Pada tulisan terdahulu yang berjudul Problematika Daging Ayam Impor dari Brasil dan Kehalalan Produk, penulis telah menyampaikan mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan daging ayam dari Brasil. Produk itu dipasarkan dan rencana diimpor dalam bentuk produk makanan olahan (makanan siap saji). Jenis produk secara nyata adalah terdiri atas jenis binatang yang halal secara syara’.
Permasalahannya, adalah:
- Indonesia merupakan negara yang mayoritas dihuni oleh umat Islam
- Status impor produk ini tidak ada sangkut pautnya dengan tingkat kedaruratan. Stok produk peternakan dalam negeri masih terbilang mencukupi.
- Kehalalan suatu produk bagi masyarakat muslim, adalah tidak hanya berhenti pada jenis binatang yang dikonsumsi, melainkan juga cara penyembelihannya
- Brasil dihuni oleh kurang lebih 89% umat katolik dan protestan. 10,5%-nya terdiri dari penganut kepercayaan Spiritisme dan Budhisme. Hanya 0,01% terdiri dari penduduk muslim.
Pertanyaannya: halalkah produk daging ayam impor dari Brasil tersebut dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia?
Sebagai catatan, bahwa produk ayam Brasil ini juga telah diimpor ke Asia Tengah termasuk Arab Saudi dan negeri muslim lainnya.


Batas-Batas Ketentuan Halal-Haram Produk Daging Impor
Untuk menjawab permasalahan ini, berikut ini penulis sampaikan beberapa petikan yang terdapat dalam kutubu al-turats yang dirasa relevan.
Pertama, di dalam Kitab Tuhfatu al-Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj, Juz 3 halaman 326, disampaikan bahwa:
وتحرم مذبوحة ملقاة، وقطعة لحم بإناء إلا بمحل يغلب فيه من تحل ذكاته، وإلا إن أخبر من تحل ذبيحته، ولو كافرا بأنه ذبحها (تحفة المحتاج بشرح المنهاج (3/ 326))
“Haram hukumnya: temuan berupa buangan daging hewan yang disembelih, atau potongan daging hewan yang disembelih dan ditaruh dalam suatu wadah, kecuali di tempat tersebut hidup seseorang yang halal sembelihannya. Paling tidak, jika ada informasi bahwa daging tersebut disembelih oleh orang yang halal sembelihannya, meskipun pemberi informasi itu seorang kafir.”
Berdasarkan ibarat ini, bahwa kunci kehalalan produk, adalah:
- Di wilayah daging itu berasal, hidup pihak-pihak yang halal sembelihannya
- Kepastian adanya pihak yang halal sembelihannya ini, cukup hanya berdasarkan informasi. Artinya, bukan tayaqqunan, melainkan dhannan (dugaan).



Kedua, di dalam Bughyatu al-Mustarsyidin, halaman 37 disampaikan, bahwa:
فائدة : لا يقبل خبر الفاسق إلا فيما يرجع لجواب نحو دعوى عليه ، أو فيما ائتمنه الشرع عليه ، كإخبار الفاسقة بانقضاء عدتها ، أو إخباره بأن هذه الشاة مذكاة فيحكم بجواز أكلها ، وكذا بطهارة لحمها تبعاً ، وإن كان لا يقبل خبره في تطهير الثوب وتنجيسه وإن أخبر عن فعل نفسه ، اهـ لكن اعتمد ابن حجر والشيخ زكريا ، قبول قوله طهرت الثوب لا طهر.( بغية المسترشدين (ص: 37))
“Faedah: Khabar orang fasiq tidak bisa dijadikan rujukan kecuali dalam beberapa hal, yaitu: untuk menjawab dakwaan, atau menjawab informasi yang dibutuhkan terkait dengan perkara syara yang dipercayakan kepadanya, misalnya informasi perempuan fasiq mengenai selesainya masa iddahnya, atau informasi mengenai seekor kambing, bahwa kambing tersebut telah disembelih secara syar’i sehingga boleh dikonsumsi. Hal yang sama berarti juga berlaku atas sucinya daging kambing tersebut, karena mengikut pada asal. Namun, informasi dari pihak fasiq ini tidak bisa diterima bila isinya adalah 1) berkaitan dengan sucinya pakaian atau sebaliknya najisnya pakaian. Atau 2) dia menginformasikan mengenai perbuatan yang telah ia lakukan. Ada catatan bahwa Syeikh Ibnu Hajar al-Asyqalany dan Syeikh Zakaria al-Anshary menyatakan bisa diterimanya ucapanya orang fasiq dalam hal sucinya pakaian, sebaliknya tidak diterima perihal penyuciannya pakaian.
Kandungan yang bisa kita ambil dari ibarat ini bila dikaitkan dengan konteks daging impor, adalah:
- Butuh adanya pihak yang memberi informasi mengenai cara penyembelihan, pelaku penyembelihan hewan yang halal dikonsumsi oleh muslim tersebut.
- Kebenaran informasi yang disampaikan tidak harus bersifat tayaqqunan, melainkan dhannan. Hal ini berangkat dari mafhum dalil mengenai sisi kefasiqan pihak pemberi informasi
Ketiga, Di dalam Kitab Hasyiyah I’anatu al-Thalibin, Ju 1 halaman 125, disampaikan:
ولو شك أنه لبن مأكول أو لحم مأكول أو غيره، أو وجد شاة مذبوحة ولم يدر أن ذابخها مسلم أو مجوسي، أو نباتا وشك أنه سم قاتل أم لا، حرم التناول، ولو أخبر فاسق أو كتابي بأنه ذكاها قبل. (حاشية إعانة الطالبين (1/ 125))
“Jika terjadi keraguan mengenai informasi asal susu atau daging hewan yang ma’kul al-lahmi (bisa dikonsumsi) atau tidak, misalnya ada seekor kambing yang sudah disembelih, namun tidak diketahui siiapa penyembelihnya, apakah muslim atau majusy (penyembelah api), atau ada sebuah tumbuhan, namun tidak diketahui apakah tumbuhan itu beracun yang bisa membunuh atau tidak, maka haram hukumnya menkonsumsi itu semua. Akan tetapi, bilamana terdapat seorang fasiq yang memberikan informasi (misalnya) bahwa hewan itu telah ia sembelih maka informasi itu bisa diterima.”
Kandungan yang bisa dipentik dari ibarat ini, adalah masih sama dengan kandungan ibarat sebelumnya, yaitu bahwa kehalalan suatu produk daging impor, adalah bergantung pada:
- Butuh adanya pihak yang memberi informasi mengenai cara penyembelihan, pelaku penyembelihan hewan yang halal dikonsumsi oleh muslim tersebut.
- Kebenaran informasi yang disampaikan tidak harus bersifat tayaqqunan, melainkan dhannan. Hal ini berangkat dari mafhum dalil mengenai sisi kefasiqan pihak pemberi informasi



Keempat, sembelihan kafir kitaby adalah halal. Sebagaimana hal ini bisa kita ketahui dari petikan Kitab Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Ju 13, halaman 298, sebagai berikut:
لو وجدت شاة مذبوحة فقال ذمي : ذبحتها حلت، على أن قولهم لو وجد قطعة لحم في إناء أو خرقة ببلد لا مجوس فيه أو والمسلمون فيه أغلب فطاهرة لأنه يغلب على الظن أنها ذبيحة مسلم يقتضي تصديق المسلم إليه مطلقا لتأييد دعواه بغلبة الظن المذكورة (نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج (13/ 298))
“Andaikata ditemukan adanya kambing yang disembelih, lalu seorang kafir dzimmy mengaku bahwa ia telah menyembelihnya, maka halal kambing sembelihan itu. Hal ini berdasarkan pendapat para ulama bahwa jika suatu ketika ditemukan adanya sekerat daging dalam suatu wadah, atau dibungkus dalam suatu kemasan, dan terdapat di suatu negeri yang penduduknya bukan kaum majusi (ubadatu al-ashnam), atau di negeri itu ada warga muslim yang menduduki mayoritas, maka daging tersebut dihukumi suci karena alasan kuatnya dugaan (ghalabat al-dhan) bahwa itu adalah sembelihannya orang muslim. Sasaran dari qaul ini sebenarnya adalah penyandaran kebenaran atas orang muslim secara mutlaq, demi menjaga dakwahnya agar terus berjalan. Oleh karenanya, ditetapkan batasan ghalabat al-dhan sebagaimana yang telah dituturkan.”
Mahfum dari ibarat ini, adalah:
- Bahwa dalil asal sembelihan yang sah secara syara, adalah sembelihannya orang muslim
- Sembelihannya kafir kitaby hukumnya adalah halal, berdasarkan istishab. Tujuan dari istishab ini, adalah untuk menjaga agar dakwah muslim tetap berjalan di negara daging impor itu berasal.
- Yang mengundang permasalahan kita, adalah kehalalan itu masih ada hubungannya bila kondisi muslim masih digambarkan sebagai yang mayoritas. Namun, setidaknya ada penegasan bahwa sembelihannya kafir dzimmy (kitaby) adalah halal.
Kelima, dalil ashal kehalalan adalah bergantung pada jenis asal hewan itu disembelih
Sebagaimana kita tahu, bahwa daging impor dari Brasil itu, terdiri dari hewan yang secara dhahir merupakan ma’kul al-lahmi (halal dikonsumsi dagingnya oleh muslim). Berdasarkan hal ini, maka hukum asal mengkonsumsi daging tersebut adalah boleh karena beberapa syarat penyembelihannya sudah terpenuhi untuk wilayah Brasil, yaitu: 1) Adanya ketegasan bahwa penduduk Brasil terdiri dari mayoritas beragama Kristen Katolik dan Protestan, dan 2) Ada penduduk muslim yang tinggal di sana, meskipun tidak menempati mayoritas.
Imam Nawawi rahimahullah, dengan mengutip pandanga Imam al-Mutawally rahimahullah, menyampaikan dalam Kitab Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, Juz 1, halaman 210, sebagai berikut:
(فرع) هذا الذى ذكرناه كله فيما علم أن أصله الطهارة وشك في عروض نجاسته أما ما جهل أصله فقد ذكر المتولي فيه مسائل يقبل منه بعضها وينكر بعض فقال لو كان معه إناء لبن ولم يدر أنه لبن حيوان مأكول أو غيره أو رأى حيوانا مذبوحا ولم يدر أذبحه مسلم أم مجوسي أو رأى قطعة لحم وشك هل هي من مأكول أو غيره أو وجد نباتا ولم يدر هل هو سم قاتل ام لا فلا يباح له التناول في كل هذه الصور لانه يشك في الاباحة والاصل عدمها هذا كلام المتولي (المجموع شرح المهذب – شجرة العناوين (1/ 210))
“Permasalahan Cabang: Semua yang telah kita tuturkan ini, pada dasarnya berangkat dari pengetahuan bahwa ashal (daging hewan yang disembelih, bisa dipastikan) adalah berasal dari hewan suci. Keraguan terjadi terhadap penilaian sisi kenajisan, khususnya apabila daging itu tidak diketahui asal hewannya. Imam al-Mutawalli menyampaikan, pada kasus tidak diketahuinya asal daging semacam ini terdapat beberapa masalah. Di satu sisi, ada indikasi bisa diterima kehalalannya, namun di sisi lain tidak bisa diterima. Selanjutnya, al-Mutawalli menyampaikan: “andaikata ada sebuah wadah berisi susu sebelanga, namun tidak diketahui asa muasal susu itu, apakah dari binatang ma’kul al-lahmi atau tidak, atau ada seekor hewan yang sudah disembelih, dan tidak diketahui siapa penyembelihnya, apakah muslim atau majusi, atau dilihat adanya sekerat daging yang diragukan apakah ia berasal dari hewan yang halal dikonsumsi atau tidak, atau ada tumbuhan yang diragukan apakah beracun atau tidak, maka dalam kondisi keraguan semaacam ini, tidak dibenarkan mengkonsumsi itu semua dengan alasan syak (keraguan) terhadap status kebolehannya. Sebagaimana kaidah: al-ashlu adamuha (Dalil asal mengkonsumsi sesuatu adalah ketidakbolehannya (sebab adanya keraguan)). Ini adalah pernyataan Syeikh al-Mutawalli.”
Kesimpulan Hukum
Dengan mencermati pandangan di atas, dan menimbang asalnya daging hewan yang hendak diimpor serta komposisi penduduk Brasil yang terdiri dari Katolik dan Protestan, serta menimbang adanya unsur penjagaan dakwah kaum muslim di negara tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa:
- Mengkonsumsi daging impor dari negara Brasil tersebut, hukumnya adalah boleh sebab jelas bahwa ada informasi mengenai penyembelihannya sebagaimana yang diberitakan dalam beberapa media.
- Hukum kebolehan ini, sudah barang tentu menghendaki adanya pihak/lembaga yang bisa meneliti lebih dekat terhadap kondisi industri pengolahan daging impor Brasil dan memastikan bahwa hal itu sesuai dengan apa yang diberitakan oleh mass media.
Rujukan Referensi Tambahan
الأشباه والنظائر للسيوطي (ص: 65)
الثالث ما يرجح فيه الأصل على الأصح وضابطه أن يستند الاحتمال إلى سبب ضعيف وأمثلته لا تكاد تحصر منها الشيء الذي لا يتيقن نجاسته ولكن الغالب فيه النجاسة كأواني وثياب مدمني الخمر والقصابين والكفار المتدينين بها كالمجوس ومن ظهر اختلاطه بالنجاسة وعدم احترازه منها مسلما كان أو كافرا كما في شرح المهذب عن الإمام وطين الشارع والمقابر المنبوشة حيث لا تتيقن والمعنى بها كما قال الإمام وغيره التي جرى النبش في أطرافها والغالب على الظن انتشار النجاسة فيها وفي جميع ذلك قولان أصحهما الحكم بالطهارة استصحابا للأصل
الأشباه والنظائر للسيوطي (ص: 74)
الفائدة الثانية قال الشيخ أبو حامد الإسفرايني الشك على ثلاثة أضرب شك طرأ على أصل حرام وشك طرأ على أصل مباح وشك لا يعرف أصله فالأول مثل أن يجد شاة في بلد فيها مسلمون ومجوس فلا يحل حتى يعلم أنها ذكاة مسلم لأنها أصلها حرام وشككنا في الذكاة المبيحة فلو كان الغالب فيها المسلمون جاز الأكل عملا بالغالب المفيد للظهور
الاقناع في حل ألفاظ أبى شجاع ـ مفهرس (1/ 377)
قلت: لو أخبر فاسق أو كتابي أنه ذكى هذه الشاة قبلناه لأنه من أهله ذكره في التتمة ولو وجد شاة مذبوحة ولم يدر أذبحها مسلم أو كتابي أم مجوسي فإن كان في البلد مجوس ومسلمون لم يحل للشك في الذكاة المبيحة والله أعلم.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.