el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Kafalah dan dlaman adalah dua akad yang legal dalam Islam karena latar belakang:

  1. Tolong menolong (ta’awun)
  2. Ada pihak yang mengalami masalah dan butuh untuk dibantu penunaian hak dan kewajibannya pada waktu yang mungkin ia sendiri tidak bisa menunaikannya, tanpa melalui uluran orang lain
  3. Kedua akad muncul tidak berbasis profit oriented

Namun, seiring tumbuh kembangnya masyarakat dunia modern, munculnya wilayah-wilayah perkotaan, adanya faktor kesibukan sehingga menyebabkan renggangnya hubungan akibat menurunnya intensitas pertemuan dengan saudara atau bahkan dengan tetangga sendiri, baik jauh maupun dekat, maka semangat untuk tolong menolong antar sesama tersebut menghendaki untuk tetap dijaga kelestariannya. Di  sinilah kemudian hadir lembaga / perusahaan yang bergerak dalam jasa asuransi (takaful, tadlmin dan ta’min).

Demi menjaga tetap berlangsungnya semangat tolong menolong tersebut, maka hadir pemerintah dengan berbagai perangkat aturannya bersama dengan fungsi dan peran utama:

  1. menjadi penjamin dan mediator antara pihak yang menghendaki dijamin dan ditunaikan haknya (ashil) dengan pihak penunainya (kafil) serta tepat sasaran kepada siapa hak dan kewajiban tersebut ditunaikan (makful ‘anhu) sehingga manfaat asal dari kafalah dan dlaman bisa ditunaikan.
  2. menjadi penjamin bahwa asuransi tetap dalam koridornya sebagai lembaga sosial sehingga bukan lembaga yang berbasis profit oriented
  3. harta yang diserahkan oleh member asuransi dalam bentuk premi merupakan harta yang dimaksudkan untuk tolong menolong antar sesama anggota asuransi sehingga dibutuhkan keterjaminannya dalam penunaian manfaatnya

Menilik dari latar belakang didirikannya perusahaan jasa asuransi dengan pemerintah sebagai penengah akad (mediator) ini, maka lahir beberapa kebutuhan baru sebagai konsekuensi pengaturan tersebut, antara lain:

  1. Ada dana rutin yang disetorkan oleh member asuransi dan dikeluarkan setiap bulannya. Dana ini selanjutnya disebut sebagai premi asuransi
  2. Ada manfaat penjaminan yang dilabelkan sebagai produk asuransi, dan ditawarkan kepada member calon peserta asuransi. Produk ini kemudian disebut sebagai polis asuransi.

Pertanyaannya, adalah berstatus apakah dana rutin yang dibayarkan oleh member asuransi tersebut menurut kacamata hukum Islam

Inilah salah satu masalah yang menghendaki untuk dijawab dan ditetapkan batasannya sehingga menjadi terang imbas risiko akad dari diadakannya dana tersebut pada instansi jasa asuransi. 

Dasar pijakan untuk pengkajian, adalah sudah pasti berangkat dari sebuah pernyataan:

وحاصله انه إذا أمر بواجب تأكد وجوبه وإن أمر بمندوب وجب وإن أمربمباح فإن كان فيه مصلحة عامة كشرب الدخان وجب بخلاف ما إذا أمربمحرم أو مكروه أو مباح لا مصلحة فيه عامة إهـ

“Walhasil, saat pemimpin memerintahkan suatu kewajiban (menurut syara’), maka kewajiban itu semakin kuat. Jika ia memerintahkan sesuatu yang sunnah, maka hal itu menjadi wajib. dan , jika ia memerintahkan sesuatu yang mubah, selama mendatangkan kemaslahatan umum, seperti larangan merokok, maka menjadi wajib menjauhi merokok. Lain halnya bila pemimpin memerintahkan suatu keharaman, atau hal-hal yang bersifat makruh atau suatu perkara mubah, akan tetapi tidak memuat unsur maslahah umum di dalamnya, (maka perintah itu tidak wajib diikuti).” (Bujairami ‘ala al-Khatib, Juz II, halaman 238).

Di dalam genuine akad kafalah dan dlaman, premi adalah bagian dari dana yang sunnah untuk dikeluarkan. Nilainya dihitung sebagai dana tabarru’. 

Seiring, kafaalah dan dlaman itu diinstitusikan, maka sifat kesunnahan itu bisa berubah menjadi wajib seiring adanya ikatan relasi dengan peraturan yang secara fikih menempati maqamnya janji kesepakatan (‘ahd). 

Menepati janji adalah bagian dari watak seorang muslim. Dirinya dituntut memenuhhi seiring janji kesepakatan itu. Wallahu a’lam bi al-shawab.!

Muhammad Syamsudin

Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content