Manusia adalah makhluk yang di-nash sebagai berjenis kelamin binary. Jika tidak laki-laki, maka perempuan. Tidak sebagaimana tumbuhan yang bisa jantan, betina dan hermaprodit.
Bagi mukallaf, penetapan jenis kelamin merupakan hal penting sebab ada rangkaiannya dalam ibadah dan kewajiban-kewajiban lainnya yang berhubungan dengan perilaku individu mukallaf dan peribadatan. Jadi, tidak sebagaimana dunia barat yang mengakui adanya jenis kelamin ketiga.
Pengakuan terhadap jenis kelamin ketiga merupakan yang dilarang oleh syara’ sebab sama halnya dengan melegalkan perkawinan sejenis (homoseks). Itu sebabnya, ada batasan-batasan syara’ yang tidak bisa dilanggar dan diterjang sebab merupakan dosa besar, bahkan terancam kufur.
Untuk melakukan diferensiasi jenis kelamin tersebut, maka setelah adanya perkembangan dunia kedokteran, para fuqaha telah merumuskan mengenai tata cara pembedaannya.
Apakah boleh berpedoman pada informasi medis? Imam al-Nawawi (w. 676 H) rahimahumullah menyampaikan:
يجوزُ أنْ يعتمدَ في كونِ المرضِ مرخصًا معرفةَ نفسهِ إنْ كانَ عارفًا، ويجوزُ اعتمادُ طبيبٍ حاذقٍ، بشرطِ الإسلامِ، والبلوغِ، والعدالةِ، ويعتمدُ العبدُ والمرأةُ.
“Seseorang dalam kondisi sakit dan berupaya mencari dispensasi syariah, boleh berpedoman pada pengetahuan dirinya apabila dirinya orang yang tahu, atau merujuk pada dokter spesialis dengan syarat Islam, baligh, bersifat adil (‘adalah), baik seorang budak atau perempuan.” (Raudlatu al-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin, 1/103)
Hierarki Sains dalam Pengenalan Kelamin Binary
Dunia sains, khususnya Biologi, memiliki derajat pengenalan terhadap suatu individu makhluk hidup. Pertama kalinya, sains akan berbicara mengenai morfologi (al-’alamatu al-hissiyyah). Morfologi merupakan bagian terpenting sebab sebelum seseorang jauh lebih mengenal aspek batin, maka yang dilihat terlebih dulu, adalah bentuk hissiyah (tanda-tanda dhahir yang nampak di permukaan).
Selanjutnya, apabila terjadi kerancuan dalam pengenalan, umumnya para saintis kemudian akan melihatnya dari sisi faktor fisiologi. Tanda-tanda fisiologi yang nammpak pada makhluk hidup, menjadi alternatif kedua, setelah morfologi tidak mampu mengatasinya. Contoh tanda fisiologi, adalah kencing, keluarnya susu, keringat, ketertarikan pada lawan jenis (feromon), menstruasi, feses, suara, dan lain sebagainya.
Ketika fisiologis sudah tidak mampu mengatasi, maka kajian merambah ke bagian yang lebih pelik, yaitu mempelajari struktur anatomi tubuh, organ reproduksi, sistem hormonal, dan sistem jaringan tubuh (histologi). Jika hal ini masih juga belum mampu untuk membedakan, maka kajian ditingkatkan beralih ke jenjang seluler (Biologi Molekuler) hingga Genetika, dan Biokimia.
Satu hal yang dipedomani, adalah bahwa semua tingkatan kajian – mulai dari kajian aspek morfologi, fisiologi, struktur anatomi tubuh, biologi molekuler dan genetika – adalah ibarat layaknya ilmu ushul dan furu’-nya. Oleh karena itu, setiap bidang tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri secara terpisah sehingga bersifat ilzam dan iltizam (saling meneguhkan / sebab akibat) sehingga rasional (dhanniyyat). Perkembangannya juga telah melewati berbagai macam eksperimen dan pengamatan sehingga bisa dipertanggungjawabkan.
Keberadaannya yang bisa dipertanggungjawabkan ini menempatkan sains tersebut sebagai layaknya madzhab dalam dunia kajian fiqih. Bedanya, sains bergerak dalam dunia fisik, sementara madzhab fuqaha bergerak dalam ranah pemahaman nushush al-syariah. Sebagai madzhab “keilmuan”, dua-duanya bersatu dalam “batas-batas” kajian yang bisa diterima oleh rasio.
Hierarki Kelamin Binary oleh Fuqaha’
Secara umum, dalam kesempatan ini penulis akan memetakan rumusan tersebut, sebagai berikut:
Pertama, diferensiasi jenis kelamin, ketika ada 2 organ kelamin sejati dan tampak fisik dari luar. Prinsip yang digunakan oleh fuqaha, adalah sepakat menentukannya berdasarkan indikator fungsi fa’al tubuh, yang secara tertib adalah berdasarkan: 1) prinsip dominansi kencing (baul) dari kedua organ, 2) keluarnya mani, 3) keluarnya haidl, 4) mail al-nafsi (kecondongan kepada lawan jenis), dan 5) wiladah.
Meskipun demikian, ada juga para ulama’ yang menyampaikan peran tanda-tanda lain, seperti tumbuhnya payudara, keluarnya laban (susu), keberadaan kurangnya tulang rusuk, dan beberapa jenis indikator fisik lainnya. Apabila semua tanda-tanda tersebut belum bisa mewadahi semuanya sehingga masih terjadi sulitnya penetapan status jenis kelamin yang beraangkutan, maka keputusannya diserahkan pada hakim berbekal ikhbari maili nafsi al-khuntsa (informasi kecondongan diri si pelaku). Sifat pemberian ikhbar ini hukumnya adalah wajib segera manakala ditemui adanya kecondongan oleh pelaku. Bila tidak memberikan informasi, maka Si Pelaku terancam sebagai yang fasiq.
Dan apabila di kemudian hari ada fakta kebalikan dengan organ fisik yang tampak, seperti bisa melahirkan, maka sebagaimana yang disampaikan oleh Syeikh Zakaria al-Anshari, jenis kelamin bersangkutan bisa berubah menjadi perempuan.
Kedua, diferensiasi jenis kelamin, ketika hanya ada 1 organ kelamin laki-laki sejati dan tampak fisik dari luar, namun menurut medis ia memiliki rahim. Menurut Imam al-Mawardi, jenis kelamin pihak yang mengalami hal ini ditetapkan berdasarkan organ kelamin luarnya. Apabila dilakukan operasi penyesuaian dengan organ “reproduksi dalam”, hal tersebut tidak berpengaruh terhadap status jenis kelaminnya. Penggantian organ tersebut hanya dikelompokkan sebagai tabadduli al-shifat dan tidak sebagai tabaddul al-dzat.
Ketiga, diferensiasi jenis kelamin, ketika hanya ada 1 lubang yang sama, namun lubang itu sama sekali tidak bisa dikategorikan sebagai Mr P atau sebaliknya sebagai Miss V. Akan tetapi, organ reproduksi dalamnya bisa dibedakan lewat medis sebagai yang memiliki rahim atau sebaliknya tidak memiliki rahim. Untuk penentuan jenis kelamin, menurut ulama salaf ditetapkan berdasarkan indikator sebagaimana yang berlaku untuk pihak yang memiliki 2 organ kelamin sekaligus sampai kemudian ada tanda-tanda dhahir. Seiring kemajuan di dunia medis, para fuqaha’ mu’ashirin menetapkan bolehnya mengacu pada hasil diagnosa dokter.
Keempat, diferensiasi jenis kelamin ketika hanya ada 1 lubang yang sama, dan tidak identik sebagai Mr P atau Miss V. Sementara itu, organ dalamnya juga tidak bisa dibedakan sebagai organ reproduksi laki atau perempuan. Dalam konteks ini, analisa dokter menjadi diterima setelah melakukan perincian kembali terhadap maksud dari ikhbaru nafsi al-khuntsa ‘an mailihi. Dan apabila terjadi kasus yang berkebalikan, dengan hasil diagnosa atau ikhbar, misalnya, bisa hamil, maka tanda-tanda baru tersebut yang diikuti sehingga bisa mengalami perubahan status jenis kelaminnya.
إذا أخْبَرَ بِمَيْلِهِ إلى أحَدِهِما عُمِلَ بِهِ ولا يُقْبَلُ رُجُوعُهُ عَنْهُ بَلْ يَلْزَمُهُ الدَّوامُ عَلَيْهِ فَلَوْ كَذَّبَهُ الحِسُّ بِأنْ يُخْبِرَ أنَّهُ رَجُلٌ ثُمَّ يَلِدَ بَطَلَ قَوْلُهُ: ويُحْكَمُ بِأنَّهُ امْرَأةٌ
“Ketika seorang khuntsa musykil telah menginformasikan kecondonggannya kepada salah satu jenis kelamin tertentu, maka jenis kelaminnya ditetapkan berdasar pengakuan tersebut. Tidak boleh baginya mencabut pengakuan itu, bahkan harus berjalan selamanya. Namun, apabila ciri fisik (morfologi) ternyata berdusta dalam menyampaikan informasi bahwa dirinya adalah laki-laki, namun kemudian ternyata bisa melahirkan, maka batalllah pengakuan pertamanya dan hukum yang berlaku adalah jenis kelaminnya perempuan.” (Al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarhi al-Bahjati al-Waridah li al-Syeikh Zakariya al-Anshary, Juz 1, halaman 133).
(Bersambung)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.