Bisnis di dalam Islam memiliki pola dan karakteristik sendiri. Karakter utama bisnis dalam Islam adalah kepatuhan pada syara’ (shari’a compliance). Mengapa? Sebab, peta dasar khithab dalam syara’ adalah keharus mengikuti apa yang sudah diperintahkan oleh Allah wa rasuluhu.
Berdasarkan hal ini, ada banyak plan bisnis yang kelihatannya tidak saling merugikan, namun sebenarnya adalah tidak sesuai dengan prinsip yang digariskan oleh syara’.
Kepatuhan pada mekanisme yang sudah digariskan oleh syara’ memiliki pengaruh utama yaitu (1) rezeki yang halal, (2) berkah dan kelak di akhirat masuk surga.
Untuk memudahkan gambaran, mari kita ambil contoh plan bisnis yang salah tersebut menurut pertimbangan fikih turats kita!
Ilustrasi Akad
Ibu Ani menamamkan uangnya untuk investasi bagi hasil ternak kambing paket l senilai Rp.2.500.000 ( 2 ekor induk @ Rp.1.250.00 ),dengan perjanjian kontrak kerjasama selama dua tahun.
Maka di akhir perjanjian Ibu Ani akan mendapatkan bagi hasil ternak kambing sebesar 50% dari total penjualan kambing yang dihasilkan.
Berikut contoh perhitunganya.
Asumsi :
- Dengan asumsi moderat,dari dua ekor induk kambing, satu induk melahirkan satu ekor anak perkelahiran dan satu induk lagi melahirkan dua ekor anak perkelahiran.
- Dengan asumsi anakan yang lahir jantan dan betina 50 : 50.
-Lahir ke-1 => 3 ekor ( usia 16 bln ) @ Rp.1.100.000 Rp. 3.300.000
-Lahir ke-2 => 3 ekor ( usia 10 bln ) @ Rp. 800.000 Rp. 2.400.000
-Lahir ke-3 => 3 ekor ( usia 2 bln ) @ Rp. 300.000 Rp. 900.000
Total penjualan Rp. 6.600.000
Bagi hasil
– Investor 50% x Rp. 6.600.000 = Rp. 3.300.000 ( tidak dipotong biaya apapun )
– Pengelola 50% x Rp. 6.600.000 = Rp. 3.300.000 ( dipotong biaya pakan,perawatan,dll )
Hasil investasi anda :
- Per dua tahun Rp. 3.300.000 atau setara 132 % , yaitu Rp. 2.500.000 ( modal awal ) x 132 % = Rp. 3.300.000.
- Per tahun Rp.1.650.000 ( Rp. 3.300.000 : 2 tahun ) atau setara dengan 66 % pertahun,yaitu Rp. 2.500.000 x 66 % = Rp. 1.650.000
Bisnis Peternakan sesuai Syariah
Apa yang salah darii plan bisniis sebagaimana diilustrasikan di atas? Ada beberapa hal yang musti kita sadari dan sehati-hati mungkin perlu kita carikan solusi praktisnya.
Pertama, kambing yang dibeli oleh investor dengan modalnya, tidak dihitug oleh mudlarib sebagai bagian dari yang harus dicari selisih harga beli dan harga jualnya.
Kedua, mudlarib hanya fokus pada penjualan anak kambing dan kembalinya modal investor ditentukan berdasarkan penjualan anak kambing. Alhasil, kambing indukan adalah murni milik peternak.
Titik Rusaknya Akad Bagi Hasil pada Skema Peternakan Kambing
- Sebenarnya investor dalam kondisi di atas, tidak sedang berinvestasi. Praktik yang dilakukan sebenarnya adalah membeli anak kambing yang masih ada dalam indukan yang belum tentu indukan tersebut hamil
- Praktik bagi hasil model ini, sering dikenal dengan istilah bai’ habl al-hablah dan merupakan yang dilarang dalam Islam lewat liisan Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Solusi Bagi Hasil Peternakan
- Induk yang dibeli oleh investor, harus dicatat harga belinya, dan sekaligus harga jualnya
- Anak kambing yang lahir dari indukan tersebut harus dicatat harga jualnya
- Hasil peternakan ditentukan dengan rumus: [Harga jual induk + Harga jual anak kambing – Harga beli induk] = laba produksi
- Jika akad bagi hasil itu disepakati 50% untuk investor, maka 50% tersebut dihitung berdasar 50% dari laba produksi.
- Jadi uang yang diterima oleh investor, adalah : modal yang disertakan + 50% laba produksi
Ditulis Oleh: Muhammad Syamsudin (Direktur eL-Samsi)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.