el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Polemik sertifikasi halal, akhir-akhir ini dibelokkan menjadi sertifikasi haram. Lewat sebuah meme yang tersebar, seorang ustadz menyatakan bahwa masyarakat itu butuh label haram dan bukan label halal. 

Ketua Dewan Fatwa MUI Jatim, Kyai Ma’ruf Khozin lewat sebuah akun media sosialnya menegaskan bahwa meme tersebut sepenuhnya tidak salah. 

Namun, ia menyampaikan bahwa label halal itu tidak hanya berlaku atas produk makanan saja, melainkan juga berlaku atas produk kosmetik dan sejenisnya. 

Lantas, sebenarnya mana yang lebih sesuai untuk dikampanyekan terkait dua polemik tersebut? Berikut ini adalah hasil kajian dari Tim redaksi eL-Samsi. 

Perintah Nash

Allah SWT berfirman: 

فَكُلُوا مِمّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلالًا طَيِّبًا، واشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إنْ كُنْتُمْ إيّاهُ تَعْبُدُونَ

“Maka makanlah kalian dari sebagian rizki yang sudah Allah berikan secara halal lagi baik. Bersyukurlah atas anugerah nikmat Allah jika kalian termasuk orang-orang yang tunduk.”

Secara tegas disampaikan Allah SWT di dalam Kitab Suci Al-Qur’an bahwasanya perintah mencari sumber rezeki adalah berkaitan dengan mencari makanan dan produk lainnya secara halal lagi thayyib (baik).

Karena halal itu adalah obyek perintah yang sharih, maka sharihnya lafadh ini yang dijadikan acuan dasar pijakan untuk bergerak, selagi di dalam kalimat tersebut tidak ditemukan adanya kehendak untuk menafsirkannya lagi atau tersimpan adanya indikasi pengalihan makna / tafsir. 

Ketika ada dalil yang sharih, maka dalil yang bersifat mafhum tidak berlaku sebagai yang perlu dikampanyekan. 

Konsekuensi Perintah

Karena adanya perintah tegas yang menyatakan kewajiban mencari rezeki yang halal, maka menjembatani mudahnya masyarakat mengakses produk halal adalah bagian dari komitmen afirmasi terhadap dalil. 

Untuk itu berlaku kaidah bahwa ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (daya dukung sempurnanya perkara wajib adalah wajib).

Sertifikasi Halal

Sertifikasi halal yang diselenggarakan oleh pemerintah memiliki makna penegasan status hak milik suatu produk halal. Sebab, inti utama darii sertifikat adalah kepemilikan hak (tamlik).

Di dalam Islam, hanya rezeki yang halal dan diperoleh dengan cara baik saja yang berstatus bisa dikuasai dan dimiliki. Adapun rezeki haram, adalah tidak bisa ditamlik. 

Berdasarkan pertimbangan ini, maka penegasan pemerintah dalam bentuk sertifikasi haram, adalah bagian dari aktifitas yang batal sebab bertentangan dengan maksud tamlik tersebut. 

Untuk itulah maka dibutuhkan sertifikasi halal dan bukan sertifikasii haram. Secara psikologis, sudah barang tentu tidak akan ada yang mengajukan sertifikasi haram. Mengapa? Sebab, haram itu identik dengan aib. Wallahu a’lam bi al-shawab

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content