elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

20220410 235552 0000

Hari ini ramai diperdebatkan soal usulan menambah jabatan presiden sebagai 3 periode. Banyak pihak yang sebelumnya menyeru soal pemerintahan yang seharusnya ditunaikan dengan sistem pemerintahan daam Islam mendadak lupa, bahwa dalam Islam tidak dikenal dengan adanya batasan masa jabatan pemimpin. Inilah yang unik. Batasan masa jabatan pemimpin hanya dikenal setelah adanya adagium power tend to corrupt. Dan ini bukan berasal dari Islam.

Hujjatu al-Islam al-Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dan Syeikh Adnan al-Afyuni, salah seorang ulama dan Mufti Siria, memiliki suatu penjelasan yang sama dalam memandang relasi agama dan negara. Keduanya sepakat bahwa:

الإسلام أس والسلطان حارس وما لا إس له ينهدم وما لا حارس له يضيع

“Islam itu pondasi, dan pemimpin negara adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan mudah dirobohkan. Dan segala sesuatu yang berpondasi namun tidak ada yang menjaganya, maka akan berlaku sia-sia.” (al-Afyuni, al-‘Alaqah baina Al-Din wa Al-Daulah, halaman 176)

Berangkat dari pernyataan ini, muncul beberapa permasalahan. Satu di antaranya tentang kriteria pemimpin negara. Apakah seorang pemimpin hanya dibolehkan memegang tampuk kepemimpinan selama 2 periode kepemimpinan?

Padahal fungsi utama adanya khalifah/pemimpin dalam Islam adalah mengisi peran selaku al-niyabah li al-nabi (menduduki peran pengganti nabi). Tidak ada konsepsi pemimpin dalam Islam bahwa pemimpin harus diangkat selama 2 periode saja. Alhasil, menurut dalil asal, adalah tidak ada batasan masa jabatan.

Berangkat dari sejarah kekhalifahan, masa jabatan khalifah para khulafau al-rasyidin adalah berbeda-beda. Ada yang singkat dan ada yang lama.

Pemilihan Khalifah di era Pasca Wafatnya Nabi

Sepeninggal Baginda Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam, timbul persoalan pemimpinn di kalangan umat Islam. Konflik ini kemudian berujung diangkatnya Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq radliyallahu ‘anhum sebagai khalifah. . 

Era kepemimpinan khalifah ini selanjutnya dikenal sebagai era khilafah. Jadi, khilafah merupakan era di mana sistem kenegaraan / pemerintahan yang terbentuk adalah sistem yang dipimpin oleh seorang khalifah. Tidak ada mekanisme baku yang dipakai untuk melakukan penunjukan dan pengangkatan khalifah. Yang ada hanyalah sebuah istilah istikhlaf (yaitu upaya menentukan khalifah).

Dengan demikian, maka makna dasar dari istikhlaf ini adalah sama dengan diksi Pemilihan Umum (Pemilu), musyawarah mufakat. Tata cara pengangkatannya juga ada 2, yaitu (1) secara langsung dan (2) secara perwakilan. 

Dengan demikian juga majelis pengangkatannya, adalah setara dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pemimpin dan Negara Bangsa

Di era modern seperti sekarang ini, banyak negara yang sudah berubah haluannya menjadi negara bangsa. Dalam konteks ini, sebuah negara meniscayakan terbentuk dari berbagai komponen suku dan bangsa. Negara tidak didominasi oleh peran satu agama saja, meskipun juga ada negara yang masih diwarnai oleh satu elemen agama tertentu.

Karena model sistem kenegaraannya berubah, maka sistem penentuan khalifah itupun menjadi berubah. Bagian dari yang penting menjadi pertimbangan adalah bahwa negara bukan lagi didirikan atas dasar kesamaan agama, melainkan kesamaan nasib yang ingin merdeka krena bertindak selaku korban imperialisme dan kolonialisme. Itu sebabnya, pemimpin yang dipilih pun bukan lagi hanya berdasarkan pertimbangan fungsi al-niyabah li al-nabi (peran pengganti nabi), melainkan ditambah dengan satu pertimbangan yaitu melakukan siyasati al-dunya.

Pada perkembangan berikutnya, sistem kenegaraan ini ada yang menunjukkan ciri menonjol pada kekuasaan ada di tangan rakyat. Sistem seperti ini dinamakan dengan istilah republik dengan demokrasinya. Ada juga sistem pemerintahan yang menonjol pada peran debat parlementernya. Sistem seperti ini dinamakan dengan istilah sistem demokrasi parlementer. 

Indonesia pernah menerapkan demokrasi terpimpin, karena saat itu kekuasaan dan pemimpin tertinggi negara serta Panglima Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, seluruhnya ada di tangan presiden. Peran wakil rakyat yang duduk di DPR / MPR Sementara, waktu itu dicirikan kurang dapat memberikan kontrol kepada Presiden. Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru adalah representasi dari keduanya (dalam hemat penulis).

Lalu setelah semua berlangsung normal, antara Presiden dan DPR memiliki kedudukan yang sama dalam tata pemerintahan, maka sistem ini kemudian berubah menjadi Demokrasi Pancasila. Artinya, nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila berperan selaku standart kontrol setiap kebijakan yang lahir di Indonesia. 

Sampai di sini, maka bila kemudian sebagian dari saudara kita ada yang senantiasa menyerukan “Tegakkan Syariat dengan Khilafah!” maka yang perlu dipertanyakan adalah khilafah (sistem penentuan pemimpin) yang mana lagi yang hendak dicari? Dan bila kemudian ada yang menyeru “Dirikan negara khilafah!”, maka hal yang kemudian patut disangsikan adalah penyeru tidak memahami makna khilafah itu sendiri, untuk tidak menyebut sebagai tidak faham tashrif.

Karena khilafah adalah bukan negara, melainkan model negara atas dasar cara pemilihan pemimpin, maka Pemilu dan segenap perangkatnya adalah memiliki fungsi sama dengan peran istikhlaf tersebut. Hanya saja, istikhlaf ini dibatasi dengan konteks di mana istikhlaf itu dilakukan.  

Syeikh Wahbah Al-Zuhaily dengan menukil sejarawan Ibnu Khaldun menyatakan:

وحدد ابن خلدون بطريقة أخرى وظيفة الإمامة فقال: هي حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم الأخروية والدنيوية الراجعة إلىها؛ إذ أن أحوال الدنيا ترجع كلها عند الشارع إلى اعتبارها بمصالح الآخرة. فهي (أي الخلافة) في الحقيقة: خلافة عن صاحب الشرع في حراسة الدين وسياسة الدنيا به

“Ibnu Khaldun menetapkan batasan definisi khilafah ini dengan menyebutnya dengan istilah lain, yaitu tugas pemilihan pemimpin (wadzifatu al-imamah), yaitu suatu upaya mengerahkan daya upaya secara total sesuai dengan kehendak syariat dalam menciptakan kemaslahatan ukhrawi dan kemaslahatan duniawi yang terkait dengannya. Itulah sebabnya, sesungguhnya peran dunia, seluruhnya harus bisa kembali dengan penyandaran kepada Allah, khususnya sebagai wasilah bagi kemaslahatan akhirat. Jadi, dalam hal ini, hakikat dari khilafah (sistem pemilihan pemimpin) itu sendiri  adalah sebuah sistem untuk menentukan pengganti dari shahibu al-syar’i (nabi) dalam melaksanakan perannya sebagai penjaga agama (hirasatu al-din) dan mengatur  kehidupan duniawi untuk rumah akhirat (siyâsat al-dunya)” (Syeikh Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2008, Juz 6, halaman: 573).

Dalam definisi di atas, secara tegas Ibnu Khaldun menyebut bahwa khilafah pada hakikatnya adalah sistem pemilihan pemimpin. Walhasil, Pemilihan Umum (Pemilu) adalah bagian dari istikhlaf, dan khilafah itu merupakan tipe negara yang pemimpinnya dipimpin oleh seseorang yang bergelar khalifah. Dan yang lebih penting lagi, tidak ada ketentuan batasan jabatan pemimpin dalam berbagai proses tersebut. Alhasil, menurut sejarah dalam Islam, pemimpin tidak memiliki batasan masa jabatan. Adanya pembatasan masa jabatan menandakan adanya pertimbangan faktor eksternal yang meliputi penentuan pemimpin. Wallahu a’lam bi al-shawab. 

Muhammad Syamsudin

Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur

Spread the love

Related Articles

Tinggalkan Balasan