el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Tulisan ini merupakan bagian dari materi MUNAS NU Tahun 2021 yang kemudian dipending seiring kondisi yang kurang memungkinkan untuk dibahas. Selanjutnya, Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur menghandlenya dalam salah satu forum Bahtsul Masail bertepatan dengan Peringatan Hari Santri Nasional, di penghujung Tahun 2021. Isi materinya adalah kurang lebih sebagai berikutini.

Pasal 156 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sering digunakan untuk menjerat beberapa kasus penodaan agama. Delik penodaan agama yang kerap disebut penistaan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 156 huruf a KUHP ini sesungguhnya bersumber dari Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU No. 1/PNPS/1965) yang berbunyi: ”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”

Secara historis, Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 5/1969, berdasarkan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1965,UU No. 5/1969, PNPS 1/1965 kemudian dinamakan UU No. 1/PNPS/1965 ini dibentuk dalam keadaan darurat untuk menertibkan aliran- aliran yang menjadi ancaman revolusi.

Dalam pelaksanaannya undang-undang ini sering menimbulkan kontroversi di masyarakat. Bagi sebagian pihak, undang-undang ini dijadikan dasar untuk menetapkan suatu aliran atau paham keagamaan telah menodai suatu agama sehingga perlu dibubarkan dan dilarang. Di pihak lain, undang-undang ini dianggap dapat menghalangi kebebasan beragama yang dijamin oleh undang- undang. Hal ini disebabkan oleh pandangan mereka bahwa istilah kebebasan beragama di dalam berbagai dokumen hak asasi manusia tidaklah berdiri sendiri, melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lain, yaitu kebebasan berpikir dan berkesadaran atau berhati-nurani.

Menurut kelompok kedua ini, hak kebebasan beragama bersifat mutlak dan itu termasuk hak non-derogable. Artinya, hak yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun. Hak beragama dan berkepercayaan adalah hak asasi manusia yang paling mendasar. Tidak seorang pun dapat menghalangi kebebasan seseorang untuk memilih agama dan meyakininya, termasuk menafsirkan ajarannya, tidak juga negara. Negara hanya dapat mengatur agar semua umat beragama, tanpa ada perbedaan, dapat berinteraksi secara rukun, damai dan harmonis. Negara cukup menjaga agar tidak seorang pun menjadikan agama atau memanfaatkannya untuk memanipulasi dan mengeksploitasi orang lain atau makhluk lain, serta merusak alam. Namun, UU No 1 Tahun 1965 tersebut alih-alih menjadi alat perlindungan bagi kelompok agama (mayoritas), yang terjadi malah sebaliknya. UU itu tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya kebebasan beragama seperti diamanatkan dalam konstitusi. UU tersebut malah menjadi alat pembenaran bagi perilaku penodaan dan bahkan tindakan kekerasan dan penistaan terhadap kelompok agama tertentu. UU itu menurut mereka banyak dipakai untuk mendiskreditkan kelompok yang memiliki pemahaman berbeda dengan mainstream. Untuk kelompok ini mengajukan yudicial review kepada Mahkamah Konstitusi.

Judicial review (uji material) terhadap ketentuan pasal ini telah bebarapa kali dilakukan ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 E ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 38I ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Namun Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor 84/PUU-X/2012 menolak permohonan tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat, UU Pencegahan Penodaan Agama masih diperlukan dan sama sekali tidak bertentangan dengan perlindungan HAM sebagaimana diatur di dalam UUD 1945. Dalam kaitan ini, Mahkamah Konstitusi sependapat dengan mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi yang menyatakan; pertama, UU Pencegahan Penodaan Agama bukan Undang-Undang tentang kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia melainkan Undang-Undang tentang larangan penodaan terhadap agama. Kedua, UU Pencegahan Penodaan Agama lebih memberi wadah atau bersifat antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya tindakan anarkis apabila ada penganut suatu agama yang merasa agamanya dinodai. Dengan adanya UU Pencegahan Penodaan Agama, jika masalah seperti itu timbul maka dapat diselesaikan melalui hukum yang sudah ada (UU Pencegahan Penodaan Agama). Di samping itu, substansi Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan beragama, melainkan untuk memberikan rambu-rambu tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Penodaan agama atau penghinaan terhadap agama (blasphemy ataudefamation of religion) juga merupakan bentuk kejahatan yang dilarang oleh banyak negara di dunia. Secara substantif Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak dapat serta merta diartikan sebagai bentuk dari pengekangan forum externum terhadap forum internum seseorang atas kebebasan beragama.

Adapun terkait dengan penafsiran sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang No1/PNPS/Tahun 1965, menurut Mahkamah Konstitusi, penafsiran terhadap suatu ajaran atau aturan tertentu merupakan kebebasan berpikir setiap orang. Tafsir dapat memberikan keyakinan terhadap sesuatu hal, sehingga tafsir dapat mengarah kepada kebenaran maupun berpotensi kepada terjadinya kesalahan. Walaupun penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum, namun penafsiran tersebut haruslah berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan yaitu kitab suci masing-masing, sehingga kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolut.

Tafsir yang tidak berdasarkan pada metodologi yang umum diakui oleh para penganut agama serta tidak berdasarkan sumber kitab suci yang bersangkutan akan menimbulkan reaksi yang mengancam keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau dilaksanakan di muka umum. Dalam hal demikianlah menurut Mahkamah Konstitusi pembatasan dapat dilakukan. Hal itu sesuai juga dengan ketentuan Article 18 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Right) yang menyatakan, “Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others.”Dengan demikian, menurut Mahkamah Konstitusi pembatasan dalam hal ekspresi keagamaan (forum externum) yang terkandung dalam Pasal 1 dan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama adalah dibenarkan oleh UUD 1945 maupun standar internasional yang berlaku.

Terjadinya perbedaan pendapat dalam menafsirkan tentang apa yang dimaksud dengan penodaan agama dikarenakan undang-undang ini tidak secara jelas memuat pengertian tentang apa yang dimaksud dengan penodaan agama. Dalam pasal 1 Undang-Undang No1/PNPS/Tahun 1965 hanya menyebutkan bahwa: “setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan- kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Selain itu, pertimbangan hukum MK menyatakan bahwa disparitas atau perbedaan penjatuhan pidana yang ditetapkan oleh dalam putusan pengadilan sejatinya bukan merupakan bentuk diskriminasi dan bentuk inkonsistensi multitafsir dari sebuah teks, melainkan merupakan kewenangan hakim yang dapat menilai berat atau ringannya pelanggaran menurut kasusnya masing-masing. Bila UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama dicabut, maka akan membawa konsekwensi ke-vakum-an hukum, sehingga dapat menimbulkan akibat sosial yang luas.

Apabila ditelusuri, yang dilarang dalam Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 adalah penafsiran atau kegiatan agama yang menyimpang. Sementara Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 (Pasal 156 huruf a KUHP) melarang permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama. Dalam kasus Lia Eden misalnya, majelis hakim menyatakan yang bersangkutan terbukti melakukan penodaan agama dan melanggar Pasal 156 huruf a KUHP karena telah melakukan penyebaran paham agama yang dianggap menyimpang.

Tindakan demikian seharusnya dijerat Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965, bukan Pasal 156 huruf a KUHP. Lebih jauh lagi, penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu dilakukan peringatan atau pembubaran sebagaimana diatur dalam pasal 2 undang-undang ini.

Pada praktiknya, ketidakpastian proses hukum kembali terlihat ketika dalam satu kasus pelaku diberikan peringatan terlebih dahulu, sementara dalam kasus lain proses hukum terhadap pelaku langsung dilakukan. Selain itu, UU ini sering digunakan atau disalahgunakan untuk menuduh seseorang atau kelompok masyarakat telah melakukan penodaan agama hanya karena penafsiran atau pengamalan agamanya berbeda dengan kelompok yang menuduhnya.

Sebenarnya, dalam Putusan No. 140/PUU-VII2009, MK telah menyatakan perlunya revisi terhadap UU Pencegahan Penodaan Agama, baik dalam lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik. Akan tetapi oleh karena Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perbaikan redaksional dan cakupan isi, melainkan hanya boleh menyatakan konstitusional atau tidak konstitusional, maka mengingat substansi UU Pencegahan Penodaan Agama tersebut secara keseluruhan adalah konstitusional, Mahkamah tidak dapat membatalkan atau mengubah redaksionalnya. Oleh sebab itu, untuk memperbaikinya agar menjadi sempurna, menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk melakukannya melalui proses legislasi yang normal. Sayangnya, rekomendasi MK untuk merevisi UU ini belum direspon baik oleh pemerintah maupun legislatif. Oleh karena itulah, maka pembahasan tentang tentang “UU Penistaan/Penodaan Agama menjadi amat penting dilakukan untuk dapat memberikan rekomendasi penyelesaiannya masalah tersebut.

Pokok-Pokok Masalah

Pasal 1 UU Nomor 1/PnPs/1965 mengatur tentang penafsiran, bahwa; setiap orang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum; melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia; atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok agama itu.

Pasal 4 UU Nomor 1/PnPs/1965 Pasal 156a KUHP menyebutkan bahwa dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun ’barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan; atau melakukan perbuatan; a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke Tuhanan Yang Maha Esa’.

Dari penggambaran dua pasal tersebut di atas, Pasal 1 mengatur perbuatan yang terkait PENAFSIRAN, sementara Pasal 4 atau Pasal 156a KUHP mengatur perbuatan terkait dengan PERMUSUHAN, PENYALAHGUNAAN atau PENODAAN agama dan PERBUATAN yang dimaksudkan agar orang tidak menganut agama apapun yang bersendikan KETUHANAN YANG MAHA ESA.

Beberapa persoalan mendasar yang kemudian muncul dari rumusan pasal tersebut adalah :

  1. Apa yang dimaksud dengan penodaan agama?
  2. Apakah itu pokok-pokok agama?
  3. Apa yang dimaksud dengan penafsiran, dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok agama?
  4. Siapa yang memiliki otoritas untuk menentukan penodaan agama telah terjadi mengingat masing-masing ahli agama boleh jadi berbeda pendapat?

Bersambung

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content