Di dalam sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh OKI (Organisasi Kerjasama Islam), Syeikh Abdullah bin Bayah pernah menulis:
فالوصف إذا كثر استعماله يقوم مقام الموصوف، فلا يحتاج إلى تقدير موصوف، كقولهم: هبت الجنوب والشمال، بدون حاجة إلى ذكر الريح
“Suatu kata sifat ketika sering dipakai maka ia dapat menduduki maqamnya barang yang disifati, oleh karenanya tidak lagi perlu menyebut kadar dari yang disifati. Misalnya, seperti ungkapan: “Hembusan datang dari arah Selatan dan Utara.” Di dalam ungkapan ini, tidak disertakan maksud dari angin sebagai materi yang disifati. (Ahkamu al-Nuqud wa al-Waraqiyyah wa Taghayyuru Qimati al-Umulah li al-Syeikh Abdillah bin Bayah, ditulis dalam Majalattu Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Vol. III, halaman 905)
Tulisan Syeikh Abdullah bin Bayah ini merupakan sebuah pengantar dari serangkaian dialektika berfikir tentang Kedudukan Nuqud, Mata Uang Kertas serta Fluktuasi Harga Efek. Sebagaimana kita tahu, bahwa nuqud merupakan representasi dari mata uang emas dan perak (dinar dan dirham).
Yang dipersoalkan oleh Syeikh Abdullah bin Bayah ini di awal tulisan tersebut adalah sejak kapan istilah nuqud yang merupakan isim mashdar (kata benda jadian) atau bisa juga dijadikan sebagai isim jama’ dari naqd itu diperkenalkan untuk produk dinar dan dirham? Padahal kedua produk tersebut merupakan bentuk cetakan dari emas dan perak. Sementara itu, kedua emas dan perak ini sudah memiliki kosakata tersendiri dengan istilah dzahab dan fidlah.
Dijawab olehnya, bahwa nuqud merupakan istilah lain yang diperuntukkan untuk emas dan perak yang sudah dicetak dan menempati derajat ajyad (kadar karat murni). Namun, karena pada masa itu kemudian banyak diterbitkan bentuk-bentuk cetakan emas dan perak yang kemudian dijadikan alat tukar, maka mata uang dinar dan dirham selanjutnya disebut sebagai nuqud. Jadi, apabila disebutkan nuqud, maka otomatis pemahaman masyarakat akan lari ke kedua alat tukar itu, meskipun tidak disebutkan emas atau peraknya.
كلمة (النقود) قد مرت بمراحل وتطورات فقهية جعلت من الصعب تعريفها تعريفًا ثابتًا لا علاقة له بالزمن، ولا يعرف المخاطبين. إذن فالتعريف يمكن أن يكون عرفيا، ومن المعلوم أن الحقيقة العرفية لا يُلجأ إليها إلا بعد عزل الحقيقة اللغوية
“Kata (nuqud) pada dasarnya telah berlaku sejak beberapa periode sebelumnya. Dan selanjutnya, seiring perkembangan kajian fiikih, maka menjadi satu hal yang sulit untuk mendefinisikannya dengan definisi yang pasti, sebab tidak ada korelasi dengan zaman, dan tidak diketahui siapa-siapa yang awal menggunakannya dalam dialog masyarakat. Oleh karena itu, maka definisi yang memungkinkan diberikan padanya adalah definisi yang merunut pada tradisi (urfy). Sebab, sebagaimana diketahui bersama, bahwasanya hakikat dari suatu tradisi, adalah berlakunya tidak bisa dijadikan rujukan kecuali setelah seringnya diucapkan dalam kebahasaan sehari-hari.” (Lihat: Ahkamu al-Nuqud wa al-Waraqiyyah wa Taghayyuru Qimati al-Umulah li al-Syeikh Abdillah bin Bayah, ditulis dalam Majalattu Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Vol III, halaman 906)
Dari sinilah kemudian beliau membuat ungkapan di atas, bahwasanya “suatu sifat apabila sering digunakan, maka ia akan menempati maqam yang disifati.”
Apa yang disampaikan oleh Syeikh Abdullah bin Bayah di atas merupakan yang rasional (ma’qul al-ma’na) sebab adanya sifat memang menunjukkan adanya materi yang disifati. Hal yang sama juga berlaku, ketika kita mengungkapkan bahwa smartphone yang kita pegang sebagai yang menyala. Saat itu, kita tidak pernah berfikir ada sistem yang ada dibalik menyalanya smartphone tersebut.
Hal yang sama juga berlaku atas aplikasi yang sudah kita install di smartphone. Kita tidak pernah terfikirkan bahwa di balik aplikasi itu ada material dan jerih payah dalam meng-coding dan memasukkan bahasa program ke dalam sistemya, sehingga kemudian bisa menjadi produk aplikasi yang operatif.
Logika pengetahuan di atas, sejatinya bisa kita gunakan untuk menalar apakah berbagai produk elektronik yang tengah beredar dewasa ini merupakan yang bisa disebut produk atau tidak sehingga bisa ditransaksikan.
Agar tidak keluar dari konteks syara’, maka landasan berfikir (ushul) yang kita pegang tetaplah sama, yaitu bahwa harta yang bisa diperjualbelikan dalam Islam pada intinya hanya ada 2, yakni: (1) berupa material fisik (ainiyah), dan (2) material syaiin maushuf fi al-dzimmah (aset yang memiliki jaminan dibaliknya). Ciri bahwa harta itu disebut material fisik (ainy), adalah bisanya dialihkan, dipindahkan, diserahkan, diterima, dipegang, dan disimpan. Di sisi lain, harta disebut “sifat dari material yang disifati” (syaiin maushuf) dicirikan oleh keberadaannya tidak bisa kita pegang, namun dalam faktanya bisa dioperasionalkan, bisa dipergunakan, dan bisa disimpan, atau bahkan bisa digunakan untuk menghasilkan produk lain.
Anda bayangkan Software MS Office 365! Software itu saat ini dijualbelikan secara online saja. Dari satu software, hanya ada 6 kesempatan lisensi (password key) yang bisa diinstall ke 6 sistem perangkat yang berbeda sehingga sistem tersebut dapat berstatus original.
Permasalahannya, ketika anda membeli software ini, bisakah software tersebut anda pegang? Tentu jawabnya adalah tidak bisa dan tidak akan pernah bisa. Kendati kemudian software itu anda simpan dalam satu flashdisk installan atau VCD installer. Anda tetap tidak akan bisa memegangnya. Akan tetapi, anda tidak meragukan lagi akan status kepemilikan “manfaat” dari software (piranti lunak) tersebut, bukan?
Manfaat (khadamat) merupakan aset yang berada di balik aset software. Sementara software itu sendiri merupakan syaiin. Kerja pengcodingan dan pembuatan software menempati derajat maushuf.
Syaiin sendiri, secara bahasa adalah bermakna:
كُلَّ مَا لَهُ وُجُودٌ مُثْبَتٌ مُتَحَقِّقٌ
“Segala sesuatu yang memiliki wujud “yang bisa diterima masyarakat” dan “bisa dibuktikan”. (Mu’jam al-Ma’any)
Berbekal hal ini, maka wujud fisik dari software MS Office bisa disebut sebagai syaiin. Wujudnya bisa diterima secara tsubut (sesuai dengan adat yang berlaku di masyarakat penggunanya), dan memiliki manfaat yang muhaqqaq (nyata / bisa dibuktikan). Oleh karena itu pula, maka berlaku sebuah urf (tradisi) yang bersifat tsubut bahwa apabila ada orang membeli software MS Office, maka maksudnya adalah sama dengan membeli lisensi penggunaannya, sebab MS Office 365 saat ini, hanya bisa didapatkan lewat internet.
العرف الثابت كالناص الثابت
“Tradisi masyarakat yang berlaku, menempati derajat layaknya nash yang berlaku.”
Pertanyaannya kemudian, apakah aset kripto termasuk memiliki manfaat yang sama dengan software? Jawabnya adalah tidak. Sebab, aset kripto tidak bisa diinstall dan digunakan apapun selain diperintah melepas ke pasar untuk dispekulasikan.
Muhammad Syamsudin
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa TImur