Tak ada aktifitas yang tak berisiko. Jangankan melakukan kegiatan produksi, orang tidur di rumah pun, juga memiliki risiko. Apalagi ketika terjaga.
Jadi risiko adalah sebuah keniscayaan. Keberadannya tak bisa dihindari, oleh karenanya tidak perlu lari. Tindakan yang diperlukan adalah keberanian untuk menghadapi.
Secara fikih, keberanian ini diwadahi dalam bagian dari akad dlaman dan kafalah. Di era modern ini, aplikasi kebijakan ini masuk dalam wilayah akuntasi. Itu sebabnya, akad-akad yang berbasis akuntansi ini sering disebut sebagi akad yad al-dlamanah.
Setidaknya ada beberapa langkah guna mengatasi kemungkinan adanya risiko kerugian yang ditimbulkan oleh suatu aktifitas usaha, yaitu: 1) Pembuatan Kebijakan / Prosedur Standart, 2) pendelegasian wewenang untuk mengeksekusi sebab yang bisa menimbulkan kerugian, termasuk di dalamnya pengalokasian waktu dan sumberdaya, 3) pengamanan kekayaan / aset perusahaan dan nasabah, 4) pembagian tugas pokok dan fungsi tenaga, dan 5) melakukan supervisi / pengawasan.
Langkah antisipasi risiko kerugian melalui 5 saluran ini, sudah pasti memiliki fungsi dan cara tertentu, dan salah satu caranya adalah dengan menetapkan suatu rumus sebagai standart baku mutu. Sebagaimana penetapan standart buku mutu air, maka suatu air disebut sebagai air yang sehat manakala memiliki unsur Oksigen terlarutnya dalam kapasitas tertentu dan COD (karbon monoksida terlarut) dalam jumlah terukur, dan lain sebagainya. Nah, di dalam ekonomi juga demikian. Agar tidak rugi namun tetap dalam bingkai terjaga dari timbulnya kerugian yang tidak dikehendaki, maka dalam tingkat keuntungan yang dipatok harus ada rumusan untuk pengalokasian tindak antisipatif terhadap munculnya risiko. Tanpa keberadaannya, maka sesuai dengan konteks hadits di atas, seorang muslim sangat dianjurkan untuk tidak terlibat di dalam bagian usaha itu. Ujung-ujungnya, pasti akan timbul sengketa. Jika potensi sengketa tidak ditutup jauh-jauh hari, maka ada baiknya tidak usah terlibat di dalamnya.
Sebuah gambaran lagi, ketika ada seorang pemodal mendirikan sebuah usaha, maka contoh potensi yang bisa diantisipasi, antara lain: 1) cara mendatangkan bahan baku, 2) risiko gangguan akibat transportasi yang digunakan, 3) potensi gangguan terhadap lingkungan, 4) potensi gangguan terhadap masyarakat.
Bila bahan baku harus didatangkan lewat kapal, maka salah satu risiko yang harus ditempuh, adalah risiko perlu tidaknya mengangkat orang kepercayaan (duta) yang sudah barang tentu gajinya menjadi bagian yang harus diperhitungkan dalam perjalanan usaha. Bila risiko itu berupa gangguan akibat transportasi yang digunakan, maka risiko yang mungkin timbul adalah rusaknya jalan akibat kendaraan yang dipergunakannya. Bila potensi gangguan terhadap lingkungan, maka risiko yang kemungkinan akan menimbulkan macetnya usaha adalah karena pencemaran yang ditimbulkan sehingga menyebabkan masyarakat protes. Akibat lainnya adalah masyarakat demonstasi sehingga menghambat laju kerja perusahaan. Dan lain sebagainya, masih banyak lagi risiko yang harus ditanggung.
Umumnya setiap risiko ini diantisipasi dalam bentuk pengalokasian dana reservasi (dana pemulihan). Misalnya, sebagai kompensasi agar tidak mengganggu lingkungan, perusahaan harus mendirikan pengolahan limbah. Jika unit pengelola limbah sudah disediakan, antisipasi lainnya adalah kebisingan dan risiko sosial. Semua ini harus jelas diantisipasi dalam skala nilai yang terukur. Bahkan termasuk antisipasi mengalihkan wacana. Makanya di dalam setiap unit usaha ada bidang Hubungan Masyarakat (Humas) yang aktif melakukan pendidikan dan pembinaan kepada masyarakat sekitar atau tugas lain yang dibebankan. Jika langkah-langkah antisipatif risiko ini tidak dilakukan, maka alamat bahwa usaha itu pasti berjalan tidak sehat.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.