Tahukah anda, bahwa di dalam hukum Islam telah diatur mengenai ketentuan penyerahan harta kepada orang lain? Penyerahan ini merupakan perintah Allah SWT secara langsung sehingga melakukannya, termasuk bagian dari amanah syariat.
Apa saja yang termasuk bagian dari akad penyerahan harta yang diamanahkan ini? Ikuti yok, ringkasan dari akad-akad tersebut.
Pertama-tama, kita akan kelompokkan dulu mengenai akad penyerahan harta kepada orang lain ini di dalam hukum Islam. Setidaknya ada 2 akad penyerahan yang terkenal dalam Islam yaitu:
- Penyerahan harta tanpa disertai ganti (badal)
- Penyerahan harta yang wajib disertai ganti (badal)
Untuk penyerahan harta yang wajib disertakan ganti dalam bentuk fisik harta yang lain, maka kita mengenalnya sebagai akad pertukaran (mu’awadlah) / barter, jual beli, sharf dengan segala rumpunnya berupa utang, tempu, salam, dan kredit.
Kali ini kita fokus pada penyerahan harta tanpa disertai ganti (badal / ‘iwadl).
Ada beberapa mekanisme penyerahan harta tanpa adanya ganti dalam Islam. Hukum dari penyerahan ini, mengikuti sebaran hukum taklifi dalam Islam.
Hukum taklifi, merupakan hukum yang berlaku atas orang mukallaf, berupa perintah nash. Jadi, dalam penyerahan harta tanpa ganti kepada pihak lain ini, ada yang hukumnya wajib, sunnah, mubah, makruh, bahkan haram.
Pertama. Penyerahan harta kepada pihak lain dan bersifat wajib sebab nash serta tanpa ganti, disebabkan beberapa syaratnya terpenuhi. Yang termasuk dalam akad penyerahan wajib ini kita kenal sebagai istilah zakat. Penyerahan ini ditandai oleh sebab:
- Sebab menemui akhir tenggelamnya matahari dari bulan Ramadlan dan malam 1 syawal. Akad penyerahannya dikenal dengan istilah zakat fitrah
- Harta yang sudah mencapai satu tahun pengelolaan / penyimpanan dan melebihi kadar 1 nishab. Akad penyerahan harta semacam ini dikenal dengan istilah zakat mal.
Kedua. Penyerahan harta kepada pihak lain dan wajib tanpa adanya ikatan waktu, kita kenal dengan beberapa istilah:
- harta ghashab: sebab memakai harta orang lain tanpa idzin
- harta curian: sebab usaha memiliki harta orang lain tanpa hak dan mengambilnya dari gudang / tempat penyimpanan
- harta ganti rugi: sebab telah berbuat kerugian kepada orang lain. Termasuk bagian dari ganti rugi (dlaman), adalah ta’widl li al-ta’dib (denda) dan arsyun (ganti rugi).
- harta titipan: sebab adanya akad penitipan harta (wadi’ah). Cirinya: harta yang dtitipkan tidak berganti fisik. Adapun bila berganti fisik, maka disebut wadi’ah yad al-dlammanah, atau qardlu hukman atau bai’ hukman.
- harta pinjaman (i’arah): sebab adanya akad pinjam barang dan harus kembali sesuai dengan barang yang dipinjam itu, tanpa adanya ganti
- harta temuan: sebab menemukan barang, dan pihak penemu mendapati adanya orang yang mencari barang yang ditemukan oleh penemu. Harta semacam ini masuk rumpun pembahasan Bab Luqathah.
- Upah : sebab telah selesainya kerja pihak yang disewa dalam akad ijarah
- Ju’lu: sebab tercapainya ketentuan yang dipersyaratkan oleh pihak yang mempekerjakan (ja’il) dalam akad berbasis capaian prestasi kerja
- Utang: sebab adanya relasi akad utang-piutang yang dipersyaratkan adanya waktu jatuh tempo
- Barang gadai (marhun): sebab pihak yang menggadaikan barang sudah menebus kembali harta gadanya.
- Barang sende: sebab pihak yang menjual barang sudah memenuhi ketentuan jual beli yang dipersyaratkan berupa janji akan ditebus kembali. Namun, untuk konsep terakhir ini, adanya pada Madzhab Hanafi. Dalam Madzhab Syafii, akad semacam disebut akan gadai (rahn)
- Nafkah: sebab adanya ikatan, baik ikatan itu wajib secara tsubut (tak bisa berubah), misalnya nafkah anak terhadap orang tua, atau wajib secara luzumah (tidak wajib bila putus ikatannya), misalnya ikatan nafkah suami terhadap istri.
- Pajak: sebab ikatan taat uli al-amri dan relasi akad muwathanah antara pemerintah penyelenggara negara dengan warganya
- Washiyat : sebab adanya ikatan wajib menyampaikan pesan terakhir dari pemberi wasiat terhadap penerimanya
- Harta waris: sebab adanya ikatan antara ahli waris dengan mayit
- Harta Nadzar: sebab adanya ikatan kewajiban berupa nadzar dan nadzar tersebut tidak bertentangan dengan keterangan yang terdapat dalam nushush al-syariah.
- Mahar: sebab ada pertalian akad nikah dan berlaku sebagai penghalal budlu’ atau berjima’ dengan perempuan yang dinikahinya atau dalam kasus wathi syubhat.
Ketujuh belas harta-harta ini, adalah wajib disampaikan kepada penerimanya karena adanya relasi sikap amanah / kepercayaan. Pihak yang mendapatkan amanah menyampaikan, dilabeli sebagai umana’ (pemegang amanah).
Ketiga. Harta yang disampaikan kepada orang lain karena semata-mata berharap ridla Allah SWT (tabarru’). Harta ini dilabeli dalam syariah sebagai berikut:
- Shadaqah jariyah: sebab pihak yang memberi berharap fahala yang terus mengalir setelah kematiannya. Harta shadaqah kelompok ini dapat ditukargulingkan secara mutlak oleh pihak penerima tanpa adanya ikatan apapun selain berusaha menjaga kemaslahatannya
- Wakaf : pada dasarnya sama dengan shadaqah jariyah, akan tetapi obyek harta yang diwakafkan harus tetap terjaga, tanpa boleh ditukar dengan obyek lain yang menghilangkan esensi dari wakafnya.
- Hibah bi al-tsawab. Harta ini biasanya berwujud dalam rupa kelebihan dari harta yang diutangkan, namun tanpa adanya pemberian syarat oleh pihak yang memberi utang.
Inisiator dari hibbah bi al-tsawab, adalah semata dari pihak yang diutangi, disebabkan tuntunan Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: bahwa sebaik-baik pihak yang berhutang adalah yang paling baik dalam mengembalikan utangnya.
Keempat. Harta yang disampaikan kepada pihak lain, tanpa adanya ikatan apapun dari pihak yang menyerahkan. Harta semacam ini dikenal dengan istilah hibah dan hadiah. Hukumnya jaiz. Ada sedikit perbedaan antara hibah dengan hadiah.
- Hibah merupakan bentuk pemberian tanpa ikatan dengan harapan bermanfaatnya barang itu. Harta ini sering kali disematkan sebagai pemberian cuma-cuma.
- Hadiah merupakan bentuk pemberian karena adanya relasi keluarga, kerabat, atau rekanan, yang memiliki tujuan utama menumbuhkan kecintaan atau kasih sayang antar sesama. Jika sebuah hadiah memiliki relasi dengan prestasi, maka hartanya menjadi bonus (ju’lu) dan menjadi wajib disampaikan, karena ikatan dengan nash berupa wajibnya menepati janji.
Kelima. Harta yang disampaikan kepada pihak lain tanpa adanya imbalan, namun makruh penyerahannya. Penyerahan seperti ini, misalnya berlaku pada penyerahan alat al-lahwi (alat yang bisa melalaikan seseorang kepada berdzikir dan shalat).
Keenam. Harta yang disampaikan kepada pihak lain dan hukumnya haram melakukannya. Ada 2 kemungkinan akad penyerahan ini terjadi:
- Sebab mendukung perbuatan ma’shiyat yang kelak berujung pada mempermudah diri penerima, misalnya adalah Al-Risywah (suap)
- Sebab mendukung pada perbuatan yang diharamkan (mungkar), misalnya minuman keras, alat untuk melakukan pembunuhan, riba, dan sejenisnya.
Sebenarnya masih banyak harta-harta lain yang bisa dimasukkan ke dalam bagian-bagian akad penyerahan harta tanpa adanya ganti / jasa di atas. Namun, kiranya ikhtisar itu sudah cukup untuk bisa memetakan dari semua harta yang ada. Semoga bermanfaat!
Muhammad Syamsudin
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.