elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

2 20220226 204426 0001

Berbagai pertanyaan yang diajukan di atas berangkat dari berbagai premis tentang UU No.1/PNPS/1965 sebagaimana disebutkan dalam deskripsi masalah. Sebelum menjawab berbagai pertanyaan tersebut secara spesifik, dipandang perlu untuk memberikan uraian yang memadai terhadap berbagai premis di atas sehingga diharapkan kajian tentang undang-undang tersebut lebih komprehensif. Ada beberapa poin yang perlu diuraikan tentang UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama sebagaimana berikut:

Sejarah dan Keberlakuan UU No.1/PNPS/1965

Pada saat Indonesia berada dalam fase Demokrasi Terpimpin, pemerintah yang dalam hal ini adalah presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. Dalam penjelasannya, Penetapan Presiden ini dikeluarkan karena pada saat itu hampir di seluruh Indonesia muncul berbagai aliran atau organisasi kebatinan yang bertentangan dengan ajaran dan hukum-hukum agama dan memecah persatuan nasional serta menodai agama yang dianut masyarakat. Selengkapnya penjelasan tersebut berbunyi:

“Di antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang menyalahgunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan Agama-agama yang ada.”

Kemudian tujuan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tersebut adalah tiga hal yang dinyatakan sebagai berikut:

“Berhubung dengan maksud memupuk ketenteraman beragama inilah, maka Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan (pasal 1-3); dan kedua kalinya aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa/(Pasal 4).”

Selain mengatur tentang pencegahan penodaan agama, Penetapan Presiden tersebut juga mengamanatkan amandemen pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di mana pada pasal 4 dinyatakan agar ditambahkan satu pasal lagi, yakni pasal 156a yang berbunyi:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

  1. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
  2. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”

Dengan demikian, klausul penodaan agama tidak hanya ada dalam Penetapan Presiden tersebut tetapi juga dimuat dalam KUHP yang merupakan rujukan utama hukum positif Indonesia dalam hal pidana. Pasal 156a KUHP tersebut berada dalam Bab V yang membahas tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum sehingga semangat pasal tersebut yang berasal dari pasal 4 Penetapan Presiden tahun 1965 haruslah dipahami dalam konteks kejahatan terhadap ketertiban umum, bukan dalam konteks kebebasan beragama. Kebebasan beragama tetap dilindungi oleh undang-undang, tetapi kebebasan tersebut bukan berarti bebas melakukan penodaan terhadap agama yang ada.

Pada tahun 1966 setelah Indonesia beralih dari fase demokrasi terpimpin yang dipimpin oleh Soekarno menjadi demokrasi Pancasila yang dipimpin orde baru, pemerintah yang dalam hal ini adalah MPR kemudian mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang Tidak Sesuai Dengan UUD 1945. Tap MPRS ini menginstruksikan agar semua produk perundang-undangan yang tidak dikeluarkan oleh MPRS, baik yang berbentuk Penetapan-Penetapan Presiden, Peraturan-Peraturan Presiden, maupun yang berbentuk Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 termasuk salah satu produk demokrasi terpimpin yang ditinjau tersebut.

Kemudian sebagai realisasinya, pada tahun 1969 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden Dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang. Di dalamnya disebutkan mana berbagai produk perundangan-undangan yang tidak lagi berlaku dan mana yang masih dianggap berlaku. Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama termasuk produk yang dianggap masih berlaku dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat serta tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar. Sejak tahun 1969 inilah kemudian Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 disahkan sebagai UU No.1/PNPS/1965. Dengan demikian, secara historis dapat dikatakan bahwa penetapan presiden (PNPS) Soekarno tersebut telah lolos proses pengujian sehingga pada masa selanjutnya disebut sebagai undang-undang, tidak lagi semata sebagai penetapan presiden (PNPS) hasil produk orde lama.

Dengan demikian, asumsi yang disebutkan dalam deskripsi bahwa Undang-undang UU No.1/PNPS/1965 dikeluarkan di saat masa Demokrasi Terpimpin (orde lama) dalam keadaan darurat untuk menertibkan aliran-aliran yang menjadi ancaman revolusi adalah asumsi yang tidak tepat. Saat itu status negara  adalah normal tanpa ada satu pun pengumuman kedaruratan bagi negara Indonesia. Andai UU UU No.1/PNPS/1965 dianggap tidak relevan lagi karena alasan tersebut, maka semua produk perundangan yang dikeluarkan di saat Demokrasi Terpimpin harus dinyatakan tidak berlaku, dan ini sesuatu yang jelas tidak tepat. Adanya beberapa kasus yang menyebabkan kegaduhan politik pada masa tersebut bukan berarti menandakan bahwa produk perundang-undangan yang dikeluarkan adalah cacat hukum dan hanya berlaku sementara, apalagi pemerintah telah mengkaji ulang kesesuaian UU UU No.1/PNPS/1965 tersebut dan dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 sehingga berlaku sejak tahun 1969 hingga sekarang.

Materi Penodaan Agama dalam Hukum Positif

Penodaan agama tidak dipandang sebelah mata oleh negara Indonesia yang berfalsafah Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, ada beberapa pasal yang terkait penodaan agama yang diatur dalam hukum positif, yaitu:

  1. Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama yang berbunyi : “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
  2. Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 yang berbunyi: ” Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a). yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b). dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
  3. Pasal 156 huruf a KUHP yang tidak lain adalah penetapan Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 tersebut di atas dalam KUHP.
  4. Pasal 28 UU angka 2 Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik menyatakan: “(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
  5. Pasal 45A UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik menyatakan: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa pasal penodaan agama di Indonesia tidak hanya diatur dalam 1 UU No. 1/PNPS/1965 tetapi juga dikuatkan dengan KUHP dan UU ITE. Beberapa kasus penodaan agama, misalnya Lia Eden (kasus tahun 2006) yang mengaku sebagai malaikat Jibril diputuskan dengan KUHP dan beberapa lainnya dengan UU ITE atau dijerat dengan kasus berlapis sekaligus, semisal kasus penghinaan Muhammad Kace terhadap Nabi Muhammad dan agama Islam (kasus tahun 2021) yang didakwa dengan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45a ayat (2) UU ITE dan Pasal 156a KUHP. Dengan demikian, sejatinya membahas tentang pasal penodaan agama tidak cukup dengan hanya membahas UU No.1/PNPS/1965 saja.

Urgensi Pasal Penodaan Agama

Seperti disinggung dalam deskripsi, beberapa pihak menghendaki agar UU No.1/PNPS/1965 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Namun demikian, sesungguhnya pasal penodaan Agama merupakan pasal yang penting untuk tetap ada dalam hukum positif sebuah negara. Dengan itu, negara dapat meminimalisir terjadinya praktek pencemaran, penodaan dan penghinaan pada agama tertentu yang pada akhirnya sangat berpotensi mengganggu stabilitas nasional. 

Urgensi adanya pasal-pasal yang menindak praktik penodaan agama antara lain:

  • Mewujudkan ketentraman, keadaan harmonis, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa, melalui kerukunan interen dan antarumat beragama. Nilai-nilai tersebut tidak dapat diraih apabila tanpa aturan yang mengikat yang melindungi kehormatan masing-masing agama.
  • Mengisi kekosongan hukum. Apabila tidak ada pasal khusus yang mengatur tindakan penodaan terhadap tokoh atau simbol yang dianggap sakral dalam agama, maka tidak akan ada sanksi bagi pelaku pembakaran kitab suci, penghujatan terhadap Tuhan atau Nabi, dan penyelewengan dari ajaran agama yang berlaku umum dalam masyarakat. Tentu saja hal ini bertentangan dengan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan ketuhanan sebagai salah satu norma fundamental negara.
  • Menghindari Tindakan main hakim sendiri. Apabila negara tidak mengatur sanksi bagi tindakan penodaan terhadap agama dengan dalih apa pun, termasuk dalih kebebasan berpendapat atau berpikir, maka dikhawatirkan masyarakat akan melakukan tindakan main hakim sendiri yang pada akhirnya menyebabkan disharmoni dan konflik berkepanjangan.

Pasal penodaan agama tidak hanya diberlakukan di Indonesia tetapi di banyak negara di dunia. Dalam penelitian Pew Research Center pada tahun 2014, dinyatakan bahwa seperempat negara-negara di dunia memberlakukan pasal anti penghinaan agama (anti-blasphemy laws). Tidak hanya di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, pasal penghinaan terhadap agama juga diterapkan dalam negara-negara mayoritas Kristen seperti Australia, Austria, Brazil, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Belanda, New Zealand, Norwegia, Spanyol dan Inggris. Demikian juga di negara yang mayoritas beragama Hindu dan Budha, seperti India, Myanmar, Nepal dan Thailand.

Bahkan negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara atheis pun, seperti Cina misalnya, juga mengenal delik penodaan Agama. Pada tahun 1989, pemerintah China pernah melarang buku yang berjudul  “Xing Fengsu” yang secara literal berarti “Kebiasaan seksual”. Buku ini berisi tentang cerita kebiasaan seksual di berbagai budaya di dunia di mana saat membahas budaya Islam penulisnya menggambarkan ibadah haji sebagai kegiatan pesta seks (orgy) yang di dalamnya termasuk hubungan homoseksual dan sodomi terhadap unta.  Buku tersebut menyebabkan keberatan dari para Muslim China hingga Pemerintah China kemudian melarang peredaran buku tersebut, membakarnya, menutup penerbitnya, dan menahan penulisnya karena dianggap telah menghina agama Islam. Sebab itu akan sangat aneh apabila di negara Indonesia yang notabene negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia justru tidak memberikan perlindungan yang jelas terhadap Agama Islam secara khusus dan agama yang diakui di Indonesia secara umum..

BERSAMBUNG

Spread the love

Related Articles

Tinggalkan Balasan