasa Usaha Bersama.
Hasil-hasil dari adanya praktik jual beli berupa selisih dari harga kulak dengan harga jual, itulah keuntungan (ribhun) yang sah secara syara’.
Keuntungan ini sifatnya harus bisa dipertanggungjawabkan. Maksudnya adalah bahwa harta yang dijual dan harta yang digunakan untuk membeli merupakan jenis yang wajib memenuhi kaidah harta. Ketiadaan keterpenuhan itu, menjadikan praktik jual belinya menjadi terlarang, sebab berubah menjadi bai’ fudluli (jual beli sesuatu yang belum ada di tangan).
Akad sewa jasa itu pun juga sama. Masing-masing rukun sewa menyewa harus terpenuhi. Siapa yang menyewa dan siapa yang harus membayar upah sewa, itu semua harus jelas. Tidak boleh dalam akad sewa kemudian terjadi peralihan tanggungan berupa pihak yang tidak memiliki ikatan relasi dengan penyewa kemudian menanggung upah / bayar sewa. Secara jelas, model semacam ini adalah termasuk jenis pengelabuan. Contoh termudah misalnya adalah pada aplikasi Vtube.
Kesimpulan
Bisnis memang syarat dengan keuntungan. Namun, untung dalam berbisnis tidak boleh melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh syara’. Siapa yang menyuruh, maka dialah yang membayar, ini adalah kaidah utama dalam hal pencarian keuntungan. Prinsip yang sama dengan hal ini, adalah siapa yang menyediakan pekerjaan, maka dialah yang membayar. Siapa yang membuat sayembara, maka dialah yang mengeluarkan ju’lu (komisi).
Alhasil, tidak boleh ada yang dinamakan keuntungan itu justru datangnya dari pihak yang disuruh. Uangnya diminta setor, kemudian dibagi-bagi ke atasan. Ini adalah bukan keuntungan, melainkan cara memakan harta orang lain secara batil. Syariat menentang praktik semacam ini dilakukan oleh pribadi muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta beriman kepada hari akhir. Mengapa? Karena harta yang diperoleh dari memakan harta orang lain lewat praktik yang tidak sah, adalah secara tegas merupakan yang haram. Demikian halnya dengan praktik riba. Nash-nash syariat secara tegas menyatakan keharamannya. Wallahu a’lam bi al-shawab
Muhammad Syamsudin (Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim)