Tulisan ini masih berkutat soal jebakan bisnis. Namun kali ini, obyek studi adalah pada kasus lahan di perkotaan. Sebut saja Kota S. Kita lagi berusaha menyelesaikan kasus ituu dari sisi akad syuf’ah (yaitu: akad akuisisi barang). Ternyata di dalam akad ini juga ada potensi jebakan. Jebakan yang mungkin terjadi adalah akibat praktik transaksi yang beruntun, yaitu dengan akad syirkah. Sudah pasti, syirkah yang akan kita contohkan di sini adalah syirkah yang fasidah (rusak).
Faedah dari tulisan ini adalah untuk mengenali contoh sengketa yang bisa jadi sangat merugikan masyarakat kalangan bawah (grassroots). Mengapa? Sebab, mereka umumnya berlaku sebagai penderita / korban ketidaktahuan. Akhirnya mereka dijebak, dengan kamuflase-kamuflase, seolah-olah akad itu legal.
Bagi pihak ini, menggugatnya pun kadang justru malah balik mereka yang bisa terjerat hukum. Sebab, mereka sudah terjalin kerjasama kontrak yang dibubuhkan dalam suatu materai. Untuk memudahkan pemahaman ini, kita masih akan berkutat pada kasus ilustratif saja, sehingga tidak bermaksud menyinggung pihak-pihak tertentu.
“Suatu misal ada seorang pengusaha hendak mendirikan sebuah mall. Lalu, ia mencari tanah untuk bisa didirikan pusat perbelanjaan itu. Pada akhirnya, didapati sebuah tanah dengan luas lahan yang cocog untuk didirikannya. Namun, tanah itu milik seorang masyarakat kecil. Untuk memudahkan langkah mengakuisisi lahan, sehingga ia tidak perlu keluar uang untuk membelinya, maka ditawarkanlah skema kerjasama berupa anjak modal. Masyarakat pemilik tanah diajak untuk ikut bergabung dalam permodalan. Caranya, tanah tersebut dijadikan sebagai bagian dari modal usaha. Akhirnya terjadilah kesepakatan bersama, lalu didirikanlah sebuah bangunan di atas tanah tersebut.
Di tengah perjalanan pembangunan mall, tiba-tiba semua pemodal dihadirkan dalam suatu rapat oleh pengusaha. Claim pihak manajemen, bahwa terjadi kekurangan biaya untuk melanjutkan pembangunan mall. Akhirnya ditawarkan sebuah kesepakatan bahwa pihak pemodal akan dipungut biaya untuk keperluan penambahan modal tersebut, dan biaya itu tidaklah kecil. Merasa dirinya tidak memiliki dana sebesar modal susulan itu, masyarakat yang sebelumnya merelakan tanahnya untuk dilibatkan dalam pendirian mall, merasakan keberatan dan menghendaki agar perjanjian kerjasama itu dibatalkan.
Masalahnya adalah, tanahnya sudah terlanjur memiliki bangunan mall yang belum jadi di atasnya. Pada akhirnya, jika dipaksakan ikut andil dalam di dalam akad kerjasama (syirkah) itu, maka modal tanah masyarakat tadi menjadi memiliki nisbah saham yang sangat kecil, sehingga berujung pada perolehan pendapatan yang sangat kecil juga. Sementara itu, jika tidak dipaksakan ikut kerjasama, pihak masyarakat tidak bisa mengambil lagi tanahnya sebab sudah ada bangunan.”
Contoh sebagaimana kasus di atas inilah yang disebut oleh penulis sebagai bagian dari jebakan akad. Maju untuk melanjutkan akad syirkah, masyarakat rugi. Mundur dengan mengambil alternatif akad syuf’ah (akuisisi), ia juga rugi. Menggugat ke pengadilan pun, masyarakat juga bisa dirugikan karena sudah terikat kontrak materai. Jadilah simalakama baginya. Maju kena, mundur juga kena.
Lantas bagaimana solusi kewaspadaan itu harus kita bangun agar terhindar dari praktik serupa?
Sebenarnya kasus di atas, awal mulanya adalah berangkat dari akad syirkah (kemitraan). Kesalahan dari akad kemitraan ini, dalam madzhab Syafii adalah modal yang dikumpulkan oleh peserta syirkah, sebagai yang tidak berupa uang (nadlin), melainkan berupa barang / asset.
Ada resiko yang berbeda bila suatu penyertaan modal dirupakan sebagai aset, dan dirupakan sebagai uang.
Pertama, bila penyertaan modal dihitung berupa asset, maka ketika terjadi pembatalan akad syirkah, pihak yang memiliki asset seharusnya menerima asset itu kembali. Mengapa? Sebab, sifat percampuran modal yang berlaku atas aset-aset tersebut, adalah termasuk jenis percampuran tidak sempurna (khalathah jiwar).
Dalam percampuran jenis ini, asset masyarakat pemodal yang dipergunakan oleh pihak pendiri mall, tidak bisa dinilai sebagai bagian dari modal, melainkan harus dinilai sebagai asset yang disewa. Oleh karenanya, akad yang terjalin di antara mereka, meskipun di atas kertas berbunyi sebagai akad syirkah (kerjasama permodalan), maka pada dasarnya syirkah itu adalah termasuk syirkah yang fasidah (rusak).
Solusinya, kasus itu harus dikembalikan pada dalil asal dari syirkah, yaitu percampuran sempurna (khalathah isytirak). Mengapa? Sebab kaidah yang berlaku bagi masyarakat sebelum ia terlibat dalam jerat akad adalah ia bebas dari percampuran modal (al-ashlu baraatu al-dzimmah).
Jika dalam kasus ini, pihak pengelola tidak bisa menjadikannya sebagai bagian dari percampuran sempurna, menandakan pihak pengelola telah melakukan penyimpangan (eksklusi) terhadap akad kerjasama (syirkah). Dan sebagai pihak yang telah melakukan penyimpangan sehingga berakibat kerugian (idlrar) pada pihak lain, maka ia wajib memberikan ganti rugi (dlaman) ke masyarakat peserta syirkah.
Lewat apa? Sudah barang tentu hal itu harus dilakukan lewat akad syuf’ah, yaitu mengakuisisi asset, dengan besaran sesuai harga jual asset di tanggal terjadinya pembatalan akad. Harga ini selanjutnya disebut sebagai harga mitsil, yaitu harga jual asset di pasaran.
Untuk di Indonesia, harga pasaran semacam sudah ditetapkan dalam nota pajak yang dibayarkan oleh masyarakat pemilik asset setiap tahunnya, dengan istilah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
Bagaimana bila pihak pengelola tidak mahu membayar ganti rugi?
Jika proses akuisisi diindikasi sebagai yang tidak bisa dilakukan, maka kasus di atas bisa dibaca sebagai kasus ijarah fasidah (sewa-menyewa yang rusak). Mengapa ? Sebab, dalam praktik ijarah, pihak penyewa (ajir/ musta’jir) tidak boleh mendirikan sebuah bangunan permanen di atas lahan yang disewa.
Bagaimana bila sudah terlanjur didirikan bangunan permanen di atas lahan tersebut?
Jika hal ini terjadi, dan pihak pemilik asset menyatakan pembatalan akad sewa, sehingga asset harus kembali kepada pihak yang menyewakan (muajjir), maka ada 2 alternatif yang harus dilakukan oleh pihak penyewa, antara lain:
- Ia harus mengakuisisi asset tanah yang sudah digunakan sesuai nota NJOP
- Ia harus merobohkan bangunan yang sudah didirikan di atasnya, sehingga pemilik asset kembali menerima tanahnya sebagaimana sedia kala. Dasar solusi ini diterapkan adalah dengan mengikut kembali pada kaidah asal yaitu ketiadaan beban/tanggungan dari pihak pemilik asset.
Alhasil, pihak pemodal memiliki keterikatan yang bersifat wajib ditempuh (tsabitah) lewat 2 relasi di atas, sebab secara otomatis dalam ijarah fasidah, berlaku keharusan akad syuf’ah yang hukumnya adalah wajib sebagai risiko rusaknya akad.
Kedua, bila penyertaan modal melalui mekanisme jual beli asset terlebih dulu, yang diikuti penyerahan besaran uang modal. Dalam kasus ini, percampuran modal yang terjadi di antara kedua pihak pemodal dan pengelola mall adalah termasuk percampuran sempurna (khalathah isytirak). Akad syirkahnya termasuk akad syirkah yang shahihah.
Pada saat sebuah syirkah diindikasi sebagai yang shahihah, maka pembatalan akad oleh salah satu pemodal meniscayakan kembalinya modal masyarakat kepada pemilik asalnya. Berapa besarannya?
Mengingat akad syirkah merupakan akad yang berstatus hukum jaizah (mubah/boleh), maka besaran modal yang kembali adalah sesuai dengan besaran modal awal itu disetor oleh masyarakat. Besaran ini berlaku, selagi mall yang dibangun tersebut belum beroperasi dan masih dalam tahap persiapan.
Namun, apabila mall itu sudah beroperasi, maka modal yang wajib kembali kepada masyarakat pemodal, adalah menyesuaikan dengan nisbah kepemilikan masyarakat terhadap total aset yang berlaku di hari pemodal itu memutuskan keluar dari akad kerjasama (syirkah).
Kesimpulan
Dalam kasus terjadinya penyimpangan akad kerjasama (eksklusi) yang diakibatkan pihak pengelola tidak bisa menjadikan akad kerjasama tersebut sebagai berbasis percampuran modal secara sempurna (khalathah isytirak), maka ketentuan yang berlaku dalam syara’, adalah kembalinya asset modal kepada pemilik asalnya.
Jika ketentuan kembali ini tidak bisa dilakukan, maka akad yang berlaku sebagai buah dari akad perjanjian kerjasama yang rusak, adalah: pihak pengelola wajib menerapkan akad sewa jasa, dengan catatan tidak ada bangunan permanen yang dibangun di atas aset yang disewa. Pendirian bangunan permanen di atas asset yang disewa, adalah termasuk kategori eksklusi (penyimpangan) akad sewa (ijarah) sehingga termasuk ijarah yang fasidah
Bila terjadi akad ijarah fasidah, maka kewajiban yang berlaku bagi pelaku idlrar ada 2, yaitu:
- Merobohkan bangunan yang ada di atas aset yang disewa
- Mengakuisisi asset yang disewa dengan jalan membelinya sesuai dengan harga mitsil asset di pasaran. Harga mitsil, umumnya sudah ditetapkan oleh pemerintah lewat nota pajak, dengan istilah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Wallahu a’lam bi al-shawab
Disajikan oleh: Tim Peneliti eL-Samsi (Lembaga Studi Akad Muaalah Syariah Indonesia)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.