el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Uang Jaminan Sewa Rumah Header

Pengantar Kajian

Bank memang bukan merupakan lembaga yang bergerak dalam bidang tamwil (produktif). Fungsi bank adalah sebagai lembaga intermediasi keuangan yang berusaha mempertemukan antara nasabah investor dengan pengusaha (Sumber: OJK). 

Diksi pengusaha ini secara tidak langsung mengisyaratkan berlakunya unit tamwil yang kelak kemudian menjadi faktor murajjih (indikator), bahwa penyerahan dana nasabah ke bank adalah didorong oleh qashdu al-istitsmary (niatan berinvestasi/produksi). 

Qashdu al-Istitsmary ini dapat dibuktikan melalui telaah terhadap setiap unit produk yang dipasarkan oleh perbankan, misalnya deposito, reksadana, giro, warant dan sejenisnya. Semua produk ini adalah diadakan karena alasan memenuhi hajat masyarakat dalam melakukan upaya tamwil rendah risiko (low risk) melalui jalur perbankan. 

Baca Juga: Tarik Ulur Kajian Bank dan Bunga Bank Perspektif Masyayikh Al-Azhar

Berangkat dari sini, kemudian berlaku kaidah ushul yang baru dalam bingkai fikih nawazil, yaitu bahwa penyerahan dana nasabah ke perbankan adalah bukan berangkat dari landasan wadi’ah amanah. Para nasabah investor ini menggunakan landasan wadi’ah yad al-dlammanah ketika melakukan kontak relasi dengan perbankan. 

Baca Juga: MEnaksir Besaran Pendapatan Haram dari Sekotor Bunga Produk Tabungan

Selanjutnya, landasan wadi’ah yad al-dlammanah ini berlaku karena dlarurah li al-hajah. Faktor penopangnya, adalah silabus ekonomi yang sudah terlanjur disusun secara rapi di Fakultas-fakultas ekonomi kita. Padahal, para sarjana yang mempelajarinya, adalah calon pelaku ekonomi, baik secara langsung berkaitan dengan perbankan maupun secara tidak langsung, misalnya bekerja di unit-unit perusahaan produsen barang. 

Faktor lainnya adalah keberadaan BPPN dan sekaligus LPS yang menjaga prinsip perbankan agar tidak keluar dari rel yang sudah digariskan oleh peraturan dan perundangan yang berlaku dan disepakati bersama oleh majelis dewan selaku legislatif. 

Menimbang akan hal ini, maka hak nasabah untuk mendapatkan penghasilan yang halal dari qashdu al-istitsmary ditampung dalam wadah yang disebut prinsip ghalabah wa al-katsrah

baca juga: Ada bagi keuntungan berarti ada bagi kerugian

Prinsip ghalabah wa al-katsrah ini berangkat dari kaidah syara’ yang menyatakan bahwa:

الأكثر ينزل منزلة الكمال والأقل تبع للأكثر

“Komposisi lebih banyak menempati derajat kesempurnaan, dan yang lebih sedikit komposisinya adalah mengikut pada yang lebih banyak”

Kaidah lain yang kurang lebih serupa:

الأكثر ينزل منزلة الكمال والأقل تبع للأكثر

“Maksimal menempati derajat kesempurnaan. Minimal mengikut pada yang lebih banyak.”

Imam Al-Sarakhsyi menuliskan dalam kitabnya:

اليسير يكون تبعاً للكثير، ولا يكون الكثير تبعاً لليسير

“Sedikit mengikut pada yang mayoritas, dan tidak boleh dibalik, mayoritas mengikut pada yang minoritas.” (Al-Mabsuth li al-Sarakhsyi, Juz 9, halaman 19)

Prinsip ini sebenarnya menyerupai prinsip demokrasi ekonomi. Pendapat yang senada dengan pernyataan di atas, juga disampaikan oleh Ibn Arabi di dalam al-Ahkam Juz 4, halaman 1804 dan Syeikh Izz ibn Abdi al-Salam di dalam Qawa’idu al-Ahkam, Juz 2, halaman 157.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana menerapkan prinsip tersebut pada penghasilan nasabah investor perbankan yang mana mereka harus mendapat bagian penghasilan yang halal? Inilah fokus utama persoalan yang hendak kita jawab dalam tulisan ini. 

baca Juga: Pembiayaan Sindikasi dalam Islam

Instrumen mengetahui Penghasilan Perbankan antara yang Halal dan Haram

Karena niat awal nasabah berhubungan dengan perbankan adalah dilandasi oleh qashdu al-istitsmary (investasi), maka secara tidak langsung untuk kebutuhan mengukur rasio pendapatan perbankan dari sektor halal, dibutuhkan:

Pertama, mengetahui jumlah pengusaha yang mengajukan pembiayaan ke perbankan. Adanya pengusaha yang mengajukan pembiayaan, menandakan berlakunya proses tamwil (produksi) sehingga mengisyaratkan adanya hak bagi hasil. 

Kedua, pengetahuan rasio kredit macet berdasarkan data Non-Performing Loan (NPL) perbankan konvensional atau Non-Performing Financing (NPF) perbankan syariah. 

Namun, karena bunga itu hanya berlaku pada perbankan konvensional, maka kiranya data yang dibutuhkan itu adalah NPL perbankan konvensional. 

Pengetahuan akan rasio NPL ini sebenarnya hanya merupakan pendekatan untuk mengetahui sejauh mana transaksi ribawi itu berlaku dalam sebuah perbankan konvensional. 

Dan indikator yang paling kuat terjadinya transaksi ribawi ini adalah berlaku pada kemacetan kredit. Alasannya, ketika kredit macet, maka pihak pengusaha yang mengajukan kredit menjadi hanya memiliki kewajiban membayar bunga pinjaman. Dan hal ini merupakan indikasi kuat berlakunya transaksi riba yang diharamkan. 

Baca Juga:  Peraturan Bank Indonesia Nomor 24/3/PBI/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah

Pondasi Teori Penetapan NPL Perbankan

Berdasarkan teori, NPL merupakan angka yang menyatakan besaran kredit macet yang terjadi pada perbankan. Rasio ini diukur dengan rumus:

Rasio NPL = (Jumlah Kredit Macet/Total Pengaju Kredit) x 100%

Rumus ini secara tidak langsung bermakna, bahwa:

  1. Semua pengaju kredit kita anggap sebagai jumlah unit tamwil, sebab status mereka selaku pelaku ekonomi yang bergerak dalam bidang usaha.
  2. Para pengaju kredit ini memiliki kewajiban memberikan bagi hasil seluruhnya kepada nasabah selaku investor
  3. Jumlah Kredit Macet mengisyaratkan para pelaku yang melakukan transaksi ribawi, sebab hak bagi kerugian usaha tidak diberlakukan atas mereka sehingga mereka tetap memiliki kewajiban cicilan hutang, meskipun sudah melebihi tempo pelunasan. Cicilan berupa bunga ini secara sharih merupakan bagian dari riba. Dan hasil dari riba ini tercatat sebagai penghasilan perbankan, sehingga besar atau kecil kuantitasnya, pasti akan disampaikan ke nasabah juga. Dengan demikian, penghasilan nasabah tercampur antara pendapatan halal dari bagi hasil, dengan pendapatan haram dari riba para pelaku kredit macet.

Batas Toleransi Komposisi Bunga dan Keuntungan 

Ranah yang kita bicarakan saat ini adalah dalam bingkai fikih nawazil. Alhasil, setting pemikiran kita adalah ke qashd al-istitsmarynya nasabah ketika mengambil salah satu produk perbankan, seumpama deposito. 

Seiring sistem yang berlaku, sehingga pihak nasabah tidak bisa menghindar dari besar atau kecilnya komposisi pendapatan bagi hasil antara yang halal dan haram, maka ada batas toleransi yang bisa diberlakukan atas minimal bagi hasil yang ditolerir oleh syariah. 

Landasan penentuan berangkat dari beberapa pendekatan berikut ini: 

Pertama, ada ketetapan nash bahwa salah satu bentuk transaksi niaga yang dibenarkan oleh syara’ adalah pendapatan yang diperoleh dari jual beli. 

Kedua, ada ketetapan nash yang menyatakan bahwa maksimal laba yang diperoleh dari jual beli adalah dengan nisbah ⅓ harga barang (al-tsulutsu katsir). Jika ditarik ke dalam prosentase, maka ⅓ itu adalah setara dengan 33,33% dari harga pokok kulak barang. 

Ketiga, bunga pinjaman kredit yang diajukan oleh pengusaha atau pelaku ekonomi adalah berada pada ruang kisaran antara 7-12% per tahun (a.n). 

Keempat, bunga deposito yang diterima oleh nasabah senantiasa berkisar di bawah angka 4% per masa kontrak.

Menimbang dari keempat indikator itu, maka sudah barang tentu angka sebesar 4% adalah jauh di bawah toleransi keuntungan yaitu sebesar 33,33% yang boleh diambil dari akad jual beli. Alhasil, selisih ketentuan bagi hasil yang didapat oleh pihak pengusaha adalah sebesar 33,33% – 12%, yaitu sebesar 20,67%. 

Kecilnya prosentase rasio keuntungan yang harus diterima oleh nasabah (4%), sudah barang tentu sangat kecil bila dibandingkan dengan rasio keuntungan yang harus didapat oleh pengusaha. Tentu hal ini akan berbuntut sebagai tidak adil jika niatan investor untuk investasi kemudian diabaikan sebagai yang harus diterima. 

Jikalau toh ditarik mengikuti prinsip akad mudlarabah yang shahihah, rasio sebesar 4% ini menduduki porsi yang sangat kecil dari 33,33%, yaitu kurang lebih 12% dari total keuntungan yang mungkin di dapat dari seorang pengusaha. Alhasil, menjaga nilai bagi hasil sebesar 4% adalah merupakan yang lebih maslahah dibanding dengan mengembalikannya ke akad ideal dari prinsip mudlarabah. 

Taksiran Rasio Pendapatan Haram Perbankan Konvensional di Indonesia

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa rasio pendapatan haram perbankan adalah tercermin dari pendapatan bunga ribawi. Instrumen pengukuran pendapatan ini sebagian besar adalah berlaku pada para penunggak kredit yang melebihi batas jatuh tempo, sebab mereka yang menjadi terkena kewajiban membayar bunga, yang merupakan ciri khas dari riba nasiah. Dengan demikian, cerminan rasio angka ini ditunjukkan oleh komposisi NPL dari setiap perbankan. 

Pertanyaannya: berapa kisaran rasio pendapatan haram perbankan di Indonesia untuk saat ini? 

Untuk menjawab masalah ini, berikutnya kita sajikan bukti yang mendukung analisis tersebut. Berbekal penelusuran, kita bisa mendapati informasi yang dilaporkan oleh CEIC Data sebagai berikut:

Ratio Kredit Bermasalah Indonesia dilaporkan sebesar 3.2 % pada 2021-02. Rekor ini naik dibanding sebelumnya yaitu 3.2 % untuk 2021-01. Data Ratio Kredit Bermasalah Indonesia diperbarui bulanan, dengan rata-rata 3.1 % dari 2003-01 sampai 2021-02, dengan 218 observasi. Data ini mencapai angka tertinggi sebesar 8.4 % pada 2006-07 dan rekor terendah sebesar 1.8 % pada 2013-12. Data Ratio Kredit Bermasalah Indonesia tetap berstatus aktif di CEIC dan dilaporkan oleh CEIC Data. Data dikategorikan dalam Global Economic Monitor World Trend Plus.”

Berdasarkan angka di atas, selanjutnya kita bisa melakukan penaksiran bahwa:

  1. Komposisi penghasilan haram perbankan konvensional yang didapat dari jalur penghasilan riba adalah sebesar 3,2% di awal tahun 2021. 
  2. Komposisi penghasilan yang diperoleh dari jalur halal, ada pada kisaran 96,8%

Dengan demikian, ketika menggunakan ushul fiqih nawazil yang menyatakan bahwa ada unit tamwil dalam lembaga perbankan saat ini, maka komposisi kehalalan penghasilan perbankan dari unit tamwil ini ada pada kisaran 96,8%. Alhasil menduduki yang mendominasi, dibanding komposisi penghasilan yang haram. 

Hitungan ini sifatnya hanyalah hitungan kasar. Ada komposisi lain yang juga diduga besar merupakan sumber pendapatan ribawi perbankan. Salah satunya adalah kredit konsumtif. Di dalam kredit konsumtif, tidak terdapat unit tamwil sama sekali, sehingga murni mengikuti kaidah qardl (utang) berbalas manfaat dari utang, sehingga riba. 

Berdasarkan data akhir tahun 2020, Bank Indonesia melansir laporan bahwa dari sisi jenis kredit, SBDK (Suku Bunga Dasar Kredit) kredit mikro 13,75%, kredit konsumsi non-KPR 10,85%, kredit konsumsi KPR 9,70%, kredit ritel 9,68%, dan kredit korporasi tercatat 9,18%. Total kredit dari unit konsumtif adalah sebesar 10,85% ditambah 9,70%, sehingga total 20,55%. 

Kebalikan dari kredit konsumtif adalah kredit produktif yang menyediakan peluang bagi hasil yang halal, yaitu menempati komposisi taksiran kasar sebesar 79,45%. Alhasil, perbandingan kredit dari jalur ribawi dan bukan adalah memiliki rasio 3:7 dengan sumber pendapatan dari unit tamwil menempati mayoritas. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content