Pemodal di Era Modern
Saham merupakan surat berharga (efek) yang menyatakan bukti penyertaan modal oleh seorang investor ke suatu badan usaha. Definisi ini sudah mafhum bagi kita semua. Oleh karena itu, setiap pemegang saham, meniscayakan urun modal di dalam pendirian usaha itu.
Masalahnya, adalah di era modern, terkadang komposisi pendirian usaha itu tidak selalu didominasi oleh para penyuplai modal (shahib al-maal) yang memiliki kapital berupa uang. Ada juga pihak pemodal – yang diakui secara hukum dan bahkan berlaku dalam setiap pendirian usaha – yang hanya menyatakan diri sebagai pemilik working capital.
Apa itu working capital?
Working capital itu adalah modal yang besarannya divaluasi dari skill individu. Individu ini tidak punya uang, namun ia punya keahlian. Dan keberadaannya dinilai urgen serta krusial bagi pendirian usaha tersebut.
Suatu misal, ada sebuah relasi kerjasama antara 2 pihak. Pihak pertama memilki uang senilai 100 juta rupiah dan dia adalah inisiator pendirian usaha. Sementara lainnya, memiliki skill memasak / chef. Pihak pertama butuh kehadiran chef untuk pendirian usaha itu.
Dari kedua pihak ini, terdapat kesepakatan bahwa nilai working capital itu diakui sebagai kepemilikan 40% saham. Sementara pemilik uang, diakui memiliki andil yang disepakati sebesar 50%. Sisanya, senilai 10% nisbah kepemilikan usaha, akan diberikan kepada karyawan yang kelak memiliki kinerja baik sebagai bentuk apresiasi perusahaan.
Alhasil, 90% pendirian usaha tergantung pada shahib al-maal dan working capital. Sisanya sebesar 10% bersifat masih mengambang dan belum ada pemiliknya.
Keberadaan 10% nisbah kepemilikan ini sering dikenal dengan istilah Employee Stock Option Plan (ESOP). Alhasil, ESOP merupakan keuntungan yang diberikan oleh founder kepada karyawan untuk bisa mendapatkan saham perusahaan.
Penentuan ESOP ini biasanya akan dilakukan berdasarkan masa kerja dan kinerja dari karyawan tersebut. Alhasil, ESOP ini adalah nisbah saham yang tak berpenghuni saat perusahaan itu dijalankan.