Penulis masih ingat sekali, bahwa di kisaran tahun 2001, Gus Dur pernah bercerita kalau 40% lahan Perkebunan PTPN terdiri dari tanah bekas hasil merampas lahan rakyat di masa kolonial. Pernyataan ini sempat dikutip oleh para awak media majalah Gerbang, di tahun itu. Berbekal tulisan ini, terjawab sudah mengapa sebelum menjadi presiden, Gus Dur sampai terjun di dunia LSM, seperti Bina Desa, dan yang semisalnya. Tidak lain, adalah karena didorong oleh bersatunya ide dan gagasan.
Saking condongnya beliau dengan reformasi agraria, ada satu statemen terkenal beliau saat menjadi Presiden, yang belakangan statemen ini disinyalir menjadi bagian dari upaya penjegalan beliau, yaitu: “Bikin rancangan aturan land reform, lalu sodorkan ke saya, akan saya tanda tangani.” Demikianlah perhatian beliau terhadap urgennya land reform guna mengatasi sengkarut persoalan agraria di tanah air yang hingga kini pun belum terselesaikan. Dan kiranya, gagasan beliau ini tidak jauh dari latar belakang sejarah bagaimana peraturan agraria pernah diundangkan di Indonesia, sejak jaman kolonial.
Kilas Balik Sejarah Agraria di Masa Kolonial
Singkatnya, penguasaan Belanda atas wilayah koloni Hindia Belanda telah berpengaruh terhadap terbitnya sejumlah peraturan dan undang-undang yang berkaitan dengan pertanahan (agraria).
Sudah barang tentu, terbitnya peraturan ini di latar belakangi oleh misi utama, yaitu memudahkan pemerintah kolonial dalam meneguhkan kekuasaannya, dan men-tahbis-kan diri sebagai penguasa satu-satunya yang berdaulat atas wilayah jajahan sehingga tidak boleh ada negara lain yang masuk dan merebutnya. Merebutnya, adalah sama dengan menentang hukum dan kekuasaan yang diakui secara Internasional, kendati saat itu belum ada badan atau lembaga yang mewadahi dan mengaturnya, seumpama United Nations (PBB).
Itu pula yang menjadi penyebab, mengapa Inggris dan Jepang yang sempat melakukan aneksasi ke Indonesia, tidak berkutik di bawah sistem pemerintahan koloni yang sudah terbentuk dan berdiri saat itu. Dan itu pula yang menjadi motivasi utama kedatanggan Belanda kembali ke Indonesia, pasca hengkangnya Jepang dari tanah air.
Ada empat perangkat utama yang menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda memiliki cokol kuat di Indonesia, yaitu: (1) karena adanya sistem mata uang, (2) karena adanya sistem pengelolaan agraria, (3) karena adanya sistem perpajakan, dan (4) karena adanya matra kekuatan darat dan laut yang ditandai oleh adanya angkatan perang.
Agrarische Wet 1870
Kebijakan agraria pemerintah Belanda, ditandai oleh kemunculan peraturan Regerings Reglement Hindia Belanda pada tahun 1854. Peraturan ini hadir sebagai akibat amandemen UUD (Grond Wet) pemerintah Kerajaan Belanda yang berdampak pada perubahan sistem pemerintahan yang disandangnya. Awalnya, Kerajaan Belanda mengikuti sistem pemerintahan monarki konstitusional. Namun, seiring disahkannya Grond Wet 1854 tersebut, sistem pemerintahan berubah menjadi monarki parlementer.
Kebijakan ini selanjutnya, membawa dampak pada pola pemerintahan di wilayah koloni Belanda, termasuk Indonesia. Dampak secara langsung, adalah terbitnya Regerings Reglement (RR) 1854 yang hadir dalam bentuk undang-undang dan diundangkan lewat Staatsblad 1855 Nomor 2. Staatsblad, merupakan istilah lain dari suatu keputusan yang dibuat bersama antara raja dan parlemen Belanda. Karena diundangkan, maka RR secara tidak langsung menjadi produk turunan (aturan pelaksana) dari amanat Grond Wet 1854. Akan tetapi, di wilayah koloni, peran RR ini menjadi semacam garis-garis besar atau bahkan menjadi Undang-Undang Dasar.
Seiring perkembangan jaman, RR dirasa kurang mampu mewadahi kepentingan pemerintah koloni terhadap wiilayah jajahannya. Pada akhirnya, terbitlah undang-undang pokok agraria pertama yang disahkan lewat Staatsblad tahun 1870. Undang-undang ini selanjutnya disebut Agrarische Wet (AW) 1870. Peran krusial dari AW ini adalah sebagai ayat-ayat tambahan dari Regerings Reglement (RR) 1854.
Secara politis, dikonstitusikannya AW 1870 adalah bertujuan membuka kran masuknya investasi lewat para pengusaha swasta ke wilayah-wilayah yang diakui sebagai koloni pemerintah kerajaan Belanda. Salah satunya adalah wilayah Hindia Belanda (Indonesia).
Peran strategis lainnya, AW 1870 ini seolah menjadi instrumen konstitusi yang mem-back-up (jaminan) kepentingan para pengusaha Belanda tersebut guna melakukan pengembangan usaha. AW 1870 juga sekaligus dijadikan bisanya para pengusaha tersebut untuk membuka hutan dan lahan baru untuk mendiriikan sebuah perusahaan di wilayah koloni.
Perusahaan yang pertama kali didirikan adalah perusahaan sektor perkebunan lewat mekanisme erfpacht dengan masa emisi selama kurang lebih 75 tahun. Walhasil, hak erfpacht ini adalah semacam Hak Guna Usaha (HGU) di era pemerintahan modern. Karena ada durasi waktu, maka hak erfpacht ini adalah semacam transaksi ijarah (akad sewa guna usaha) dengan kewajiban perusahaan untuk membayar hak sewa kepada Pemerintah Hindia Belanda jika tanah tersebut diperoleh dari pembukaan lahan baru.
Di sisi lain, pemberlakuan AW 1870 menjadi pondasi dasar bagi pengusaha swasta Belanda untuk bisa melakukan perjanjian kontrak sewa menyewa dengan penduduk pribumi. Kontrak sewa ini bisa berlangsung selama durasi puluhan tahun. Di sinilah blunder itu terjadi dan sekaligus menjadi tonggak perampokan tanah rakyat oleh Pemerintah Belanda dengan kepanjangan tangan terdiri dari para pengusaha swasta Belanda dan kedatangannya di-backup oleh konstitusi Agrarische Wet 1870.
Di dalam Agrarische Besluit yang ditandatangani lewat Staatsblad tahun 1870 ini, disampaikan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak bisa membuktikan hak eigendom-nya (hak kepemilikan), maka kepemilikan tanah tersebut diambil alih kepemilikannya oleh negara (domein).
Maksud dari diksi “pemerintah” dalam Besluit ini adalah Pemerintah Hindia Belanda. Sementara yang dimaksud sebagai “instrumen pembuktian hak eigendom” (hak kepemilikan sah) atas lahan ini, adalah sertifikat tanah. Dengan kata lain, rakyat yang tidak memiliki sertifikat tanah, dan tanahnya telah terikat kontrak sewa menyewa dengan perusahaan swasta Belanda, maka otomatis tanah itu akan jatuh menjadi bagian yang kelak akan kembali pada Pemerintah Hindia Belanda. Pengumuman resmi sertifikasi ini kemudian dikenal dengan istilah Domein Verklaring (Deklarasi Sertifikasi Lahan).
Mengapa Gus Dur masih menyerukan Reformsi Agraria?
Berbagai manuver yang dilakukan Almarhum Gus Dur dalam menyuarakan landreform awalnya banyak mengundang tanya. Bahkan, karena manuvernya ini pula, Gus Dur termasuk bagian dari pihak yang paling disegani dan sekaligus diawasi oleh penguasa Orba yang mendesakralisasi landreform sebagai bagian dari gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Bukan tanpa sebab, memang keberadaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang diundangkan untuk pertama kalinya adalah terjadi sebelum masa Revolusi 1965 bergulir. Oleh karenanya, UUPA ini kemudian dianggap sebagai bagian dari produk yang ada campur tangannya PKI.
Selain itu, istilah landreform sendiri juga diakui sebagai istilah yang dikampanyekan oleh Lenin, tokoh sentral komunis. Ini sebabnya kemudian penerapan UUPA Nomor 5/1960 di lapangan menjadi dimaknai lain oleh penguasa ORBA kala itu sehingga menyimpang dari agenda awalnya. Bagaimana Penyimpangan itu terjadi?
UUPA Nomor 5 Tahun 1960
Motif utama lahirnya UUPA Nomor 5/1960 pada 24 September 1960, adalah bertujuan untuk menciptakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat serta pemberian kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah, khususnya bagi masyarakat petani. Landasan kontitusional dari UUPA adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Diundangkannya UUPA, selanjutnya diikuti dengan keluarnya Perppu No. 1/1960 tentang batas luas maksimum dan luas minimum kepemilikan tanah. Di tahun 1961, Perpu ini kemudian berubah menjadi UU Nomor 1/1965 tetang Penetapan Luas Tanah Pertanian atau yang biasa dikenal sebagai Undang-Undang Landreform. Aturan pelaksana dari UU Landreform dituangkan dalam PP No. 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Sejauh penelusuran penulis, persoalan yang ada di sekitar UUPA 1960, sebenarnya adalah karena adanya dualisme hukum pertanahan di tanah air yang berlaku saat itu, yaitu (a) hukum adat, dan (b) hukum eropa.
Hukum adat berlaku atas tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat pribumi dan tanah adat. Tanah ini sebelumnya dikenal dengan istilah tanah perdikan. Ciri dasarnya adalah pihak Tuan Tanah bertindak selaku kepala desa di wilayah perdikan tersebut dan berlaku secara turun temurun. WIlayah ini memiliki hak istimewa berupa bebas dari kewajiban membayar pajak sebagai tanda pengakuan atas jasa-jasa yang telah dilakukan oleh “Tuan Tanah” atau penguasanya sebelum kemerdekaan. Sementara itu hukum eropa, berlaku atas tanah-tanah bekas peninggalan penjajah kolonial, yang terdiri atas perkebunan dan hutan industri.
Akibat dari dualisme hukum pertanahan ini, maka buntut kebijakan yang diberlakukan atas tanah menjadi berbeda pula. Tanah partikelir, merupakan tanah yang dikuasai oleh orang Arab, Eropa, Tionghoa dan Inggris dari hasil membeli kepada Pemerintah Kolonial Belanda saat mereka mengalami kesulitan keuangan. Yang dijual oleh Belanda bukan hanya tanah fisiknya, melainkan juga penduduk dan sekaligus hak administrasinya.
Pemilik tanah partikelir ini (sebelum berlakunya UUPA 1960) adalah ibarat pemilik negara di dalam negara. Mereka berhak untuk memaksa penduduk di wilayahnya guna melakukan kerja paksa yang diperuntukkan bagi tuan tanah. Itu sebabnya muncul istilah Bang Mandor yang sejatinya perannya adalah selaku kepala supervisi, namun justru menjadi kepala keamanan dan berhak menjebloskan penduduk yang dianggap melanggar ke penjara.
Penghapusan tanah partikelir ini secara tidak langsung menjadi ibarat menyulut api di dalam sekam. Gejolak di permukaan tidak terasa, namun menyediakan bara di baliknya yang siap membakar kapan saja ketika sudah waktunya.
Turunnya Presiden Soekarno dan beralihnya kekuasaan kepada Pemerintah Orba, menjadi pemicu mantan pemilik tanah partikelir berusaha untuk menguasai kembali hak-hak mereka. Hanya saja, polanya sudah berbeda. Penyebabnya, karena tanah-tanah asal mereka telah dibagikan kepada para petani atau diganti rugi oleh negara akibat diberlakukannya UU batas maksimal kepemilikan tanah. Di era Orba, aksi mereka beralih ke penguasaan hutan lewat penguasaan hak kelola hutan.
Untuk menyatukan dualisme di atas, maka diundangkanlah UUPA 1960, sehingga hukum pertanahan dapat disatukan sebagai hukum pertanahan di Indonesia.
UUPA 1960 ini rupanya diterjemahkan lain oleh pemerintah Orba, dengan menghilangkan esensi distribusi dan pemerataan lahannya kepada masyarakat. Justru UUPA ini dijadikan dasar bagi birokratisasi sistem pertanahan rakyat berbasis eigendom / girik. Jadi, kembali pada sistem domein varklering pola kolonial. Tidak ada pretensi untuk melakukan distribusi lahan yang mampu menambah luasnya lahan pertanian, yang hingga tahun 1978 hanya berkisar +30% dari total luas tanah Indonesia dengan tingkat penguasaan petani atas lahan seluas 0,5 hektar per Kepala Keluarga di tahun 1970-an(Sayogjo, 1978) dan terus menurun hingga sekarang dengan tingkat penguasaan lahan per KK kisaran 0,3 ha (BPS, 2020).
Adapun hak penguasaan atas hutan (HPH) dan pengelolaannya, justru diberikan kepada para pengusaha-pengusaha yang bermodal besar. Jalur penguasaan ini diperoleh lewat praktek birokratisasi sistem yang penuh dengan nuansa KKN. Inilah yang kemudian disebut oleh pemerintah berkuasa saat itu sebagai aplikasi dari reformasi agraria. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah pseudo landreform. Masyarakat kecil yang menjadi fokus utama dari UUPA 1960, tidak tersentuh sama sekali melainkan hanya sekedar mendapat pengakuan atas lahan yang dimilikinya lewat giryc.
Kondisi ini semakin diperparah dengan munculnya para mafia-mafia tanah yang melakukan kolusi dengan petugas agraria Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan yang paling parah adalah apabila sudah berkolusi dengan aparat penegak hukum dan petugas pengadilan. Jadi, mafia tanah ini memanfaatkan peluang kedekatannya dengan birokrasi untuk memuluskan rencananya dalam ber-akrobat guna menguasai hak atas tanah dengan berbagai modus, pengangkatan dokumen masa kolonial yang sebenarnya dokumen ini seharusnya sudah tidak berlaku lagi seiring berlakunya UUPA 1960 dan UU landreform 1961. Tentu saja pelakunya pastilah orang kuat. Korbannya, sudah pasti pula adalah rakyat yang sebelumnya sudah mendapat pengakuan hak berdasarkan pembagian dari pemerintah di era Bung Karno.
Mencuatnya kasus-kasus ini sudah lama menjadi incaran Gus Dur sejak era-era 1980-an dan menjadi pemicu bagi beliau untuk tetap menyuarakannya sampai akhir hayat beliau. Dan buah dari salah satu perjuangannya adalah keluarnya Tap MPR 2001 yang berisi tentang pembaruan tanah yang diawali kembali kajiannya sejak tahun 1999 setelah sebelumnya dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan oleh penguasa pendahulunya karena takut dicap sebagai terpapar komunis. Wallahu a’lam bi al-shawab