Seperti diberitakan oleh beberapa situs arus utama hari ini, bahwa Dea Onlyfans atau yang biasa dikenal dengan panggilan Gresaids telah ditangkap oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Metro Jaya pada Jum’at kemarin (25/03/2022).
Dea sendiri pernah viral pasca tampil di Podcast Deddy Corbuzier. Yang dibahas dalam podcast tersebut adalah berkaitan dengan aplikasi Onlyfans yang isinya berkaitan dengan konten dewasa.
Nah, pasca tampil di acara podcast inilah, Dea ditangkap polisi. Jeratan hukum yang dibebankan padanya adalah kasus pornografi. Hingga tulisan ini dilansir, berita mengenai penangkapan Dea Onlyfans ini sudah dikonfirmasi kebenarannya oleh polisi dan disampaikan secara langsung oleh Kombes Auliansyah Lubis.
Apa itu Pornografi?
Ada berbagai konten pornografi yang tersebar dewasa ini. Cukup dengan berbekal internet, kita sudah bisa mengaksesnya. Bahkan, cukup sering tampil, adanya tayangan iklan semi pornografi yang menghiasi situs yang sedang kita akses. Atau media-media pemberitaan yang condong pada membikin judul setengah berbau pornografi.
Seiring maraknya konten itu, kita sering bertanya, apakah negara kita sudah memiliki payung hukum untuk memberantas pornografi tersebut? Berbagai informasi bisa kita himpun, bahwa sebenarnya negara kita sudah memiliki payung hukum. Lalu, mengapa masih banyak tersebar konten-konten dewasa itu? Misalnya, untuk kasus Dea Onlyfans di atas yang hadir dalam bentuk aplikasi. Sudah barang tentu, jika dalam bentuk aplikasi, maka akan dengan mudah diakses oleh siapapun lewat handphone atau media smartphone.
Lalu apa kendala aparat untuk melakukan penegakan hukum? Ternyata semua itu adalah disebabkan adanya bias dalam pemberian definisi pornografi dan delik yang digunakan untuk menjeratnya.
Misalnya adalah Bab XIV KUHP tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Bab ini tidak menjelaskan secara tegas mengenai maksud dari kesusilaan.
Selanjutnya, kita tengok pada Pasal 27 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di dalam ayat ini disampaikan mengenai larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar kesusilaan.
Secara jelas, bahwa pada pasal UU ITE ini tidak disampaikan definisi yang tegas mengenai apa itu pelanggaran terhadap kesusilaan. Ketidakjelasan ini dapat menyeret ke arah perbedaan tafsir antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Bagaimana dengan Definisi Pornografi berdasar UU Pornografi?
Pasal 1 ayat 1 UU Pornografi memang memberikan definisi terhadap apa itu pornografi dan wilayah cakupannya. Di dalam pasal ini disampaikan bahwa pornografi itu mencakup gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat unsur cabul atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Berbekal pasal ini, dapat ditarik benang merah bahwa foto atau rekaman video hubungan seksual (misalnya), disebut sebagai pornografi apabila gambar pornografi atau rekaman tersebut melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Selanjutnya di dalam Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi disampaikan soal larangan bagi setiap orang untuk memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan konten pornografi yang secara eksplisit memuat hal-hal sebagai berikut:
- persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang
- kekerasan seksual;
- masturbasi atau onani;
- ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
- alat kelamin; atau
- pornografi anak.
Saat ditelusuri lebih jauh mengenai maksud diksi “membuat” pada pasal ini, ternyata diksi tersebut tidak mencakup di dalamnya apabila konten tersebut dimaksudkan untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Di sinilah terjadi kerancauan hukum saat kasus tersebarnya video porno yang direkam oleh pelaku sendiri, namun pihak yang menyebarkan adalah orang lain. Pihak yang menyebarkan itulah yang terkena pasal “membuat” dan “memproduksi”.
Inilah sebabnya, banyak pelaku video asusila menjadi tidak terkena jeratan hukum seiring dia dianggap tidak memproduksi atau membuat konten asusila. Lepasnya mereka dari jerat hukum adalah disebabkan adanya ceruk pelaku penyebaran sebagai yang dianggap memproduksi.

