elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Bolehkah Menyewakan Uang?

Bolehkah Menyewakan Uang?

Lagi Marak Kasus Menyewakan Uang. Bagaimana Syariat Memandang? Ini adalah pertanyaan sejumlah penanya yang dilayangkan ke inbox penulis dalam kapasitasnya sebagai salah satu tim di redaksi eL-Samsi. Karena banjir penanya, maka pada kesempatan ini, kita akan bahas kedudukannya dalam syara’.

Ijarah secara leksikal bermakna sebagai akad sewa menyewa. Rukun dari ijarah secara tegas bisa diuraikan sebagai berikut:

  1. Ajir (pihak yang menyewa barang), atau musta’jir (pihak yang dimintai upah jasa)
  2. Muajjir, yaitu pihak yang menyewakan barang atau pihak yang menerima upah sewa
  3. Ma’jur, yaitu jenis jasa barang yang disewa dan bersifat dibatasi oleh waktu dan pekerjaan
  4. Ujrah, yaitu upah sewa, dan
  5. Shighah akad yang terdiri dari shighah ijab dan qabul

Karena ijarah merupakan bagian dari akad jual beli (shinfun min al-buyu’at), maka segala hal yang berkaitan dengan sewa menyewa adalah sama dengan yang berlaku dalam jual beli. 

Misalnya, obyek yang disewakan, adalah memiliki karakteristik yang sama dengan obyek jual beli. Alhasil, di dalam ijarah, juga berlaku ketentuan:

  • wajib memenuhi ketentuan imkan al-qabdli, 
  • imkan al-taslim, dan 
  • waktu hulul (jatuh tempo). 

Karena ijarah merupakan akad sewa, maka syarat yang tidak boleh ditinggalkan dalam akad sewa ini, adalah adanya batasan waktu (ajal) dan pekerjaan (amal). Misalnya, bila waktu durasi pemanfaatan barang itu telah habis, maka ia harus melakukan kontrak yang baru. Contoh termudah adalah sewa pulsa. 

Contoh lain yang dibatasi amal adalah bila pekerjaan yang disepakati itu telah selesai dikerjakan, maka pekerja berhak mendapatkan upah. Akad semacam sering dipergunakan untuk tender. 

Di dalam jual beli, obyek yang bisa dijualbelikan itu terdiri dari 3 jenis barang, yaitu:

  1. ainin musyahadah (barang fisik, tampak, dan ada di majelis akad). Contoh menyewa rumah.
  2. syaiin maushuf fi al-dzimmah (sesuatu yang bisa dijamin). Contoh, menyewa sepeda, yang saat akad itu terjadi, sepedanya masih dibawa ke pasar. Fisik sepedanya ada, namun saat akad barang itu tengah tidak ada di tempat. Namun, secara meyakinkan bisa dijamin kembalinya. Jika tidak kembali, maka akad menjadi batal.
  3. ghaibah maushufah fi al-dzimmah (sesuatu yang belum ada namun bisa dijamin pengadaannya). Contoh misalnya, menyewa terop untuk suatu kegiatan. Karena teropnya belum dipasang di lokasi kegiatan, maka ia disebut ghaibah. Namun, pemasangannya itu bisa dijamin, dan teropnya juga ada. Alhasil, menyewa hal yang demikian ini adalah boleh, disebabkan faktor dlarurah li masisi al-hajat (darurat kebutuhan primer) guna menjaga kemaslahatan akadnya.

Ada satu obyek lain yang tidak bisa dijadikan obyek jual beli dan sewa, yaitu syaiin ma’dum (sesuatu yang tidak ada) atau syaiin ghair maushuf fi al-dzimmah (sesuatu yang tidak bisa dijamin pengadaannya). 

Permasalahannya, adalah bagaimana seandainya yang dijadikan obyek sewa itu adalah uang? 

Uang, sebagaimana telah dijelaskan di muka, adalah termasuk kategori rukun ijarah (rukun sewa). Alhasil, uang menempati derajat ujrah (upah). Kerancauan akad terjadi pada aspek mana yang bertindak selaku ujrah (upah), dan mana yang bertindak selaku barang / komoditas yang disewa (ma’jur). 

Kerancauan ini khususnya terjadi ketika uang itu memiliki satuan yang sama. Misalnya rupiah menyewa uang rupiah. Lain lagi bila yang disewa adalah dolar, sementara uang untuk menyewa adalah rupiah. Mari kita tahqiq bersama!

Rupiah menyewa Rupiah

Ketika terjadi kasus sewa rupiah dengan rupiah, maka akad sewa itu pada dasarnya adalah dianggap sebagai yang batal. Alasannya, sebab praktik yang terjadi pada dasarnya adalah sama artinya dengan barter uang (muqabalatu syaiin bi syaiin). 

Jika dua-duanya diserahkan di majelis akad, maka itu artinya akad yang terjadi adalah akad barter dengan obyek terdiri dari barang ribawi. Alhasil, praktik ini wajib memenuhi kaidah taqabudl (diserahterimakan), tamatsul (sama kadarnya), dan hulul (diserahkan saat itu juga). Kelebihan yang terjadi pada salah satu, menjadikan pelaku jatuh pada praktik riba al-fadli. Hukumnya, adalah haram syar’an jaliyyan.

Adapun jika salah satu dari kedua “rupiah-rupiah” ini diserahkan secara tunda (ajal), maka disebut dengan akad utang (qardl) atau bisa juga dikelompokkan sebagai bai’ bi al-ajal (jual beli tempo). Syarat yang harus terpenuhi juga sama, yaitu wajib taqabudl, tamatsul dan hulul

Dengan kata lain, uang yang akan diserahkan kemudian, tidak boleh bernilai lebih dari uang yang diterimakan saat di majelis akad. Kelebihan yang terjadi pada salah satu uang yang diserahkan, dapat menjatuhkan seseorang pada praktik riba al-qardly atau riba al-yad, bahkan bisa ke riba al-nasiah. Hukumnya secara tegas adalah haram.

Rupiah menyewa Dolar

Ketika terjadi praktik rupiah menyewa dolar, maka pada dasarnya akad ini juga tidak bisa disebut sebagai akad sewa. Akad yang terjadi, adalah terasuk akad jual beli barang ribawi tidak sejenis. Syarat yang harus terpenuhi adalah wajibnya taqabudl (saling serah terima) dan hulul (tunai sesuai kurs di majelis akad). 

Apabila uang yang ditunaikan harus menyesuaikan nilai tukarnya saat waktu jatuh tempo, maka akad ini masuk kategori riba al-yad, disebabkan adanya keniscayaan terjadinya kelebihan atau berkurangnya pada uang yang dibayarkan. Alhasil, hukumnya adalah haram. 

Bukankah Uang yang disewa itu kembali kepada pihak yang menyewakan?

Ciri utama dari akad ijarah barang / komoditas, memang bisanya barang yang disewa itu kembali kepada pihak yang menyewakan. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa akad ijarah sebagaimana hal itu adalah berlaku terhadap jasa menyewakan barang. Dengan demikian, tidak bisa disamakan kedudukannya jika berupa obyek yang terdiri atas uang. 

Sebagaimana telah mafhum oleh kita, bahwa uang merupakan yang menempati derajatnya dzahab (emas) dan fidllah (perak) (yaqumu maqama al-dzahab). Dzahab dan fidlah, merupakan yang ditegaskan oleh nash sebagai tauamani (kembar). Maksudnya, adalah bahwa keduanya memiliki fungsi yang sama, dan fungsi itu tidak bisa digantikan dengan selainnya. 

Menyewa dolar dengan mata uang rupiah, adalah sama kedudukannya dengan transaksi pertukaran antara dzahab dan fiddlah. Alhasil, wajib adanya taqabudl dan hulul. 

Adapun jika disyaratkan bahwa uang dolar itu harus kembali dengan jenis dan nilai yang sama saat uang itu diserahkan, maka itu dinamakan dengan akad i’arah. Demikian halnya, bila uang rupiah yang diserahkan itu memiliki jenis dan jumlah yang sama dengan saat diserahkan, maka akadnya dinamakan dengan akad i’arah. 

Ketentuan yang wajib diikuti dalam akad i’arah adalah tidak boleh menarik ujrah (upah). Jika menarik sebuah ujrah, maka akadnya menjadi akad qardlu jara naf’an li al-muqridl, fahuwa riba (utang menarik kemanfaatan sehingga riba). 

Kesimpulan Hukum

Akad menyewakan uang (ijarah uang) pada dasarnya adalah bukan termasuk akad sewa. Akad itu pada dasarnya adalah masuk akad qardl. 

Bila ada pihak yang mengatasnamakan akad sewa uang, kemudian memberikan ujrah berupa nilai lebih dari uang yang diserahkan, menandakan bahwa pihak tersebut telah melakukan praktik jebakan eksklusi keuangan (penyimpangan keuangan). Besar dugaan, adalah bahwa hal itu diawaii oleh niatan pelaku untuk melakukan praktik money game atau praktik riba yang dilarang syara’. 

Penyerahan suatu mata uang kepada pihak lain, dengan keharusan kembali berupa uang itu lagi, tanpa berganti fisik, maka akad ini adalah termasuk akad i’arah (pinjam barang). Di dalam akad ini berlaku ketentuan tidak boleh menarik upah (ujrah). Adanya menarik upah dapat menjatuhkan seseorang pada praktik riba qardli. 

Penyerahan suatu mata uang kepada pihak lain, dengan kembali lagi kepada pihak yang menyerahkan, dan berganti fisik, menandakan bahwa akad tersebut adalah akad utang. Jika ada kelebihan dalam pengembalian, maka praktik tersebut adalah riba. 

Alhasil, tidak ada akad yang dinamakan sebagai akad ijarah uang. Yang ada adalah akad i’arah (jika tidak berganti fisik), atau akad qardl (jika berganti fisik). Wallahu a’lam bi al-shawab. 

Muhammad Syamsudin (Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah LBM PWNU Jatim)

Konsultasi Akad Muamalah
Spread the love
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean

Related Articles