Hermaphrodite merupakan sebuah kondisi di mana seseorang memiliki dua alat kelamin dan organ reproduksi sekaligus. Keduanya sama-sama berkembang dan berfungsi dengan baik sehingga pola penentuan jenis kelaminnya menjadi mudah, yaitu berdasarkan prinsip al-ghalabah wa al-katsrah. Organ kelamin yang paling berkembang dipergunakan sebagai patokan.
Kasus baru yang kiranya belum pernah dikaji adalah kasus pseudohermaprodite. Kasus ini ditengarai dengan ciri khas yaitu organ reproduksi menunjukkan organ laki-laki, namun ternyata pada organ genital luarnya menunjukkan ciri kelamin perempuan, atau sebaliknya.
Bagi masyarakat yang tidak mengetahui kasus sebenarnya, maka bisa jadi akan berasumsi bahwa sosok dengan ciri-ciri tersebut adalah pihak tarajjul (wanita berlagak laki-laki) atau takhannuts (laki-laki berperilaku perempuan). Padahal, secara organ, sosok tersebut menunjukkan fakta yang berkebalikan (180 derajat). Sosok inilah yang kemudian disemati dengan sosok yang mengalami ambiguous genitale (organ kelamin ambigu).
Berdasarkan hasil observasi klinis, dapat dipetakan bahwa pihak yang mengalami gejala pseudohermaprodit ini ada 3 kelompok penampakan, antara lain:
Pertama, organ genitalnya seperti laki-laki namun tidak menunjukkan adanya testis (biji pelir). Organ penis merupakan hasil diferensiasi dari klitoris yang membesar (hiper). Scrotum (wadah testis) terbelah menjadi dua dan menunjukkan adanya lubang. Karenanya untuk kasus ini masih bisa diputus jenis kelaminnya yaitu perempuan. Scrotum yang terbelah merupakan hipospadi dari labia minora dan labia mayora, sehingga menyerupai scrotum.
Kedua, organ genitalnya sekilas menunjukkan ciri perempuan. Namun, labia minora dan labia mayora tidak berkembang dan lubang vulva (lubang persenggamaan) dangkal. Lubang saluran kencing hanya terdapat satu, yaitu pada klitoris. Ciri pendukung lainnya adalah ketiadaan uterus (rahim). Penentuan jenis kelamin untuk sosok ini juga dengan mudah untuk dideteksi sebagai laki-laki. Klitoris merupakan hipertropi dari penis yang tidak berkembang normal sehingga kecil. Adapun celah yang menyerupai labia minora dan labia mayora merupakan hipertropi dari scrotum sehingga keberadaannya menyerupai vagina (pseudovulva).
Ketiga, kondisi klinis berkelamin ambigu (ambiguous genitalia). Untuk yang jenis ketiga ini, pihak yang mengalami sulit untuk dibedakan kelaminnya. Karena ciri fisik yang menunjukkan kelamin mayornya tidak ada, baik organ genital luar maupun organ reproduksinya. Tidak berhenti sampai di situ, ciri perilaku sosialnya juga tidak bisa dibedakan.
Risiko-Risiko Kesulitan bagi Penyandang Pseudohermaprodit
Kondisi yang dialami oleh para penyandang Pseudohermaprodit membawa dampak setidaknya pada timbulnya kesulitan dalam beberapa hal:
Pertama, dampak ibadah dan aurat.
Secara ibadah, bagi penyandang pseudohermaprodit atau Differences of Sex Development (DSD) mengalami kesulitan untuk iqrar atau tahkim jenis kelaminnya. Dan hal ini berdampak pada persoalan kesulitan mengikuti praktik ibadah, ditambah lagi persoalan menutup aurat. Sebagaimana diketahui, bahwa tata cara sholat dalam Islam, dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Termasuk di antaranya adalah aurat, baik di waktu sholat, maupun di waktu bersosialisasi dengan masyarakat lainnya.
Kedua, dampak dalam munakahah
Baik pihak yang pseudo-laki-laki maupun pseudo-perempuan, atau ambiguous genitale, sulit untuk ditetapkan kecondongan dia sebagai laki-laki atau perempuan. Jika untuk pseudo-laki-laki dan pseudo perempuan masih memungkinkan untuk ditetapkan jenis kelamiinnya karena bisa diidentifikasi secara klinis sejak dini, namun untuk kasus genital ambigu, hal tersebut membutuhkan terapi psikologis guna membantu perkembangan salah satu jenis kelaminnya sejak dini.
Secara medis dan psikologis, disebutkan bahwa terapi bagi penyandang genital ambigu ini bisa dalam berbagai bentuk, antara lain:
- Memicu keluarnya hormon sex tertentu. Misalnya, untuk memicunya menjadi berjenis kelamin laki-laki, maka dibantu dengan memperkuat munculnya hormon testosteron dan adrenalin. Sementara untuk memicu agar berjenis kelamin perempuan, maka dipicu dengan hormon yang membantu perkembangan hormon kewanitaan, seperti progesteron.
- Namun, untuk keperluan eksekusi jenis kelamin pilihan ini, dokter membutuhkan penelitian lebih lanjut terhadap kromosom pembawa kode genetik DNA pelaku. Sejauh ini, kromosom para pihak yang dimaksud menampilkan jenis kromosom yang berbeda. Bagi pseudo-pria, masih bisa dideteksi adanya kromosom 46 XX yang menjadi ciri khas kelamin perempuan. Demikian juga pada kasus pseudo-wanita masih ada kemungkinan menunjukkan kromosom 46 XY yang menjadi ciri kelamin pria. Namun, untuk genital ambigu, dalam faktanya ditemukan adanya kromosom 47 XXY. Alhasil, menjadi sulit ditentukan bila tanpa adanya bantuan luar, lewat kemoterapi atau pembinaan kecondongan psikologis kelamin.
Berdasar laporan sejumlah hasil riset dari para dokter, menunjukkan jika kasus genital ambigu ini perlu ditangani sejak pelaku belum memasuki usia puber, agar memiliki kejelasan hukum jenis kelamin mayornya, dan dampak ke depannya adalah ia bisa memasuki jenjaang pernikahan. Perhatikan gambaran skema penentuan jenis kelamin Ambiguous Genitale berikut!
Dampak Khalqiyah bagi Pseudohermaprodit secara Klinis
Adanya kasus differences of sex developments (DSDs) dan ambiguous genitale, berpengaruh terhadap penetapan kelamin. Agar terjadi tathbiq jenis sex yang dipilih, maka konsekuensinya adalah perlu melibatkan adanya beberapa unsur ‘aridly (eksternal), antara lain:
- Kemoterapi secara klinis dan pembinaan psikis penderita
- Rekayasa terhadap organ genital sesuai jenis sex yang dipilih atau sesuai dengan organ reproduksi mayor yang berfungsi atau dipilih oleh penderita.
Misalnya, bagi pseudo-pria, karena organ reproduksi dalamnya adalah condong pada perempuan, sementara organ genital luar menunjukkan ciri khas laki-laki. Terhadapnya diperlukan rekayasa terhadap keberadaan organ klitoris yang sebelumnya berkembang menjadi psudo-penis menjadi klitoris normal, dan organ pseudo-scrotum menjadi labia minora dan mayora normal. Oleh karenanya, rekayasa itu diperlukan sebagai upaya pembalikan dari hipospadis fungsionaliitas organ tersebut.
Hal yang sama juga berlaku bagi pseudo-wanita yang organ reproduksi dalamnya adalah condong pada laki-laki, namun organ genital luarnya seperti wanita karena mengalami hipertropi (pengecilan). Operasi itu diperlukan guna membantu penormalan perkembangan genital klitoris menjadi seperti normalnya penis. Demikian halnya dengan fungsi scrotum dan Testis yang mengalami hipertropi, dinormalkan sehingga berfungsi layaknya scrotum dan testis pada pria normal.
Bagi penderita yang mengalami genital ambigu, maka diiperlukan upaya penanganan organ genital sebagaimana yang dipilih atau berdasar kesesuaian kromosom. Perhatikan contoh gambar fisik penderita genital ambigu berikut ini!
Gambar ambiguous genitale pada kasus bayi pseudo-pria
Permasalahan fikihnya, adalah tentu saja langkah rekayasa ini secara tidak langsung melibatkan adanya penghilangan dan penambahan. Padahal, penghilangan dan penambahan organ semacam ini sering dikenal dengan istilah taghayyur (pengubahan) terhadap ciptaan Allah SWT. Apakah mekanisme sebagaimana disebutkan di atas, merupakan yang dilegalkan oleh syara’? Mari kita tunggu kajian-kajiannya di situs eL-Samsi yang tercinta ini!
Wallahu a’lam bi al-shawab
Konsultasi Muamalah
Bagi anda yang memiliki permasalahan seputar akad muamalah, dan membutuhkan bantuan jawaban, anda bisa melayangkan pertanyaan ke Tim Redaksi dengan alamat email: redaksi@elsamsi.my.id atau ke email: muhsyamsudin@elsamsi.my.id. Siapkan donasi terbaik anda untuk Kajian Tim Mujawwib eL-Samsi ke No. Rek. BRI: 7415-01-0053-9953-5 a.n SAMSUDIN. Minimal: @Rp. 100 Ribu sesuai dengan tingkat kesulitan permasalahan yang menghendaki dibahas.
Muhammad Syamsudin
Pengasuh PP Hasan Jufri Putri Pulau Bawean dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jawa Timur