el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Apakah deposito diikutkan pada zakat simpanan, ataukah zakat tijarah? Berikut ini adalah bagian dari materi kajian selama beberapa waktu terakhir dari Tim Mabahits eL-Samsi. 

Setidaknya, ada 2 latar belakang pemikiran, mengapa pertanyaan ini muncul. 

Pertama, sejauh ini deposito dikelompokkan oleh beberapa pengkaji sebagai produk simpanan perbankan yang berbasis akad qardl. Alhasil, zakat yang dipungut adalah zakat simpanan. 

Kedua, uniknya dalam pelaksanaan penunaian zakat, penghasilan yang didapat dari bunga bank juga turut serta dihitung sebagai bagian dari harta yang dizakati. Alhasil, penghasilan dari sektor bunga itu dianggap sebagai penghasilan produktif sehingga zakatnya pun seharusnya masuk dalam ruang zakat produktif (zakat tijarah).

Untuk lebih jelasnya, mari simak pembahasan dari para pengkaji eL-Samsi berikut ini!

Setidaknya, ada 2 pengelompokan terhadap produk deposito perbankan menurut perspektif para fuqaha kontemporer dewasa ini. 

Pertama, deposito, adalah termasuk jenis harta simpanan dari pihak nasabah perbankan. Pandangan ini mengacu pada pendapat yang menyatakan bahwa uang yang diserahkan oleh nasabah ke perbankan adalah masuk jenis qardlu hukman. Alasannya, adalah harta itu diserahkan oleh nasabah ke perbankan tanpa adanya obyek investasi yang diketahui oleh nasabah. Alhasil, penyerahan yang disertai dengan adanya talaf oleh pihak yang diserahi, dan meniscayakan pergantian fisik saat uang itu diterima kembali oleh nasabah, adalah termasuk akad qardl (utang). 

لأن القرض مبادلة صورة، تبرع حكمًا؛ لأن رد المثل في القرض أقيم مقام رد العين حكمًا، والربا إنما يتحقق في البيع دون القرض

“Sesungguhnya utang itu sekilas tampilannya merupakan akad pertukaran, dan secara hukum tampilannya adalah tabarru’. Hal itu disebabkan karena pengembalian nilai yang sepadan yang berlaku pada akad qardl adalah menempat maqam pengembalian barang yang diutang (secara hukum). Adapun riba, tampil secara nyata pada akad jual beli, dan bukan pada akad utang.”

Bunga yang diterima oleh nasabah, adalah masuk kategori riba yang diharamkan disebabkan adanya syarat pengembalin lebih di muka akibat relasi akad pertukaran (bai’).

Ketika deposito ditempatkan dalam derajat qardl semacam ini, maka yang berlaku sah sebagai hartanya nasabah adalah total uang yang pernah diserahkannya kepada pihak perbankan. Adapun pendapatan dari bunga, tidak masuk kategori harta karena dihasilkan dari muamalah yang haram. Setiap harta yang dihasilkan dari muamalah yang haram adalah bukan harta. 

Kedua, deposito adalah bagian dari akad baru dan termasuk produk investasi (istitsmary) yang sudah tersilabi dengan baik di ruang-ruang akademis serta belum ditemui pada era terdahulu. Pendapat ini sebagaimana yang disampaikan oleh para ulama dari kalangan al-Azhar, misalnya Mufti Mesir Syeikh Syauqi Ibrahim Allam, beliau menyampaikan:

أن الإيداع في البنوك ودفاتر التوفير وشهادات الاستثمار ونحوها هو من باب العقود المستحدثة التي يبرمها أطرافها بقصد الاستثمار، وليست من باب القروض التي تجر النفع المحرم، ولا علاقة لها بالربا، وهي جائزة شرعًا؛ أخذًا بما عليه التحقيق والعمل من جواز استحداث عقود جديدة إذا خلت من الغرر والضرر.

Apabila mengacu pada pendapat ini, maka bunga yang didapat dari produk deposto adalah dipandang sebagai hasil proses produksi (istitmary) sehingga sah berlaku sebagai harta. Alhasil, apabila akumulasi antara dana yang disetor oleh nasabah, plus pendapatan dari sektor bunga tersebut telah mencapai 1 nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya dalam bentuk zakat tijarah.

Perlu diketahui bahwa pendapat yang menempatkan deposito sebagai produk investasi merupakan pendapat yang diambil dengan jalan istihsan. Pendapat ini  dilakukan dengan jalan beralih dari qiyas jaly ke qiyas khafy seiring perbankan merupakan bagian dari ammatu al-balwa.

Dr. Syauqi Ibrahim Allam mengatakan, bahwa: 

وهذا هو المعمول المفتى به في هذا الزمان الذي استجدت فيه نوازل العقود، وتنوعت فيه أساليب المعاملات ووسائلها وطرقها؛ فالأصل في العقود الصحة؛ سواء كانت عقودًا موروثةً منصوصًا عليها؛ كالبيع والشراء والإجارة وغيرها، أو كانت عقودًا مستحدثة لم تتناولها النصوص بالذكر والتفصيل على جهة الخصوص، ما دامت تخلو من الضرر والغرر، وتحقق مصالح أطرافها

“Inilah praktek yang diamalkan dan difatwakan (oleh para fuqaha) sehubungan dengan diperkenalkannya beberapa akad baru yang berlaku di zaman ini, dan beberapa praktik muamalah lain yang sudah terlanjur dikembangkan menurut silabi akad tersebut dan dibahas dalam ruang-ruang akademisnya. Oleh karenanya kembali pada ketentuan umum bahwa asal daripada transaksi itu adalah sahnya akad, baik itu akad yang sudah tertuang sebelumnya di dalam kutubu al-turats seperti akad jual beli, ijarah dan selainnya, maupun akad-akad yang baru datang kemudian dan tidak tertuang di dalam teks nash sebelumnya, serta perinciannya. Catatan terpenting adalah selagi tidak ada illat merugikan (dlarar) dan gharar, serta nyata dapat membawa pada timbulnya kemaslahatan.”

Sampai di sini, nampaknya ada hal yang harus diluruskan terkait dengan pandangan mengenai zakat deposito. Berdasarkan 2 aliran pemahaman di atas, maka zakat deposito semestinya bisa ditarik melalui salah satu dari 2 pendapat di atas, yaitu:

  1. Jika mengikuti pendapat bahwa deposito adalah berbasis akad qardl, maka zakat yang dipungut dari deposito adalah tidak melibatkan hasil dari bunga bank. Pendapatan dari bunga bank meniscayakan untuk disisihkan, sebagai bagian dari risiko mengikuti pendapat pertama. 
  2. Jika mengikut pendapat kedua, maka deposito merupakan produk yang   ditempatkan dan diakui sebagai produk investasi. Ketika mengikuti pendapat ini, maka konsekuensi logisnya adalah bunga bank dihitung sebagai bagian dari total akumulasi harta produktif yang meniscayakan untuk dizakati.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content