elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Img 20230926 Wa0001

Latar Belakang Masalah

Ibadah merupakan kewajiban dasar individu mukallaf dan merupakan perintah langsung dari Allah SWT. Di dalam Al-Qur’an Surat ِAl-Dzariyat 56, Allah SWT telah berfirman:

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

“Tiada Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah kepada-Ku.”

Sayyidina Ali karramallahu wajhah – sebagaimana dinuqil oleh Imam al-Qurthuby di dalam Kitab Tafsirnya – menegaskan:

أَيْ وما خلقت الجن ولأنس إِلَّا لِآمُرَهُمْ بِالْعِبَادَةِ

“Yakni, tiada Aku ciptakan jin dan manusia melainkan telah Aku perintahkan mereka agar beribadah.”

Sepakat dengan penafsiran dari Sayyidina Ali di atas, al-Zujjaj beristidlal dengan ayat lain bahwasanya Allah SWT telah berfirman:

وَما أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلهاً واحِداً

“Tiada mereka diperintahkan melainkan supaya menyembah kepada Tuhan Yang Maha Tunggal.”

Karena hal inilah, maka ibadah merupakan kewajiban pokok individu sehingga tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apapun. Ibadah merupakan kunci penghambaan dan menempati maqam pernyataan ketundukan seorang hamba, serta pernyataan bahwasanya tiada yang bisa menolong diri hamba melainkan Dzat Yang Maha Kuasa, yaitu Allah SWT.

Al-Zujjaj radliyallau ‘anhu lebih lanjut menyampaikan:

كَيْفَ كَفَرُوا وَقَدْ خَلَقَهُمْ لِلْإِقْرَارِ بِرُبُوبِيَّتِهِ وَالتَّذَلُّلِ لِأَمْرِهِ ومشيئته؟ قيل: تَذَلَّلُوا لِقَضَائِهِ عَلَيْهِمْ، لِأَنَّ قَضَاءَهُ جَارٍ عَلَيْهِمْ لَا يَقْدِرُونَ عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْهُ

“Bagaimana mungkin, mereka ada kesempatan mahu kufur [membangkang] sementara mereka diperintahkan agar beriqrar terhadap sifat rububiyah-Nya Allah dan tunduk terhadap perintah-Nya serta kehendak-Nya? Oleh karena itu dikatakan: Tunduklah terhadap segala qadla’-Nya atas mereka! Sebab qadla’-Nya akan senantiasa berlaku atas mereka. Tiada satu kuasapun bagi mereka mampu menghindar dari-Nya.”

Landasan Dasar Kewajiban Sholat

Kita semua sudah mengetahui bahwa sholat adalah rukun Islam. Di dalam sebuah hadits Jibril, hal itu ditegaskan oleh Baginda Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:

فتاوي الخليلي على المذهب الشافعي ١/‏٧٧ — محمد الخليلي (ت ١١٤٧)

قال: ما الإسلام؟ قال: الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله، وتقيم الصلاة، وتؤتي الزكاة، وتصوم رمضان، وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلًا

“Jibril bertanya: “Apa itu Islam?” Jawab Nabi: “Jika kamu bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kamu dirikan sholat, membayar zakat, berpuasa Ramadlan, dan berhaji ke Baitullah ketika kamu kuasa atas jalannya.”

Di dalam Q.S. Al-Baqarah[ 2] ayat 43, Allah SWT secara sharih telah berfirman:

وَأَقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّ ٰ⁠كِعِینَ

“Dirikanlah sholat dan tuaikanlah zakat serta ruku’lah bersama-sama dengan orang yang ruku’!”

Perintah yang sama juga ditemui dalam ayat-ayat yang lain, seperti: Q.S. Al-Baqarah 83, 110, Q.S. Al-Nisa’ 77, 103, Q.S. Al-An’am 72, Q.S. Al-A’raf 29, Q.S. Yunus 87, Q.S. Al-Hajj 78, Q.S. An-Nur 56, dan masih banyak lagi ayat yang lain. Seluruhnya disampaikan dalam redaksi kalimat perintah [fi’il amar]. Sementara yang disampaikan dalam redaksi shighah ikhbar, lebih banyak lagi. 

Baik, redaksi itu disampaikan dalam shighah ikhbar maupun shighah amar, seluruhnya adalah datang dari Allah SWT dan diwahyukan kepada Sang Pembawa Risalah – yakni: Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam – dan bermakna sebagai khithab [perintah] kewajiban untuk melaksanakannya. 

Mengenai tata cara / panduan melaksanakannya, Imam Ibn Jarir al-Thabary rahimahullah ta’ala di dalam kitab tafsirnya menyampaikan bahwa perintah tersebut sekaligus perintah tata caranya, batasan-batasanya, dan fardlu-fardlunya. 

تفسير الطبري جامع البيان – ط دار التربية والتراث ٢/‏٥٠٥ — أبو جعفر ابن جرير الطبري (ت ٣١٠)

قد دللنا فيما مضى على معنى”إقامة الصلاة”، وأنها أداؤها بحدودها وفروضها

“Kami telah menunjukkan dalil dalam penjelasan sebelumnya tentang ma’na iqamat al-shalah, bahwasannya penunaiannya adalah lengkap dengan batasan-batasannya dan fardlu-fardlunya.”

Penjelasan ini senada dengan Sabda Baginda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam – sebagaimana yang dinuqil oleh Ibn Rif’ah rahimahullah ta’ala:

كفاية النبيه في شرح التنبيه ٤/‏٧ — ابن الرفعة (ت ٧١٠)

وقال ﷺ في حديث مالك بن الحارث الطويل: «إذا حضرت الصلاة، فليؤذن لكم أحدكم، تم ليؤمكم أكبركم» أخرجه مسلم، وزاد البخارى: «وصلوا كما رأيتمونى أصلى».

Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda dalam sebuah hadits yang panjang dan diriwayatkan oleh Malik ibn al-Harits radliyallahu ‘anhu: “Ketika tiba waktu shalat, maka hendaknya ada salah satu dari kalian yang adzan, kemudian orang yang paling sepuh di antara kalian bertindak selaku Imam”. Imam Bukhari menambahkan: “Dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku sholat!”

Siapa yang diperintah Sholat?

Ketika Allah SWT mewahyukan ayat perintah sholat, maka pihak yang pertama berkewajiban menunaikan adalah Baginda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berdasarkan sejarah turunnya syariat sholat tersebut [tasyri’u al-sholat], perintah sholat 5 waktu di mulai pasca peristiwa Isra’ Mi’raj Baginda Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Selanjutnya, sholat yang pertama kali dilaksanakan oleh para shahabat adalah sholat shubuh seiring Baginda Nabi SAW sudah kembali ke Kota Mekah dari perjalanan Isra’ Mi’raj. Dalam sebagian pendapat, juga disampaikan bahwa sholat pertama yang dikerjakan oleh para sahabat adalah shalat dhuhur. 

Karena sholat merupakan perintah, maka individu yang wajib melaksanakan adalah individu yang masuk kategori mukallaf. Batasan dari individu mukallaf ini, adalah:

نهاية المطلب في دراية المذهب ٨/‏٥٢٠ — الجويني، أبو المعالي (ت ٤٧٨)

فالمكلف هو العاقل البالغ، حرًا كان أو عبدًا، ذكرًا كان أو أنثى، فيصح إسلامه بنفسه، ولا يُتصوّر أن يَتْبَع في الإسلام غيرَه.

Mukallaf itu adalah orang yang berakal, baligh, baik merdeka ataupun budak, laki-laki atau perempuan, menyatakan diri beragama Islam. sehingga pihak di luar Islam tidak masuk dalam deskriipsi mukallaf sebab tidak mungkin mengikuti.”

Berdasarkan batasan yang disampaikan oleh Al-Imam Abu al-Ma’aly al-Juwainy di atas, maka pada dasarnya juga bisa dipahami bahwa kewajiban melakukan sholat bagi seorang individu adalah selagi ia masih dalam bingkai mukallaf, yaitu: beragama Islam, baligh dan akalnya masih jalan. Dengan demikian, anak yang belum baligh, orang gila [majnun], dan mereka yang kehilangan akal-nya tidak wajib melakukan sholat karena tidak masuk kategori mukallaf. Demikian halnya dengan orang yang beragama selain Islam. Mereka seluruhnya tidak masuk kategori mukallaf. 

Sementara itu, para perempuan muslimah yang sudah mencapai usia baligh akan tetapi karena kedatangan perkara baru, seperti haidl dan nifas, mereka tetap disebut sebagai mukallaf, akan tetapi haram melakukan sholat karena adanya dalil yang menunjukkan larangannya. Karena adanya keharaman menunaikan sholat dalam kondisi haidl dan nifas itu, maka perempuan muslimah juga tidak diperintahkan untuk mengqadla’ sholat karena alasan tersebut. Imam al-Ghazali rahimahullah ta’ala menyampaikan:

العزيز شرح الوجيز = الشرح الكبير للرافعي – ط العلمية ١/‏٢٩٤ — الرافعي، عبد الكريم (ت ٦٢٣)

قال الغزالي: (الثَّالِثُ) الصَّوْمُ، فَلاَ يَصِحُّ مِنْهَا وَبَجِبُ القَضَاءُ بِخِلاَفِ الصَّلاَةِ.

“Imam al-Ghazali berkata: yang ketiga adalah puasa. Tidak sah bagi perempuan haidl dan nifas melakukannya. Akan tetapi, ia wajib mengqadla’nya, berbeda dengan shalat.”

Di dalam sebuah atsar dikisahkan persoalan Mu’adzah al-’Adawiyyah yang disampaikan kepada Siti Aisyah radliyallahu ‘anha. Persoalan tersebut berkaitan dengan tindakan qadla’ shalatnya sahabat perempuan Muadzah al-Adawiyyah . Siti Aisyah selanjutnya menyangkal dengan berkata:

العزيز شرح الوجيز = الشرح الكبير للرافعي – ط العلمية ١/‏٢٩٤ — الرافعي، عبد الكريم (ت ٦٢٣)

مَا بَالُ الْحَائِض تَقْضِي الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِي الصَّلاةَ فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّة أَنْتِ، كُنَّا نَدَعُ الصَّوْمَ وَالصَّلاةَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَنَقْضِيَ الصَّوْمَ وَلاَ نَقْضِي الصَّلاةَ

“Apakah seorang perempuan haidl hanya diwajibkan qadla puasa tanpa qadla’ shalat!?” Jawab Aisyah: “Apakah kamu ini seorang haruriyah [liberal]!? Kita semua meninggalkan puasa dan sholat di masa Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu kami mengqadla’ puasa dan tidak mengqadla’ shalat.”

Landasan Waktu Penunaian Sholat dan Ketentuan Qadla’ Shalat

Sholat adalah wajib ditunaikan tepat pada waktunya. Di dalam Q.S An-Nisa 103, Allah SWT berfirman:

إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابًا موقوتًا

“Sesungguhnya shalat itu wajib bagi orang-orang yang beriman dengan kewajiban yang ditetapkan waktunya.”

Kewajiban penunaian secara tepat waktu ini telah menjadi konsensus [ijma’] para imam madzhab. 

فقه العبادات على المذهب الشافعي ١/‏٢١٩ — درية العيطة (ت ١٤٣٧) وقد أجمعت الأمة على أنهن فرض عين، وعلى أنه لا فرض عين من الصلوات سواهن.

“Para Imam Madzhab telah bersepakat atas kewajiban sholat 5 waktu ini sebagai fardlu ‘ain. Tidak ada sholat yang mencapai derajat fardlu ain selain dari sholat 5 waktu.”

Oleh karena itulah, maka sholat wajib dilaksanakan oleh setiap individu mukalaf sebagai kewajiban yang harus ditunaikan selama masa hidupnya, selama seorang individu itu masih memenuhi kriteria kemukallafan-nya

Karena kewajiban syara’ ini pula, maka apabila individu mukallaf meninggalkan sholat, dengan serta merta maka ia terhitung berhutang sholat, sehingga wajib ditunaikan di luar waktu [qadla’ sholat]. 

Ini bukan berarti bahwa shalat itu dibangun di atas landasan bisa ditunda pelaksanaannya, melainkan bahwa sholat itu hendaknya dilaksanakan tepat pada waktunya. Adapun bila karena ada udzur terjadi, maka shalat bisa ditunaikan dengan jalan qadla’. Imam al-Rafi’i rahimahullah ta’ala menegaskan:

العزيز شرح الوجيز = الشرح الكبير للرافعي – ط العلمية ١/‏٢٩٤ — الرافعي، عبد الكريم (ت ٦٢٣) أن أمر الصلاة لم يبن علي أن تؤخر ثم تقضي 

“Sesungguhnya perintah shalat tidak dibangun di atas landasan boleh ditunda pelaksanaannya dan lalu bisa diqadla’.”

Alhasil, idealitas penunaian sholat adalah di dalam waktu yang telah ditetapkan [ada’] dan bukan di luar waktunya [qadla’]. 

Pertanyaannya, sampai kapan perintah sholat ini wajib ditunaikan? Jawabnya sudah pasti adalah selama akalnya masih berjalan.

Spread the love

Related Articles

Tinggalkan Balasan