Kamuflase, secara literal sering dimaknai sebagai suatu tindakan menyembunyikan cacat pada obyek barang yang diakadi dengan jalan menutupinya atau menyulapnya sehingga seolah-olah baik dan berjalan sah. Pola semacam ini, umumnya kitat kenal dengan istilah rekayasa (hiyalah). Ada beberapa tujuan dari pengadaan kamuflase (hiyalah) pada obyek akad ini, antara lain sebagai berikut:
- Untuk mengelabui pandangan konsumen sehingga barang yang dijual merupakan barang yang murni dan seragam. Sebagai contoh, tindakan mencampurkan kerikil secara sengaja ke dalam tumpukan kedelai, sehingga harga kerikil menjadi setara dengan harga kedelai. Akad ini lahir dari gabungan jual beli sebenarnya, namun obyeknyaa terdiri dari 2 obyek yang berbeda, yaitu: a) tediri dari obyek barang manfaat, dan b) terdiri dari obyek barang yang sama sekali tidak manfaat
- Untuk mengelabui pandangan konsumen dari cacat fisik barang sehingga menyerupai sebuah peribahasa “membeli kucing di dalam karung”, atau “membeli kain dalam lipatan yang mana bagian dalam kain merupakan terdiri dari barang yang cacat.” Akad ini pada dasarnyaa merupakan gabungan dari : a) akad jual beli barang manfaat, dan b) terdiri dari obyek barang cacat secara fisik dengan satu harga berupa harga barang manfaat.
- Mengesankan seolah-olah manfaat barang yang dijual merupakan barang yang layak dihargai mahal. Misalnya adanya praktik ighra’ pada sejumlah MLM yang menjual produk dengan harga mahal, yang disertai bonus bagi siapa saja yang mampu mencari anggota. Dalam kondisi seperti ini, keberadaan kamuflase ditengarai oleh keberadaan gabungan antara: a) akad jual beli barang manfaat, dengan b) cabang dari akad ijarah, yaitu ju’alah (pemberian bonus) di mana barang menjadi obyek dari kamuflase.
- Mengesankan seolah-olah barang yang dijual ditengarai sebagai ada, padahal fisik barangnya adalah sama sekali tidak ada (ma’dum). Akad ini lahir dari gabungan: a) akad jual beli barang ma’dum dengan b) cabang dari akad ijarah (jasa), yaitu ju’alah (bonus). Misalnya, adalah money game dengan kamuflase akad ijarah atau ju’alah sebagaimana telah kita contohkan pada modus money game dengan basis sewa alat tambang dan menjalankan misi-misi.
Dari keempat model kamuflase di atas, illat (alasan) pembatal akadnya sangat jelas nampak, yaitu:
- timbulnya kerugian (dlarar) pada konsumen
- adanya illat gharar (spekulatif / untung-untungan,
- adanya illat jahalah (ketidaktahuan),
- ghabn fakhisy (kecurangan akibat menyembunyikan cacat yang sangat tabu bila diketahui orang), dan
- adanya tindakan sengaja melakukan perbuatan curang (ghissy)
Karena adanya kelima hal itu, maka hukum dari melakukan 4 praktek kamuflase di atas, adalah secara tegas dinyatakan sebagai haram.
Namun, kita perlu tahu bahwa ada beberapa obyek yang diperselisihkan oleh para ulama’, apakah akad yang akan kita sampaikan berikut ini termasuk tindakan kamuflase atau tidak. Mengapa terjadi kamuflase?
Karena di dalam akad-akad itu terjalin oleh dua gabungan akad (akad murakkab), yang bila akad tersebut berdiri sendiri-sendiri, maka termasuk akad yang sah. Namun, bila keduanya digabungkan, maka bisa diartikan sebagai suatu tindakan yang hanya berfaedah untuk menghindari sesuatu yang haram saja.
Sebagai yang diperselisihkan statusnya maka para fuqaha’ pun secara tidak langsung terbelah menjadi 3 kelompok besar, yaitu:
- ada fuqaha yang menyatakan secara tegas sebagai boleh (jawaz),
- ada yang menegaskan sebagai haram, dan
- di sisi yang lain ada fuqaha yang menetapkan hukumnya sebagai boleh karena dlarurat li al-hajah (terdesak kebutuhan).
Akad Jual Beli ‘Inah
Akad jual beli ‘inah, pada dasarnya gabungan dari akad jual beli kontan dan jual beli kredit yang terjalin akibat relasi dua orang yang berakad dengan obyek terdiri atas obyek tunggal. Sebagai ilustrasi, Pak Rusydi menjual mobilnya ke Pak Eko, seharga 50 juta secara kontan (halan). Kemudian, Pak Rusydi membeli kembali mobil itu secara kredit (muajjalan) seharga total 70 juta.
Dilihat dari sisi hukum, jual beli ‘inah semacam ini bisa dipandang sebagai 3, yaitu:
Pertama, dipandang sebagai upaya menghindar dari riba qardli. Maksud utama dari Pak Rusydi di atas adalah ingin mencari pinjaman uang (qardl). Namun, agar terhindar dari riba utang disebabkan memberi manfaat kepada Pak Eko, maka ia memilih untuk membeli kembali barang yang dijualnya, secara kredit. Alhasil, kelebihan harga akibat akad kredit dibanding akad jual beli kontan – dalam konteks ini – dipandang hanya sebagai upaya melakukan kamuflase menghindar dari riba utang tersebut saja.
Pendapat ini dipedomani oleh ulama kalangan Madzhab Hanafiyah, sebagian Malikiyah dan Hanabilah. Dalam versi mereka, akad ini dipandang sebagai buah madhinnah, yaitu adanya madhinnah (indikator) berupa tala’ub (bermain-main) terhadap akad, sehingga barang, pada dasarnya dipandang sebagai semata semu saja. Alhasil, menurut ketiga versi ulama madzhab tersebut, akad ini hukumnya adalah haram. Khusus untuk ulama kalangan Madzhab Hanafi, dasar dari pelarangan praktik ini adalah menggunakan dasar istihsan, yaitu meninggalkan qiyas dari pembolehan ke qiyas yang tidak membolehkan disebabkan karena khawatir dipergunakan untuk maksud tidak terpuji, yaitu riba qardli di atas.
Kedua, dipandang sebagai akad yang sah. Pendapat ini ditegaskan oleh Imam Syafii dalam Kitab Al-Umm dengan alasan bahwa akad tersebut bisa berdiri sendiri-sendiri, dengan batasan utama (dlabth), yaitu harus ada kesempatan untuk melakukan qabdlu (penerimaan / penguasaan) sehingga telah terjadi perpindahan milik.
Ketiga, dipandang sebagai boleh karena alasan dlarurat. Maksud dari alasan dlarurat ini adalah masyarakat butuh diberlakukannya akad ini sebagai solusi bagi kebutuhannya. Pendapat ini secara tidak langsung merupakan pendapat yang mengambil jalan tengah dari perselisihan kedua pendapat di atas. Artinya, bila dalam kondisi tertentu, masyarakat benar-benar masih bisa mendapatkan dana dengan cara lain, maka sebaiknya tidak mengambil praktik bai’ ‘inah ini. Namun, jika tidak ada solusi lain, maka boleh melakukan praktik jual beli ‘inah, dengan catatan harus ada jeda 1) qabdlu, dan 2) tidak dijadikan sebagai tradisi (‘urf). Untuk solusi tidak dijadikan ‘urf ini, adalah karena menghormati pendapat ulama’ dari kalangan Malikiyah yang menempatkan urf sebagai standar hukum. Adapun secara akad, kalangan Syafiiyah yang mengambil solusi ketiga ini tetap menyatakan hukumnya adalah boleh, misalnya sebagaimana pendapat Imam Nawawi rahimahullah ta’ala dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab.
Akad Jual Beli Tawarruq
Jual beli tawarruq, ditandai dengan praktik membeli suatu barang dari suatu tempat secara kredit, kemudian barang tersebut dijual ke tempat lain (bukan ke penjual asal) secara kontan dengan maksud mendapatkan uang kontan ini.
Sebagai ilustrasinya, Pak Rusydi membeli mobil Pak Eko secara kredit seharga 70 juta rupiah yang dicicil selama 1 tahun. Kemudian, setelah mobil itu diberikan, lalu Pak Rusydi menjual mobil tersebut ke suatu dealer guna mendapatkan uang tunai (kontan).
Setidaknya ada 3 pendapat yang menegaskan praktik jual beli di atas, yaitu:
- Pendapat yang menegaskan bolehnya akad jual beli tawarruq tersebut. Pendapat ini dipedomani oleh 3 madzhab sebelumnya yang menegaskan haramnya jual beli inah. Dari ketiga madzhab tersebut menyampaikan bahwa Illat kebolehan adalah karena sudah terjadi qabdl kamal (penguasaan secara sempurna) sehingga menandai dipisahnya akad antara praktik membeli awal (secara kredit) dengan praktik kedua (secara kontan).
- Pendapat yang menegaskan bahwa akad tawarruq adalah akad yang makruh dilakukan. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian kalangan Syafiiyah dan Hanabilah, setelah meneliti bahwa dalam praktik tawarruq, pihak yang membeli barang secara kredit, kemudian menjualnya lagi secara kontan ini adalah orang yang terpaksa (mudlthir). Alhasil, jual belinya tidak memenuhi kaidah wajibnya hurriyati al-tasharruf (kemerdekaan dalam pembelanjaan) dalam Madzhab Syafii dan Hanbali.
- Pendapat yang menegaskan sebagai haram. Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama Syafiiyah yang lain dan ulama kalangan Hanabilah di sisi yang lain lagi, khususnya setelah melakukan penelitian (tahqiq) terhadap masalah yang terjadi. Menurut kedua kalangan ini, pada dasarnya tujuan utama orang melakukan praktik bisnis, adalah untuk mencari laba (tarabbuh), dan bukan secara sengaja untuk merugi (khassarah). Adanya indikasi sengaja merugi ini, menandakan bahwa pelakunya hanya bermaksud menghindar dari riba qardli (riba utang) saja. Alhasil, barang yang dijadikan wasilah perdagangan (niaga), hanya merupakan kamuflase sehingga dianggap sebagai mulgha (yang diabaikan). Sejatinya tidak ada bisnis di dalamnya. Demikian kilah dari kedua kalangan tersebut, yang disertai catatan, bahwa jika pelaku penjual dan pembelinya hanya terdiri dari satu orang.
Sampai di sini, berbagai contoh di atas lengkap dengan ilustrasnya, merupakan penjelasan bahwa kamuflase kadang lahir akibat suatu perniagaan yang melibatkan adanya akad murakkabah (akad ganda). Akad murakkabah ini merupakan akar masalah sebenarnya, sehingga condong kepada usaha menghalalkan perkara yang haram. Secara Syafiiyah, kebolehan akad ganda, adalah jika secara dhahir akad bisa dipisahkan akadnya yang ditandai oleh adanya qabdlu (penyerahan barang), dan secara madhinnah dikembalikan pada tujuan dasar dari jual beli, yaitu bahwa dalam jual beli tidak boleh ada pihak yang sengaja mencari rugi (khasarah). Tujuan dasar dari akad jual beli adalah mencari untung (tarabbuh) bagi pihak penjualnya. Itu sebabnya, praktik bai’ inah dibolehkan dalam kalangan Syafiiyah dengan segala ketentuannya, dan menghindari praktik tawarruq setelah adanya tahqiq (riset metodologis). Wallahu a’lam bi al-shawab.
Muhammad Syamsudin
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.