el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Marketing Plan

Kecenderungan, munculnya aplikasi penghasil keuangan dewasa ini adalah menawarkan skema akad kerjasama dan bagi hasil yang dikemas dalam sebuah plan marketting mereka lalu dilabeli sebagai investasi. Ironisnya, plan ini justru dijadikan wahana untuk melakukan pengelabuan. Misalnya, ada aplikasi yang menawarkan proyek Big Data. Uniknya, di tengah usaha membangun Big Data, ternyata pihak pengembang sudah memberikan penghasilan kepada para investornya. Semestinya, bagi para investor ini bertanya, darimana penghasilan itu didapat? Bukankah bidang jasanya belum ada? 

Di sisi lain, ada aplikasi yang menawarkan sebuah proyek pendanaan, akan tetapi di dalamnya sudah dipatok hasil yang pasti. Misalnya, untuk penyertaan modal sebesar 1 juta, para investor akan mendapatkan imbal hasil sebesar 2,5% setiap harinya. Apakah, penghasilan ini merupakan yang logis dan tidak menerjang syara’? Ini juga semestinya yang ditanyakan oleh para investor. Jika tidak ketemu nalar, maka sudah pasti ada usaha melakukan usaha penipuan yang dapat merugikan terhadap investor lainnya. 

Syariat, menegaskan bahwa tidak boleh berlaku dlarar (merugikan) dan dlirar (saling merugikan). Artinya, yang dimaksud dengan kerugian, adalah bukan bukti penghasilan yang bisa didapatkan saat ini oleh para pengguna aplikasi. Namun, kerugian yang dimaksud oleh syara’ dan dilarang dilakukan adalah juga kerugian yang bisa didapat oleh pihak lain karena ulahnya. Dalam kasus aplikaasi yang berbasis money game, kerugian potensial itu sudah barang tentu merupakan hal yang sangat besar dan pasti terjadi pada anggota terakhir. Inilah maksud dari dlirar yang dilarang itu. Jadi, jangan hanya fokus pada keuntungan diri sendiri, tapi kerugian orang lain itulah yang semestinya juga turut diperhatikan.

Kali ini, penulis akan menyoroti khusus mengenai janji penghasilan yang ditawarkan oleh syara’ dan sebagai yang harus diikuti oleh para pengembang aplikasi dan sekaligus oleh para pengguna aplikasi. Ketiadaan sebuah aplikasi, mengikuti ketentuan ini, bisa jadi aplikasi tersebut adalah money game. 

Islam Menjawab Tantangan Akad Bagi Hasil 

Di era modern, akad bisnis menjadi semakin berkembang. Ada banyak produk turunan skema bisnis yang dilibatkan. Seluruhnya bermula dari akad syirkah. Ada banyak pemodal (investor) yang dilibatkan. 

Jika menilik dari banyaknya investor yang terlibat, maka kita langsung berasumsi bahwa skema bisnis ini adalah mengambil dasar dari akad syirkah. Namun, dalam faktanya tidak semua investor itu melakukan kerja bersama-sama demi mendapatkan keuntungan bersama-sama. 

Pihak yang berperan selaku pengelola dana investasi, adalah mereka yang duduk dalam dewan komisaris atau manajer perusahaan. Sementara itu pihak investor hanya duduk menunggu hasil / keuntungan didapat oleh perusahaan. 

Akad semacam ini, setidaknya memungkinkan dibaca (istiqra’) oleh para fuqaha sebagai 3 model pembacaan (aujah), yakni: 

Pertama, akad penyerahan modal oleh investor kepada pengusaha, adalah dihitung sebagai akad utang (qardl). Akibat pembacaan ini, maka ketika ada seseorang membeli saham, maka akad pembelian ini seolah dimaknai sebagai akad menghutanginya pihak investor terhadap pihak pengusaha. Alhasil, jika ada pembagian hasil usaha (deviden) yang melebihi dana investasi yang diserahkan oleh investor kepada pengusaha, maka kelebihan itu seolah bisa dimaknai sebagai manfaaat dari utang sehingga termasuk akad riba qardli (riba utang). 

Kedua, akad penyerahan modal oleh investor kepada pengusaha, lewat aksi jual beli saham dan obligasi, adalah termasuk jenis akad qiradl muthlaqah atau mudlarabah muthlaqah yang kemudian diistilahkan dalam bentuk akad lain yaitu akad wakalah muthlaqah. (Lihat kembali bahasan di atas, bahwa akad qiradl dan akad mudlarabah, pada dasarnya adalah merupakan akad wakalah bi al-ju’li!). 

Sudah barang tentu, dalam hal ini kita membutuhkan yang namanya qarinah (indikasi / petunjuk / penjelas) bahwa akad itu benar-benar masuk dalam rumpun akad wakalah muthlaqah yang secara otomatis masuk dalam ruang qiradl dan mudlarabah (bagi hasil). Ada beberapa qarinah yang bisa kita tarik, antara lain: 

  1. Pihak yang berperan selaku rabbu al-maal (pemilik modal) dalam akad qiradl atau akad mudlarabah, tidak harus dilakukan oleh seorang pribadi. Pihak rabbu al-maal bisa terdiri atas sebuah asosiasi (kumpulan pemodal) yang bekerjasama dalam menyediakan modal. Hal ini senafas dengan perintah untuk saling  bergotong royong atau tolong menolong dalam mengatasi suatu masalah. Inti utama dari adanya perintah tolong-menolong ini, adalah kerjasama dalam mengangkat suatu beban masalah. Jika beban itu terdiri dari modal, maka patungan dalam menyediakan modal, adalah yang diperkenankan dalam syariat seiring adanya hadits yang menyatakan bahwa barang siapa mengangkat beban kesusahan duniawi seorang muslim, maka Allah SWT akan mengangkatnya dari kesusahan kelak di hari kiamat.
  2. Perintah tolong menolong dalam mengangkat beban ini juga senafas dengan bunyi hadits bahwa setiap orang yang beriman satu dengan orang beriman lainnya adalah ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkan. 
  3. Dengan mencermati dua qarinah di atas, maka mengumpulkan pemodal dalam satu ruang himpunan penyedia modal adalah sudah masuk dalam ruang rabbu al-maal. Alhasil, rabbu al-maal dalam konteks ini merupakan yang dimaknai menurut sisi kemafhuman terhadap dhahir dalil dan bukan semata sebagai tekstualnya dalil (manthuq). 
  4. Kebutuhan akan modal mendirikan sebuah usaha, memang membutuhkan dana yang sedemikian besar, oleh karenanya membutuhkan sarana untuk bisa melakukan penggalangan dana guna mencukupi ruang kebutuhan modal tersebut. Alhasil, kebutuhan ini menempati derajat dlarurah li al-hajat sebab tanpa adanya usaha penggalangan tersebut, justru sulit untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang ekonomi terhadap negara lain.

Simak selanjutnya di sini >>>>>>

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content