elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Pexels Quintin Gellar 696205 768x461

Istibdal, merupakan sebuah istilah yang dibentuk dari akar kata ba-da-la yang berarti ganti. Oleh karenanya, ketika kalimat tersebut diubah susunannya mengikuti wazan istaf’ala – yastaf’ilu – istif’alan, sehingga berubah susunanan menjadi istiabdala- yastabdilu – istibdalan, maka artinya berubah menjadi permintaan ganti. 

Di dalam konteks mu’amalah, istibdal merupakan padanan dari suatu istilah upaya mencari ganti rugi atas hilang/rusaknya suatu barang yang diakibatkan perbuatan ta’addy (melampaui batas), taqshir (sembrono), idler (sikap merugikan) atau ‘udwan (permusuhan). Indikasii dari terjadinya sifat taqshir adalah terjadinya itlaf (rusak/musnah)nya harta orang lain akibat suatu perbuatan sehingga merugikan pihak lain (dlarar). 

Tidak selalu yang disebut sebagai sebagai itlaf (musnah) di sini, adalah bahwa sesuatu itu dilakukan dengan jalan kekerasan fisik, dan sejenisnya. Tindakan itlaf, adakalanya juga sama-sama diketahui dan sama-sama disadari. Namun, pihak yang dirugikan hanya bersifat menuntut ganti rugi (dlaman) saja. 

Semisal, anda menitipkan uang kepada teman anda. Kemudian uang tersebut digunakannya untuk membeli sesuatu. Saat sore hari, anda meminta uang itu kembali. Teman anda memberikan uang kepada anda, namun ternyata fisiknya bukan lagi fisik uang yang anda titipkan. Fisik itu berganti yang lain, dan jumlahnya sama persis. 

Baca juga:
Syarat dan Rukun Jual Beli
Obyek Barang yang bisa dijualbelikan dalam Islam
Jual Beli Kontan, Tempo, Kredit dan salam

Dirunut dari akad muamalah, penggunaan uang anda oleh teman anda itu disebut akad utang (qardl). Kendati anda bilangnya titip, yang sejatinya akad ini masuk rumpun akad wadi’ah. Illat sederhananya, adalah pergantian fisik uang antara saat diserahkan ke anda, dan saat anda menyerahkan uang itu ke teman anda kembali. Alhasil, dlahir lafadhnya titip, namun bathin akadnya berubah menjadi qardlun hukman

Nah, pergantian fisik semacam ini dikenal dengan literasi akademik fikih muamalah sebagai istilah istibdal. Terkadang sebutan ini untuk akad berbasis titip, diartikan sebagai wadi’ah yad al-dlamanah (titip disertai kesiapan ganti rugi bagi piihak yang dititipi). Disebut ganti rugi, disebabkan lenyapnya (itlaf) fisik uang pertama yang diserahkan. Sehingga kemudian berlaku kaidah:

الخراج بالضمان

“Pengeluaran berbanding lurus dengan besaran ganti rugi.” 

Inilah kaidah utama dari istibdal itu. Selain kaidah la dlarara wa la dlirara (tidak boleh berbuat merugikan atau saling merugikan). 

Istibdal dan Bai’ Murabahah

Sebagaimana telah diijelaskan pada waktu yang lalu, bahwa bai’ murabahah pada dasarnya adalah bai’ amanah. Amanah yang berlaku atas penjual adalah kewajiban menyebutkan harga kulak (ra’su al-mal). Amanah yang berlaku atas pembeli adalah memberikan keuntungan (ribhun) kepada penjual.  

(Baca: Transaksi Murabahah adalah Transaksi yang Istimewa – El-Samsi (elsamsi.my.id))

Ketika dua kewajiban yang berlaku atas masing-masing pihak ini tidak bisa dijalankan sebagaimana mestinya sampai batas waktu pelaksanaan majelis transaksi, maka terjadilah yang dinamakan kerugian (dlarar) atas pihak lainnya. Kerugian itu adalah buah dari sikap menyelisihi amanah, atau yang biasa kita kenal sebagai tindakan khianat. Alhasil, sikap khianat ini adalah merugikan sehingga wajib (lazim) menuntut adanya ganti rugi (dlaman). 

Baca Juga:
Cara mengambil Keuntungan Niaga (Murabahah) dalam Islam

Berapa Besaran Ganti Rugi yang harus dibayarkan?

Buah lain dari sikap khianat, adalah akad jual belinya menjadi fasid (rusak). Jual beli ini tidak bisa lagi disebut bai’ murabahah. Akad itu harus berubah menjadi akad yang lain yang setimbang dengan besaran kerugian yang harus dibayarkan oleh pembeli kepada penjual. 

فإن كان فاسداً لم يجز بيع المرابحة؛ لأن المرابحة بيع بالثمن الأول مع زيادة ربح، والبيع الفاسد يثبت الملك فيه بقيمة المبيع أو بمثله، لا بالثمن، لفساد التسمية

“Selama akad jual beli itu berubah menjadi akad yang fasad, maka tidak boleh diatasnamakan bai’ murabahah. Sebab murabahah merupakan akad jual beli dengan pemberitahuan harga awal yang disertai tambahan keuntungan. Sementara jual beli akibat akad yang fasad, mengharuskan (perpindahan) kepemilikan itu dinilai berdasar mengganti harga barang itu (sama persis), atau mengganti harga barang secara sepantasnya sesuai harga umum di pasar (qimat al-mitsli), dan bukan berdasar harga kulaknya barang, Semua ini karena satu alasan, yaitu sebab akad murabahahnya rusak.” (al-fiqhu al-islamy wa adillatuh)

Suatu misal, anda menjual sepeda. Menurut kaidah jual beli murabahah, anda harus memberitahu kepada calon pembeli: “Sepeda ini saya beli dengan harga 700 ribu. Kalau kamu mahu, saya akan jual ke kamu dengan harga 500 ribu sebab sudah saya gunakan selama beberapa waktu.” Lalu, pembeli menawar: “Sepertinya, harga ini kemahalan. Bagaimana kalau saya beli 450 ribu.” Penjual menjawab: “Oke.” Lalu terjadi transaksi serah terima harga dan barang. 

Akad di atas adalah termasuk akad murabahah, sebab terpenuhi dua illat hukum, yaitu: 1) pemberitahuan harga awal, dan 2) besaran harga jadi dengan selisih keuntungan (ribhun). Pihak penjual merasa untung karena barangnya laku. Pihak pembeli merasa untung karena mendapat barang dengan harga yang tidak mahal bila dibandingkan dengan harga beli sepeda itu saat masih baru. Ini adalah jika mengikuti prinsip jual beli murabahah.

Baca Juga:
Cara mengambil Keuntungan Niaga (Murabahah) dalam Islam
Macam-macam Pembagian Jual Beli – El-Samsi (elsamsi.my.id)
Jual Beli Muthlaq, Barter, Lelang dan Sharf – El-Samsi (elsamsi.my.id)

Akad di atas, akan berbunyi lain bila penjualan itu dilakukan dengan pola semacam ini:

Penjual: “Sepeda ini mahu saya jual. Kamu berani menghargai berapa?” 

Pembeli: “Kalau mahu, 450 ribu rupiah.” (Sambil mikir membandingkan dengan harga baru di pasar yang ia ketahui)

Penjual: “Oke. Nanti sore, bisa kamu ambil di rumah”

Pembeli: “Oke”

Nah, akad terakhir ini tidak bisa dikategorikan sebagai bai’ murabahah. Illatnya, sebab tidak terpenuhi pemberitahuan harga beli (ra’su al-maal) di awal oleh penjual. Bisa saja, penjual mendapatkan sepeda itu dengan harga 350 ribu rupiah. Alhasil, ia untung 50 ribu rupiah. Namun, bisa juga ia mendapatkan harga 500 ribu rupiah. Alhasil, ia rugi 50 ribu rupiah. 

Penggantian harga oleh pembeli terhadap barang semacam ini, pada dasarnya bukan buah dari akad jual beli (versi bai’ amanah). Harga tersebut, pada dasarnya adalah buah dari relasi akad penggantian atas upaya pelenyapan barang (itlaf) dari tangan penjual. Lenyapnya barang ini ditandai oleh perpindahan milik kepada pembeli. (Baca : Jual Beli Muthlaq, Barter, Lelang dan Sharf – El-Samsi (elsamsi.my.id))

Karena buah dari usaha melenyapkan barang ini, maka pembeli harus melakukan ganti rugi. Berapa besarannya? Sudah pasti ditetapkan berdasarkan harga umum pasaran (qimatu al-mitsli). Menurut usaha penaksaran harga (taqwim al-urudl) oleh pembeli, harga itu pantasnya adalah 450 ribu rupiah. Lantas penjual menyetujui besaran ganti rugi tersebut. 

Persetujuan penjual atas ganti harga barang oleh pembeli ini, dilabeli oleh para fuqaha sebagai akad istibdal. Illatnya, ada usaha taqwimu al-urudl berdasarkan harga pasar. 

Nilai taqwim (penaksiran harga) ini bisa berbeda-beda antara pembeli satu dengan pembeli lainnya. Pembeli lain, bisa saja menawarnya sebesar separuh harga. Itu sebabnya, proses ini dinamakan dengan istilah istibdal. Sampai di sini, cermati perbedaan kedua akad murabahah dan istibdal tersebut. Wallahu a’lam bi al-shawab

Spread the love

Related Articles

2 Comments

Avarage Rating:
  • 0 / 10
  • […] Juga: (Istibdal: Ganti Rugi akibat Rusaknya Murabahah – El-Samsi (el-samsi.com))Tawar […]

  • […] Jika bai’ muthlaq, umumnya terjadi pada situasi lapangan dalam kondisi damai, kedua piihak yang berakad bertingkah laku saling nyaman, tanpa adanya salah satu yang dipaksa. Sementara, dalam kasus istibdal, pergantian harga dan barang kadang diliputi oleh situasi keterpaksaan salah satu pihak, atau bahkan memang betul-betul dipaksa (mukrah). (Baca Juga: (Istibdal: Ganti Rugi akibat Rusaknya Murabahah – El-Samsi (el-samsi.com)) […]

Tinggalkan Balasan

%d