el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Images (3)

Assalamu’alaikum ijin bertanya… Membuat akun marketplace seperti akun shopee lebih dari satu untuk mendapatkan keuntungan lebih seperti voucher diskon & Cashback adalah pelanggaran, jadi barang yg dibeli atau semacamnya menggunakan voucher diskon & Cashback di akun shopee yg lain ini jadi haram kah?

Nah yg jadi permasalahan, saya dan orang dgn ciri-ciri yg saya sebutkan di atas tadi menjual barang dari shopee ke pengepul yg sama, Pengepul juga mengetahui dan tdk mempermasalahkan barang yg didapat dari mana (satu orang satu akun shopee atau satu orang dgn beberapa akun shopee), walau tdk semua barang yg dibeli pengepul hanya dari orang yg memanipulasi akun shopee tadi (membuat akun shopee lebih dari satu), hanya sebagian saja.

Yg saya khawatirkan pengepul membeli barang yg saya jual menggunakan uang dari keuntungan menjual (lagi secara eceran) barang yg dibeli dari orang yg membuat akun shopee lebih dari satu (tadi).

Pertanyaan, bagaimana solusinya? Ke pengepul lain seperti nya juga sama demikian, karena sirkel nya sama, dan pengepul lain tdk membeli semua jenis barang yg saya jual. Atas perhatiannya terimakasih,

*) Note: barang= barang digital seperti voucher game dsb.

Wassalamu’alaikum (Sail: Ludiono)

Jawaban

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah. Wassholatu wassalamu ‘ala rasulillah sayyidiina maulana Muhammadin Ibn Abdiillah, wa ‘ala alihi wa shahbihi wasallim. Amma Ba’du

Voucher Cashback pada marketplace Shopee adalah buah dari akad ju’alah (promo). Dalam setiap promo, meniscayakan adanya pihak ‘amil (pelaku / konsumen) yang hadir untuk mengikuti promo tersebut. Seorang amil wajib terdiri atas person (syakhshun) ahli tasharruf harta. Ciri utama dari seorang khalqiyah person, adalah ia bisa hadir sebagai perorangan (individu) pada aktifitas promo (ju’alah) yang sama. Tidak mungkin, ia membelah diri menjadi 2 person, atau 3 person.

Karena seorang person tidak bisa berlaku sebagai ganda, maka dalam ketentuannya, ia harus hadir sebagai pemilik 1 akun, dan tidak boleh berlaku sebagai 2 atau lebih. Jika ada 1 person memiliki 2 akun atau lebih, maka semua akun selain dari akun utama adalah menempati maqamnya fiktif (tidak ada pelakunya). Illatnya, karena seorang person tidak mungkin berlaku sebagai ganda pada peran / pekerjaan yang sama.

Bagaimana apabila ada pihak yang mendapatkan “voucher cashback” karena memerankan diri sebagai berakun ganda tersebut? Maka dapat dipastikan bahwa voucher tersebut adalah haram, disebabkan illat memakan harta orang lain secara batil. Hartanya siapa yang dimakan? Yaitu, hartanya pihak penyelenggara promo (marketplace). 

Bagaimana bila ada pihak yang mendapatkan harta voucher cashback dari cara batil tersebutt kemudian menggunakannya untuk membeli barang kita? Haramkah harta yang diserahkan ke kita itu?

Dalam konteks ini, kita kembalikan pada dalil ashal, bahwa harta yang bisa dimiliki oleh seorang muslim dan bisa digunakan untuk melakukkan jual beli, adalah harta tersebut wajib berstatus halal. Oleh karena itu, harta batil yang diserahkan oleh pelaku untuk membeli produk kita, secara tidak langsung menjadi berstatus halal

Adapun, bagi pelaku, karena ia sudah menyerahkan harta haram kepada kita, maka ia menjadi berstatus memiliki hutang kepada pihak marketplace sebesar uang haram yang diserahkan dan digunakan untuk membeli produk kita. Alhasil, yang wajib mengembalikan harta tersebut ke marketplace, adalah si pelaku. Adapun harta yang diserahkan ke kita, otomatis menjadi halal. 

Berikut ini, adalah beberapa landasan bagi solusi permasalahan saudara di atas:

Pertama, Ibnu Nujaim, salah satu ulama otoritatif dari Madzhab Hanafi, menyatakan:

أما إذا اختلط حلال المال بحرامه ولم يمكن التمييز بينهما، فلا يخلو الحال من أن يكون مقدار المال الحرام هو الأكثر الغالب، أو هو الأقل، أو يكون قد تساوى حلال المال وحرامه، أو تكون النسبة بينهما مجهولة؛ فما لم يكن مقدار الحرام هو الأكثر الغالب جاز التعامل؛ لأن الظاهر امتلاك الإنسان ما في يده، ولا يُعدل عن الظاهر إلا بعلم أو ظن غالب، ولا يحصل شيء من هذا إلا بتمييز المال الحرام أو بكونه غالبًا على الحلال

“Apabila terjadi percampuran antara halal dan haramnya harta, sementara tidak bisa membedakan keduanya, maka tidak bisa tidak dalam kondisi seperti ini untuk mempertimbangkan kadar harta haram itu sebagai yang mayoritaskah, atau minimalkah, atau samakah. Atau setidaknya menurut nisbah yang tidak diketahui dari keduanya. Oleh karenanya, selagi kadar haram itu tidak lebih banyak dari mayoritas harta, maka boleh bermuamalah dengannya, karena bagaimanapun secara dhahir, hak kepemilikan manusia itu adalah apa yang ada ditangannya. Tidak boleh beralih dari sesuatu yang dhahir (jelas) kecuali adanya kepastian dalam pengetahuannya, atau berdasar prasangka yang benar. Oleh karenanya pula, hal semacam ini tidak akan pernah bisa dilakukan tanpa bisanya membedakan harta yang haram dari yang halal, atau mayoritas dari keduanya dari sisi kehalalannya.” (Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa al-Nadhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., halaman 84).

Kedua, Syeikh Jalaluddin al-Suyuthy, salah seorang ulama otoritatif dari kalangan Syafiiyah, menyampaikan:

أما إذا كان الحرام هو الغالب، فالأصل حينئذ أن المعاملة تجوز مع الكراهة، لكن إذا ترتب على ترك المعاملة في هذه الحالة وقوع أحد الطرفين في الحرج أو حالة الضرورة، أو عمت بلوى الناس بذلك، جاز التعامل بلا كراهة؛ لأن وقوع التعامل بالمال الحرام يكون حينئذ محلّ ظن، بينما وقوع الحرج أو البلوى يكون محلّ قطع، والقطع مقدم على الظن، كما أنه قد تقرر في قواعد الفقه الإسلامي أنه إذا تعارضت مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما

“Apabila harta haram itu yang menduduki mayoritas, maka hukum asal bermuamalah dengan pihak sedemikian ini adalah boleh yang disertai dengan kemakruhan. Namun, apabila karena meninggalkan muamalah itu justru bisa menyebabkan salah satu pihak jatuh dalam kesulitan atau kondisi memprihatinkan, atau apabila kondisi bermuamalah dengan pemilik harta haram itu sudah merupakan ‘ammati al-balwa (tidak bisa tidak karena sudah menjadi hal yang umum), maka bermuamalah dengan pemilik mayoritas haram haram adalah boleh tanpa adanya kemakruhan. Mengapa? Karena bermuamalah dengan harta haram dalam kondisi ini menduduki posisi dhan (prasangka). Sementara kesulitan dan kondisi balwa merupakan sesuatu yang pasti (bila ditinggalkan). Oleh karenanya sesuatu yang bersifat pasti harus didahulukan dibandingkan prasangka. Sebagaimana hal ini merupakan yang disinggung dalam qaidah fikih islami sebagai “apabila terjadi pertentangan dua mafsadah, maka yang harus dihindari pertama kalinya adalah mafsadah yang terbesar dalam menimbulkan kerugian sembari tetap berusaha mencari solusi dlarar yang paling ringan dari kedua mafsadah itu.” (Jalaluddin Al-Suyuthy, Al-Asybah wa al-Nadhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., halaman 87).

Wallahu a’lam bi al-shawab

Muhammad Syamsudin

Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah LBM PWNU Jawa Timur

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content