elsamsi log

Menu

Gadai Motor dan Mobil: Praktik Kredit Beragun Aset dan Ketentuannya dalam Islam

Gadai Motor dan Mobil: Praktik Kredit Beragun Aset dan Ketentuannya dalam Islam

Untuk memahami tulisan ini, maka terlebih  dulu yang harus senantiasa terpatri di benak kita adalah bahwa akad utang dengan adanya jaminan berupa barang fisik yang bisa dijual saat jatuh tempo pelunasan, namun pihak penggadai belum bisa menunaikan kewajibannya, adalah termasuk akad gadai (rahn). Alhasil, secara fikih, dilihat dari nomenklaturnya, akad  gadai adalah merupakan rumpun akad qardl (utang). 

Utang (qardl) sendiri merupakan rumpun dari akad jual beli dengan tempo (bai’ bi al-ajal). Karena di dalam utang (qardl), fisik barangnya tidak bisa berganti ke jenis yang  lain, maka akad utang ini juga bisa disebut barter bertempo (mu’awadlah bi  al-ajal). Mengapa ada istilah tempo? Ya sebab dalam utang meniscayakan adanya ganti yang disertai jeda waktu penyerahan gantinya. Iya, bukan? Nah, inilah keniscayaan itu. 

Dengan mencermati nomenklatur akad gadai di  atas, maka secara ringkas dapat  diartikan juga bahwa yang namanya gadai itu adalah utang dengan syarat (qardl bi syarthin). Karena qardl merupakan  rumpun jual beli, maka bisa juga gadai itu diistilahkan dengan istilah lain, yaitu sebagai bai’ bi syarthi al-wafa'. Anda  mahu menyebutnya sebagai istilah  yang mana sekarang? Mahu disebut qardl bi syarthi al-wafa' atau bai’ bi syarthi al-wafa' (bai' bi al-wafa')? Tapi intinya sama saja, kog. 

Kalau gadai diistilahkan dengan istilah qardl bi syarthin, maka itu artinya utang itu disertai dengan syarat. Syaratnya berupa apa? Ya berupa kebolehan untuk  menjual barang yang dijadikan agunan,  ketika terjadi keterlambatan pelunasan saat jatuh  tempo. Alhasil, kaarena berangkat dari akad qardl, maka jumlah  dana yang diambil dari  hasil penjualan  itu adalah hanya sebesar kekurangan cicilan utang yang   belum diselesaikan. Sisa hasil penjualannya? Ya harus dikembalikan kepada rahin (penggadai). 

Disebut dengan istilah bai’ bi syarthin, adalah disebabkan  karena jual beli dalam gadai meniscayakan adanya tempo (barter bertempo) yang disertai dengan syarat. Syarat yang diikutkan  adalah jika terjadi keterlambatan, maka barang yang  dijjaminkan harus boleh dijual untuk menutupi kekurangan cicilan  pelunasan jual beli tempo itu, yakni utang gadai itu sendiri. Jadi, sampai di sini sudah jelas bukan, nomenklaturnya? Selanjutnya mari simak penjelasan mengenai agunan gadai berupa sepeda atau mobil!

Memahami Makna Sepeda dan Mobil sebagai Agunan

Agunan merupakan istilah lain dari barang  jaminan. Beberapa obyek yang bisa dijamin, antara lain adalah barang (ain), utang (ma fi al-dzimmah), jiwa (nafs) atau biasa disebut dengan istilah pekerjaan (fi’lin). Alhasil, menjamin utang hukumnya adalah boleh. Menjamin barang, hukumnya juga boleh. Menjamin jiwa/pekerjaan, hukumnya juga diperbolehkan. 

Adanya penjaminan, maka meniscayakan obyek yang dipergunakan untuk menjamin (al-madlmun ‘alaih). Kalau yang dijamin adalah barang, maka jaminannya pasti pembayaran barang. Jaminan jenisi ini, disebut dengan istilah dlaman bi al-nafsi atau dlaman bi al-fi’li

Kalau yang dijamin adalah utang, maka jaminannya, adalah penyelesaian utang. Jaminan jenis ini juga masuk dlaman bi al-nafsi. Kalau untuk menutup utang itu harus memakai uangnya penjamin, maka jaminannya berarti adalah kesanggupan menghutangi (dlaman bi al-dain). 

Kalau yang dijamin adalah pekerjaan, maka jaminannya adalah penunaian pekerjaan itu. Jika yang menunaikan pekerjaan itu bukan merupakan pihak yang bermasalah secara langsung (al-ashil) melainkan harus pihak yang menjamin, maka penjaminan jenis ini termasuk bagian dari akad kafalah. Alhasil, kafalah merupakan bagian dari praktik dlaman al-nafs atau disebut juga dlaman al-fi’li (jaminan penunaian oleh pihak ketiga). 

Jadi, jika ada sepeda motor atau mobil yang dijadikan sebagai jaminan atas suatu utang, maka kedudukannya menempati jaminan yang mana? Maka sudah pasti masuk rumpun dlaman bi al-aini, yaitu jaminan berupa barang yang bisa dipakai untuk menutupi utangnya pihak yang mengagunkan sepeda atau mobil untuk utang pribadinya. 

Kalau begitu, rahn (gadai) itu termasuk juga akad dlaman bi al-ain? Jawabnya adalah iya. Alhasil, rahn bisa juga dibaca sebagai tiga akad: (1) qardl bi syarthin, (2) bai bi syarthin, dan (3) daman bi al-ain. 

Lalu bagaimana dengan dlaman bi al-dain? Jawabnya, sama saja dengan dlaman bi al-’ain, maka dlaman bi al-dain itu bisa juga dimasukkan dalam kelompok gadai dengan jaminan berupa barang yang dijamin pengadaannya akibat relasi akad salam (ma fi al-dzimmah). 

Risiko menjadikan Motor dan Mobil sebagai Agunan 

Sebagaimana sudah menjadi kemakluman, bahwa disyariatkannya akad gadai dalam Islam, adalah dengan maqshud al-a’dham (tujuan utama) memudahkan pihak yang membutuhkan pinjaman modal atau dana cash, serta timbulnya rasa keraguan bagi pihak yang meminjami atas utang yang ia kucurkan. Alhasil, adanya barang yang menjadi penengah (wisathah) di antara muta’akaqidain (penggadai dan pegadaian) adalah dalam rangka menerbitkan rasa saling  ridla dan thayyibu al-anfus (enaknya perasaan). 

Dengan mencermati tujuan utama dari adanya wisathah sebagai agunan utang ini, maka secara tidak langsung “batasan” fisik barang yang diagunkan(dlabth al-ain al-marhunah), sebagai keharusan terdiri dari: 

Pertama, berupa fisik yang nilainya “minimal” seimbang dengan kewajiban penunaian utang penggadai terhadap pegadaian. 

Bagaimana jika nilainya kurang dari besarnya kewajiban? Jika nilai harga fisik barang kurang dari besarnya kewajiban, maka dapat melahirkan rasa timbulnya kekhawatiran akan tidak tertunaikannya hutang, kecuali ada penilaian lain yang menguatkan bagi terlunasinya hutang oleh murtahin (pegadaian). 

Bagaimana pula jika nilai fisik barang yang digadaikan lebih dari besara tanggungan? Jika nilainya lebih dari barang tanggungan, maka hal itu tentu merupakan yang lebih utama, sebab secara otomatis tidak menimbulkan adanya keraguan bagi pemberi hutang. Tentu saja, ada pula catatan yang harus disampaikan, yaitu bilamana terjadi tidak bisanya rahin melunasi hutang secara tepat waktu sehingga terpaksa harus tetap melelang barang, maka sisa kelebihan dari penutupan hutang harus dikembalikan kepada rahin (penggadai). 

Kedua, risiko menjadikan motor dan mobil sebagai agunan, adalah pihak rahin (penggadai) harus menyerahkan aset jaminan itu kepada murtahin (pegadaian), apabila diminta. Akad penyerahan ini merupakan buah dari hubungan sebab akibat (luzumah) transaksi gadai, sehingga hanya berlaku jika pihak murtahin memerlukan penyerahan itu. Sifat penyerahan barang gadai di tangan murtahin, merupakan akad berbasis kepercayaan (amanah). 

Adapun bila pihak murtahin tidak memerlukan penyerahan barang, maka akad membiarkan barang gadai (agunan) tetap berada di tangan rahin (penggadai), adalah juga merupakan akad berbasis relasi kepercayaan (amanah). Mengapa? Sebab, lazimnya akad gadai adalah penyerahan barang gadai kepada murtahin dan bukan tetap ada di tangan rahin.

Dengan mencermati relasi sifat amanah terhadap barang agunan tersebut, baik terhadap rahin maupun murtahin, maka berlaku ketentuan yang mengikat di antara keduanya terhadap obyek gadai (agunan), yaitu:

  1. Keharusan kedua pihak untuk menjaga nilai barang sehingga tetap bisa digunakan untuk menutup nilai utang pada saat keberadaan agunan itu diperlukan
  2. Status milik dari barang agunan, adalah merupakan milik sempurna pihak penggadai
  3. Penyusutan nilai jual yang terjadi pada agunan akibat dari penyalahhgunaan atau pemakaian melampaui batas kewajaran, merupakan tanggung jawab dari pihak yang menguasainya untuk membayar ganti rugi. 
  4. Jika penyusutan nilai agunan itu akibat langsung dari dimanfaatkannya barang gadai oleh rahin sendiri, secara terus menerus, sehingga mengalami kerusakan dan berakibat pada penurunan nilai jual barang gadai sehingga tidak bisa menutup kewajiban utang yang ditanggung rahin, maka pihak rahin menjadi wajib untuk mengganti rugi kekurangan bagi pelunasan utang yang disandangnya. Ganti rugi ini merupakan buah dari relasi dlaman al-dain
  5. Sebaliknya, jika penyusutan nilai agunan itu, adalah akibat langsung dari aktifitas penyimpanan murtahin (pihak pegadaian) yang disebabkan pihak murtahin tidak melakukan tindakan perawatan sebagaimana diperlukan terhadap obyek gadai, maka pihak murtahin wajib membayar ganti rugi terhadap barang tersebut, disesuaikan dengan jumlah utang pihak rahin
  6. Status barang agunan di tangan murtahin adalah masuk kelompok barang titipan (wadi’ah). 
  7. Pemanfaatan agunan oleh pihak murtahin terhadap agunan (barang yang berstatus wadi’ah), adalah termasuk tindakan ghashab yang merupakan bagian dari dosa besar (min akabir al-atsam). 
  8. Setiap tindakan ghashab (pemakaian tanpa ijin) terhadap barang titipan, maka berlaku baginya akad ijarah, sehingga pihak pemilik barang (rahin) berhak atas ujrah mitsil, yaitu upah sewa yang disesuaikan dengan ‘urf yang berlaku di sekitarnya. 

Semua catatan-catatan ini sifatnya adalah berlaku bagi obyek gadai (agunan) yang terdiri dari fisik barang yang bisa diambil manfaatnya, seperti: sepeda motor, mobil, almari es, rice cooker, tanah, dan lain sebagainya. Untuk beberapa jenis barang lain, misalnya ternak perah, budak, dabbah, hukumnya juga bisa disamakan (mustahkam) dengan ketentuan-ketentuan di atas, namun sudah pasti ada catatan lain sebab ada biaya nafaqah yang harus dikeluarkan oleh pihak pegadaian. Bagaimana mekanismenya? Simak terus di situs kesayangan anda ini! Wallahu a’lam bi al-shawab

Muhammad Syamsudin (Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jawa Timur)

Spread the love
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur

Related Articles