Penulis sudah menyampaikan pada tulisan terdahulu, tentang apa itu securities crowdfunding (SCF). Namun jika anda masih bingung juga, apa itu securities crowdfunding, maka secara singkat, program ini dapat disebut juga sebagai cara mencari dana modal usaha. Jika sebelumnya, untuk mencari bantuan modal, para pengusaha UKM harus lari ke perbankan, namun di securities crowdfunding (SCF) ini, para pengusaha diajari mengenai cara mencari dana lewat pasar modal. Instrumennya adalah jual beli saham dan sukuk (obligasi syariah).
Pencarian dana di pasar modal itu ada 2 strategi, yaitu 1) strategi equity crowdfunding (pencarian modal berbasis modal minimal sebesar 50 juta atau lebih) lewat akad jual beli saham, dan 2) strategi securities crowdfunding. Khusus strategi terakhir ini diciptakan untuk unit UKM dengan modal kecil kurang dari 50 juta. Adapun instrumen yang dipergunakan untuk mencari tambahan modal tersebut, adalah jual beli saham dan sukuk (obligasi syariah). Nah, faham kan?
Selanjutnya, ditinjau dari aspek fikih, ke mana securities crowdfunding itu dicabangkan, juga sudah kita uraikan di tulisan terdahulu. Ada tiga percabangan fikih yang pasti berlaku salah satunya, yaitu qiradl, mudlarabah dan syirkah. Namun, yang menjadi titik tengkar (mahal niza’) adalah akadnya bukan lagi berbasis akad amanah, melainkan berubah menjadi akad yad al-dlammanah (berbasis jaminan hukum oleh lembaga yang berwenang / OJK dan Bappebti).
Adanya peralihan basic akad dari konvensional (akad amanah) ke akad yad al-dlammanah (berjamin hukum) setidaknya melahirkan beberapa risiko yang harus disadari baik oleh investor maupun oleh pengusaha UKM itu sendiri, bahkan oleh penyelenggara SCF. Karena ketiganya terlibat dalam jalinan relasi satu sama lain, maka risiko yang harus disadari pertama kali oleh ketiganya adalah pasti berkaitan dengan akad (dlamman al-’aqd). Ini penting supaya tidak ada yang merasa dirugikan salah satunya oleh pihak lain. Di sini kita akan uraikan satu per satu mengenai clue-clue risiko tersebut!
RISIKO ATAS PENGUSAHA UKM
Penggalian dana melalui securities crowdfunding, meniscayakan pihak investor tidak mengetahui secara langsung track record dari pengusaha UKM. Pihak Investor hanya menerima informasi secara umum tentang pengusaha lewat papan informasi yang disediakan oleh pihak penyelenggara SCF. Tentu saja, informasi ini harus bisa dipertanggungjawabkan oleh penyelenggara SCF. Pertanggungjawaban ini sudah pasti pula ada dalam bentuk jaminan hukum bagi keamanan dana investor. Ketiadaan jaminan, menjadikan batalnya akad SCF, sebab ia menempati maqamnya amanah (yanzulu manzilata al-amanah).
Dengan demikian, terhadap pengusaha UKM, adanya akad yad al-dlamanah, meniscayakan adanya risiko berupa kesiapan pihak UKM untuk memberikan ganti rugi bila sewaktu-waktu terjadi kasus wanprestasi akibat perbuatannya sehingga merugikan pihak investor. Bila tidak, maka pihak pengusaha UKM itu akan berurusan dengan aparat penegak hukum. Mengapa? Sebab, dalam konteks SCF, pengusaha UKM adalah bertindak selaku penerbit efek (emiten).
Selanjutnya risiko yang harus disadari oleh seorang pengusaha UKM selaku penerbit adalah risiko yang berkaitan dengan akad. Risiko ini mencakup 1) akad yang berlaku atas diri pengusaha UKM dengan pihak penyelenggara (kafil), dan 2) akad yang berlaku atas diri pengusaha UKM dengan pemilik modal (rabbu al-mal).
Pertama, risiko yang berkaitan dengan kafil (penyelenggara), sudah barang tentu adalah berkenaan dengan hal-hal sebagai berikut:
- Akad permintaan pengusaha UKM untuk mencarikan modal kepada kafil. Akad ini bisa dipandang sebagai 2, yaitu: a) berbasis akad ijarah atau berbasis akad ju’alah (prestasi), dan b) berbasis akad qiradl atau mudlarabah.
- Konsekuensi dari penggunaan akad ijarah dan ju’alah, adalah pihak pengusaha UKM harus bersedia membayar upah (ujrah atau ju’lu) kepada penyelenggara SCF setiap kali pihak penyelenggara bisa mencarikan dana yang diselenggarakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Demikian halnya bila pihak pengusaha mengembalikan dana itu kepada pihak penyelenggara SCF, maka akad yang berlaku adalah akad qardl. Artinya, karena menggunakan akad qardl, maka pengembalian dana itu harus sebesar dana itu diterima oleh pihak pengusaha. Tidak boleh lebih atau kurang. Jika terjadi pengembalian lebih, maka menabrak illat larangan riba. Jika kurang, maka status utangnya menjadi belum lunas.
- Adapun konsekuensi bila menggunakan basis akad qiradl dan mudlarabah, adalah pihak pengusaha UKM harus menyediakan hisab yang jelas terhadap modal yang diterimanya sehingga kelak berpengaruh terhadap pembagian hasil keuntungan yang harus diserahkan kepada penyelenggara SCF.
Kedua, risiko yang berkaitan dengan relasi pengusaha UKM dengan investor. Risiko akad yang berkaitan dengan relasi antara kedua pihak ini sudah pasti berhubungan dengan sistem akan bagi hasil.
Bagaimanapun juga, tujuan dari penyerahan dana para investor kepada kafil (penyelenggara) dengan sasaran pengusaha UKM tertentu, adalah berbasis akad wakalah untuk tujuan mendapatkan hasil. Hasil hanya bisa dicapai bila ada ruang usaha yang menyajikan skema bagi hasil.
Tanpa adanya ruang kerja (kulfah), maka akad penyerahan itu akan menjadi akad qardl, sehingga bila ada pengembalian lebih, kelebihan itu akan dapat menyeret investor sebagai pelaku riba. Namun, bila ada ruang usaha, maka hasil yang dimiliki akan menjadi keuntungan yang sah secara syara’.
Karena tidak mungkin menghindar dari keharusan membagi hasil untung dan kerugian (profit and loss sharing), maka pengusaha UKM harus sadar bahwa modal yang diterima dari penyelenggara SCF merupakan efek dari jenis saham dan sukuk. Oleh karenanya, ia harus menyiapkan akuntabilitas pengelolaannya.
RESIKO ATAS PENYELENGGARA SCF (KAFIL)
Di sisi lain, risiko juga berlaku atas pihak yang berperan selaku penjamin transaksi (kafil bi al-nafsi) yang terdiri dari pihak penyelenggara SCF. Risiko ini setidaknya bisa diklasifikasi menjadi 2, yaitu:
Pertama, risiko yang berhubungan dengan relasi kafil (penyelenggara) dengan investor. Risiko ini berupa kesiapannya untuk memberikan jaminan secara hukum atas dana investor apabila terjadi kasus wanprestasi. Ia harus siap mengurus dan mengawasi penasarufan dana tersebut. Dana investor di tangan kafil, adalah berbasis akad amanah dengan relasi akad wakalah muthlaqah atau muqayyadah.
Kedua, risiko yang berhubungan dengan relasi kafil dengan pengusaha UKM. Relasi ini sudah pasti berkaitan dengan permintaan pengusaha agar kafil mencarikan aliran modal dari para investor untuk keperluan raising fund (menambah pasokan dana). Dengan pasokan dana, pihak pengusaha UKM dapat mengembangkan usahanya (growing up). Ini adalah idealitasnya.
Karena pihak penyelenggara SCF merupakan yang berdiri di antara pengusaha dan investor, maka penting artinya pihak satu ini diperkuat legalitasnya secara hukum. Tanpa legalitas itu, akan sulit bagi pihak satu ini untuk menjalankan fungsi akuntabilitas penasarufan dana hasil urun bersama tersebut. Itu sebabnya, penting artinya bagi pihak satu ini sebagai yang terdaftar di lembaga resmi yang diakui secara legal formal, misalnya OJK atau Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
RISIKO ATAS INVESTOR
Risiko ketiga dialami oleh investor. Risiko ini berkaitan dengan prinsip penyerahan hartanya kepada pihak kafil (penyelenggara aktifitas urun dana / securities crowdfunding). Akad penyerahan ini ada 2 kemungkinan pembacaan, yaitu: sebagai akad qardl dan akad kerjasama sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Dilihat dari sisi penyerahan modal kepada kafil (penyelenggara SCF) untuk diserahkan kepada pihak yang tidak dikenal, ditambah adanya jaminan berupa kepastian hukum, maka tidak mungkin penyerahan ini dimaknai sebagai akad qardl (utang piutang). Akad penyerahan ini sudah pasti harus dinilai (paling tidak) sebagai akad berbasis qiradl (penyertaan modal).
Karena modal yang diserahkan akan dipergunakan oleh pihak yang tidak dikenal oleh diri investor, maka penting artinya bagi pihak ini untuk memperhatiikan kredibilitas dan legalitas dari penyelenggara SCF.
PENUTUP
Semua bentuk-bentuk risiko di atas merupakan buah dari hubungan sebab akibat (talazum). Sebab tidak mengenal pengusaha UKM secara langsung, maka perlu penengah (penyelenggara SCF). Karena penyelenggara pun juga tidak dikenal secara langsung, maka perlu jaminan hukum. Jaminan hukum hanya ada ketika penyelenggara SCF diakui sebagai lembaga yang legal.
Di Indonesia, gambaran relasi sebab akibat antara ketiga pihak yang dimaksud di atas, diatur alurnya di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 57/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi (POJK 57 Securities Crowdfunding atau SCF) yang mulai diberlakukan semenjak Desember 2020. Alhasil, kita tinggal mengadopsinya saja. Semua risiko di atas sudah diprediksi sedemikian rupa, sehingga telah diatur beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk mendaftar sebagai UKM yang hendak ikut program SCF, termasuk juga bagaimana prosedur untuk mendaftar menjadi penyelenggara SCF dan menjadi investor. Silahkah rujuk langsung ke POJK 57 tersebut untuk informasi lebih lanjut!