el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Ketika sebuah akad dibangun atas dasar akad qiradl atau mudlarabah, maka disyaratkan adanya pembagian hasil menurut kesepakatan awal kerjasama permodalan itu dibangun. Dalam konteks ini, pihak yang berperan selaku rabbu al-maal sudah diwakili oleh sebuah asosiasi investor. Permasalahannya kemudian adalah bagaimana cara melakukan bagi hasil terhadap sebuah keuntungan yang berlaku? 

Suatu misal, dalam akad mudlarabah, bagi hasil itu ditetapkan dalama nisbahh 70% untuk mudlarib (pelaku usaha) dan 30% untuk rabbu al-maal. Ingat, bahwa rabbu al-maal dalam konteks ini sudah diwakili oleh sebuah asosiasi!

Itu artinya, nisbah pendapatan sebesar 30% harus dibagi ke peserta asosiasi rabbul maal tersebut. Lantas, apa acuan dasar bagi pembagian itu? Apakah tidak menabrak terhadap kaidah riba qardli? Di sinilah letak menariknya permasalahan.

Bagi pihak yang berpedoman bahwa penyerahan harta kepada pihak asosiasi yang mewadahi para investor ini adalah sebagai berbasis akad qardl, maka tak pelak lagi bahwa kembalian yang berasal dari pembagian nisbah keuntungan pendapatan usaha sebesar 30% bagi rabbu al-maal tersebut, adalah dipandang sebagai riba qardli. 

Akan tetapi, lain halnya bagi pihak yang berpedoman bahwa asosiasi merupakan istilah lain dari nafsun i’tibary (ka al-jasad al-wahid) sebagaimana dikuatkan oleh sebuah hadits bahwa “seorang muslim dengan muslim lainnya adalah ibarat jasad yang satu.” Sebagaimana muqtadla al-aqdi (intisari tujuan) dari didirikannya sebuah asosiasi permodalan adalah untuk bersama-sama melakukan usaha menyediakan modal guna memodali sebuah usaha. Jadi, asosiasi adalah nafsun i’tibary, kinayah. Alhasil, asosiasi ini berhak atas bagian hasilnya sebesar 30%. 

Karena asosiasi itu didirikan lewat jalan patungan modal maka hal itu meniscayakan adanya bagi hasil terhadap seluruh peserta yang terlibat dalam asosiasi rabbul maal (serikat pemodal) tersebut. Berapa nisbahnya? 

Karena setiap peserta bisa berbeda-beda dalam penyertaan modalnya, maka langkah yang paling dekat dengan kebenaran adalah mengikuti pedoman bagi hasil syirkah inan. Alhasil, nisbah pembagian deviden (hasil usaha) yang seharusnya diterima oleh investor, adalah dihitung berdasarkan akumulasi total penyertaan modal terhadap modalnya individu investor. Selanjutnya, nisbah ini dikalikan dengan 30% keuntungan yang didapat oleh pihak asosiasi. 

Dengan mengikuti alur ini, maka besaran hasil yang diterima oleh setiap investor menjadi tidak bisa dikategorikan sebagai riba qardli, yakni buah dari relasi akad utang. Akad bagi hasil tersebut, merupakan buah dari relasi akad syirkah. Sementara pendapatan yang diperoleh oleh pihak asosiasi dalam penyertaan modal terhadap suatu bidang usaha, adalah buah dari relasi akad mudlarabah (baca: wakalah muqayyadah bi al-ju’li), atau qiradl (baca: wakalah muthlaqah bi al-ju’li). 

Karena keberadaan dua akad syirkah dan mudlarabah yang ada dalam satu rangkaian di atas, maka akad ini sering dikenal juga sebagai akad syirkah-mudlarabah. Secara tidak langsung, akad ini bisa juga disebut sebagai syirkah qiradl, atau syirkah yang disertai akad wakalah muthlaqah

Gambaran Akad yang dibenarkan dan Tidak Dibenarkan oleh Syariat dalam Janji Bagi Hasil kepada Para Investor

Dari semua penjelasan di atas, kesimpulan yang bisa kita tarik dari seluruh penjelasan yang ada, bisa kita gambarkan dalam bentuk 2 relasi akad sebagai berikut:

Pertama, apabila ada sebuah proyek investasi yang membutuhkan modal sebesar 100 juta, maka boleh menetapkan nisbah bagi hasil yang disepakati antara mudlarib (kontraktor) dan asosiasi pemodal (asosiasi rabbu al-maal) sebesar 60% : 40%. Jika di dalam asosiasi pemodal itu terhimpun 10 orang pemodal, yang masing-masing menyertakan modal sebesar 10 juta rupiah, maka boleh menjanjikan akad bagi hasil berdasar keuntungan yang didapat sebesar 10% keuntungan untuk setiap investor yang terlibat dalam asosiasi. Alasannya, adalah karena memenuhi syarat akad bagi hasil, baik secara mudlarabah dan sekaligus secara syirkah. Pendapatan yang didapat adalah halal.

Kedua, apabila ada sebuah proyek investasi yang membutuhkan modal sebesar 100 juta, maka boleh menetapkan nisbah bagi hasil yang disepakati antara mudlarib (kontraktor) dan asosiasi pemodal (asosiasi rabbu al-maal) sebesar 60% : 40%. Jika di dalam asosiasi pemodal itu terhimpun 10 orang pemodal, yang masing-masing menyertakan modal sebesar 10 juta rupiah, maka tidak boleh menjanjikan akad bagi hasil berdasar keuntungan yang didapat sebesar 10% dari modal yang disertakan untuk setiap investor yang terlibat di dalam asosiasi. Alasannya, adalah karena terpenuhi syarat riba qardli yang diakibatkan terjadinya akad mudlarabah fasidah, dan syirkah fasidah. Pendapatan yang didapat adalah haram. Wallahu a’lam bi al-shawab

Muhammad Syamsudin (Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim)

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

1 Comment

Avarage Rating:
  • 0 / 10

Tinggalkan Balasan

Skip to content